RSPO dianggap alat menyembunyikan atau membenarkan pelanggaran lingkungan dan hak asasi manusia yang dilakukan oleh perusahaan anggotanya.

Perkebunan sawit menyimpan sisi gelap, yaitu pelanggaran lingkungan dan HAM. (WALHI)
Perkebunan sawit menyimpan sisi gelap, yaitu pelanggaran lingkungan dan HAM. (WALHI)

Hari ini, kontroversi kembali melanda Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dengan pengajuan keanggotaan dari perusahaan kelapa sawit terkemuka di Indonesia. Sebanyak 32 organisasi masyarakat sipil internasional telah mengirim surat terbuka keras kepada RSPO, menyerukan penundaan keanggotaan tersebut.

Dikutip dari keterangan resmi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), diakses Kamis, 25 Juli 2024, surat tersebut menyoroti konflik lahan yang berkepanjangan di Sulawesi, di mana perusahaan sawit melakukan penanaman kelapa sawit ilegal di kawasan hutan, serta intimidasi terhadap pembela hak asasi manusia dan masyarakat lokal.

Menurut Uli Arta Siagian dari Friends of the Earth Indonesia, “(Perusahaan) AAL tidak bisa menyembunyikan perampasan tanah, kriminalisasi, dan perusakan lingkungan di balik keanggotaan RSPO.”

Tuntutan untuk menunda keanggotaan AAL dipicu oleh laporan terbaru yang merinci pelanggaran lingkungan, hak asasi manusia, dan tata kelola yang dilakukan oleh perusahaan ini.

Pelanggaran dan kritik terhadap RSPO

Laporan dari Friends of the Earth dan organisasi lainnya menyoroti bahwa RSPO sering kali dianggap sebagai alat untuk greenwash—menyembunyikan atau membenarkan pelanggaran lingkungan dan hak asasi manusia yang dilakukan oleh perusahaan anggotanya. Meskipun RSPO memiliki Prinsip dan Kriteria untuk produksi minyak sawit berkelanjutan, kritik terhadapnya tidak sedikit.

Gaurav Madan dari Friends of the Earth AS menyatakan, “Memberikan keanggotaan RSPO kepada AAL berarti melemahkan tuntutan masyarakat akan keadilan dan semakin melemahkan RSPO. Greenwashing seperti ini gagal melindungi hak asasi manusia, menyelesaikan konflik lahan, atau mencegah kerusakan lingkungan.”

Respons masyarakat sipil dan konsumen

Para aktivis masyarakat sipil tidak hanya menyerukan RSPO untuk bertindak tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan perusahaan sawit, tetapi juga mendesak pemerintah Indonesia untuk menyelidiki perizinan dan operasi ilegal yang dilakukan oleh perusahaan ini.
Lebih lanjut, kebijakan seperti Peraturan Deforestasi Eropa menegaskan bahwa impor produk harus bebas dari keterlibatan dalam pelanggaran hak asasi manusia dan deforestasi.

Keanggotaan perusahaan sawit pelanggar lingkungan dan HAM di RSPO menggambarkan sebuah paradoks: bagaimana sebuah badan sertifikasi bisa memberikan legitimasi kepada perusahaan yang terlibat dalam praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai keberlanjutan yang mereka klaim promosikan.

Kritik terhadap keberlanjutan RSPO

Penelitian telah menyoroti kelemahan kritis dalam jaminan keberlanjutan RSPO. Meskipun banyak perkebunan kelapa sawit yang mendapat sertifikasi “berkelanjutan”, deforestasi dan konflik sosial sering kali tetap terjadi di sekitarnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas sertifikasi RSPO dalam mencegah dampak negatif dari industri kelapa sawit.

Danielle van Oijen dari Friends of the Earth Belanda menggarisbawahi, “Skema keberlanjutan sukarela telah gagal menghilangkan deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia. Solusi nyata seperti agro-ekologi dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat perlu didorong lebih lanjut sebagai alternatif yang lebih berkelanjutan.”

Menghadapi kritik yang semakin keras, RSPO dihadapkan pada tugas berat untuk memperkuat mekanisme pengawasannya dan meningkatkan transparansi dalam proses sertifikasi. Sementara itu, tekanan dari masyarakat sipil dan konsumen terus memaksa perusahaan untuk bertanggung jawab secara lebih besar terhadap dampak sosial dan lingkungan dari operasinya.

Dengan demikian, perdebatan seputar RSPO dan keberlanjutan kelapa sawit tidak hanya tentang pengelolaan lingkungan, tetapi juga tentang keadilan sosial dan hak asasi manusia. Bagaimana RSPO menanggapi tuntutan ini akan menjadi cermin bagi komitmennya terhadap prinsip-prinsip keberlanjutan yang mereka advokasi.

Walhi menyatakan, keanggotaan RSPO bukanlah jaminan absolut terhadap praktik berkelanjutan. Sertifikasi RSPO harus diimbangi dengan tindakan konkret dari perusahaan untuk mematuhi prinsip-prinsip keberlanjutan dan menghormati hak-hak masyarakat setempat.

Masyarakat sipil memiliki peran krusial dalam memantau dan mendorong RSPO agar lebih akuntabel dalam menjaga integritasnya sebagai badan sertifikasi yang berusaha untuk meningkatkan standar industri kelapa sawit secara global.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.