Posted inArtikel / Hutan

Tiga orang muda Papua bercerita tentang Grime Nawa

Masyarakat adat Papua di Lembah Grime Nawa Jayapura menghadapi ancaman dari perusahaan sawit. Hutan adat harus tetap ada.

Lembah Grime Nawa, Papua. (Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace)
Lembah Grime Nawa, Papua. (Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace)

Mari berkenalan dengan Vebri, Imel, dan Regina–tiga anak muda adat dari Lembah Grime Nawa di Jayapura, Papua. Untuk peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia, mereka menulis tentang hutan adat di Lembah Grime Nawa–hutan yang mereka akrabi sedari kecil, yang menghidupi keluarga, yang kini terancam oleh perusahaan sawit.

Regina berasal dari suku Klesi, Imel dan Vebri dari suku Nmblong.

Saat berbincang dengan kami, Vebri menjelaskan bahwa ‘Nmblong’ adalah penulisan yang tepat bila merujuk nama komunitas adat mereka. Sedangkan ‘Namblong’ merujuk pada nama salah satu distrik di Jayapura.

Tulisan ini dibagi menjadi tiga babak. Kamu bisa membacanya secara berurutan, atau melompat dari satu babak ke babak lain mengikuti penuturan pencerita satu demi satu. Tulisan ini diakses dari laman Greenpeace Indonesia, Jumat, 16 Agustus 2024.

Selamat membaca.

Perkenalan: masa kanak dan relasi dengan hutan

Sa pu nama Vebriani Hembring, anak muda adat dari suku Nmblong. Sa lahir di Kampung Imeno di Lembah Grime, yang merupakan wilayah Pembangunan III dari Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.

Saat ini sa tinggal bersama orang tua saya di Kelurahan Tabri, Distrik Nimboran. Meski tinggal di Tabri, kami berkebun di Kampung Rhepang Muaib, Distrik Nimbokrang, yang terletak di perbatasan wilayah Grime dan wilayah Nawa. Kami berkebun di sana karena wilayah tersebut merupakan wilayah adat milik marga Hembring.

Sa pertama kali ikut orang tua saya pergi berkebun saat berusia 12 tahun. Itulah kali pertama sa mengenal hutan milik marga kami.

Sa menghabiskan masa kecil di kebun, di sungai, dan di hutan. Di hutan dan sungai sa banyak melihat berbagai hewan seperti babi, rusa, buaya, bangau, angsa, bebek hutan, udang, kepiting, burung kakatua, burung urip, hingga kasuari yang merupakan binatang endemik dari Papua.

Di hutan pula, sa biasa melihat mama mengambil daun-daun di sekitaran kebun untuk obat-obatan. Jika tangan terluka dan berdarah, mama ambil daun-daun, mengunyahnya, lalu taruh di luka. Tanah di kebun juga bisa untuk mengobati luka. Jika ada luka, seperti cepat sembuh jika kami obati dengan tanah di kebun itu.

Sa rasa hutan itu seperti mama. Dia menyediakan semua yang saya butuhkan. Dari sa kecil, dia menyediakan semua, sampai sa besar. Ketika ke hutan, ada rasa nyaman, tenang, senang.

Tresya Imelda Yoshua. Itu sa pu nama lengkap mama dan bapa kasi. Saat ini berumur 22 tahun, orang biasa memanggil sa dengan Imel. Sa berasal dari suku Nmblong, salah satu suku asli yang hidup sejak lama di Lembah Grime Nawa, Kabupaten Jayapura, Papua. Grime dan Nawa diambil dari nama dua sungai besar yang di daerah kitong.

Sa ada tinggal di Distrik Nimbokrang, tepatnya di Kampung Berap. Kampung kitong juga terkenal karena ada Kali Biru, kali yang jernih sekali. Jika dilihat dari jauh, warnanya biru muda dengan latar pemandangan hutan yang masih alami.

Syukur selalu sa ucapkan karena terlahir di lembah ini, lembah yang pu sungai yang jernih, hutan yang lebat, dan telaga-telaga yang masih jadi tempat tinggal ikan, buaya, kura-kura, udang, hingga kerang—atau kitong biasa menyebutnya dengan bia. Rusa, babi, kasuari, lao-lao, burung, hingga ular masih sering sa jumpai di hutan. Pokoknya, banyak sekali kehidupan di hutan ini, yang bikin sa betah dan tidak mau pergi kastinggal Kampung Berap.

Sa pu nama Regina Tegai. Berumur 17 tahun, sa berasal dari suku Klesi—satu dari ratusan suku yang ada di Papua. Saya pu suku berada tepat di Kampung Yansu, Distrik Kemtuk Gresi, Kabupaten Jayapura. Jika berangkat dari Sentani—ibu kota kabupaten, lamanya perjalanan memakan waktu dua jam lebih untuk menuju sa punya kampung, melewati Distrik Kemtuk dan Distrik Namblong.

Distrik tempat sa tinggal berada di di Lembah Grime Nawa, sebuah lembah alami yang namanya diambil dari dua sungai besar: Grime dan Nawa. Lembah ini sejak lama menjadi rumah bagi beberapa suku seperti Nmblong, Klesi, Kemtuk, dan Elseng.

Sebenarnya, sa lahir di tengah wilayah suku Nmblong. Saat berumur tiga tahun, sa akhirnya kembali ke suku Klesi di Kampung Yansu. Sa pu rumah di kampung itu dekat dengan hutan adat marga. Di sa pu marga, ada aturan bahwa anak perempuan di bawah umur delapan tahun dilarang diajak pergi ke hutan. Jelang umur sepuluh tahun, sa akhirnya diajak ke hutan oleh mama dan bapa. Di hutan, sa diajari banyak hal: menggarap lahan, menanam, berburu, mencari sayuran, menebang pohon sagu, hingga menebang kayu secara terbatas untuk berkebun.

Selain itu, mama dan bapa selalu menekankan satu hal: kitong tidak boleh melewati batas wilayah dan masuk wilayah adat milik marga lain. Kitong hanya boleh berkegiatan di kitong pu wilayah adat saja. Sejak kecil, kitong telah diajarkan tentang makna hutan yang begitu mendalam. “Ada hutan, ada kehidupan bagi masyarakat adat,” kata para orang tua. Karena memberikan banyak kehidupan, makna hutan sangat berarti bagi sa.

“Apa yang kami lihat tragis sekali” – hutan adat dalam bahaya

Vebri: Ketika sa kembali ke hutan tersebut pada 2019, tempat itu sudah jauh berbeda dari sebelumnya. Ada pembukaan lahan untuk perkampungan baru, dan mulai banyak masyarakat yang beraktivitas di sungai maupun hutan. Akibatnya, satwa-satwa yang dulu banyak ditemui di wilayah tersebut menjauh dan hilang satu-satu.

Di tahun ini pula, sa mulai mengetahui dampak pembukaan lahan terhadap lingkungan dan masyarakat, karena sa bergabung dengan Suara Grina, komunitas jurnalis warga Grime Nawa. Ternyata, ancaman yang lebih besar sedang mengintai hutan adat di sekitar tempat tinggal kami.

Akhir 2021, sa mendengar ada perusahaan sawit yang masuk untuk merusak hutan di wilayah Grime. Lewat komunitas jurnalis warga Suara Grina, sa mengikuti perjuangan Organisasi Perempuan Adat (Orpa) Nmblong dan masyarakat adat di Grime Nawa untuk menolak keberadaan perusahaan sawit tersebut.

Pada 7 Maret 2022, sa bersama Orpa Nmblong dan perwakilan masyarakat adat Grime mengunjungi kantor Bupati Kabupaten Jayapura dan beberapa instansi. Kami memberikan kertas kebijakan penolakan PT Permata Nusa Mandiri oleh masyarakat adat di Grime.

Pada 2 April lalu, sa mengikuti Orpa Nmblong dan perwakilan masyarakat adat dari marga Tecuari melihat langsung aktivitas perusahaan, yang ternyata sudah mau menggusur masuk ke wilayah suku Nmblong. Marga Tecuari memiliki wilayah adat yang berada di perbatasan wilayah adat Nawa dan suku Nmblong di Grime.

Apa yang kami lihat tragis sekali. Mereka gusur hutan tra main-main, mereka kasih jatuh habis.

Kami masuk dari area sebelah kiri, dong su gusur semua. Kami melihat ada drum-drum besar, tra tahu apa isi di dalamnya. Ada tiga ekskavator yang masih ada di area itu. Lalu di sebelah kanan, kami melihat ada area pembibitan.

Orpa Nmblong bersama masyarakat adat marga Tecuari memasang baliho di sana. Pemasangan baliho bertujuan membatasi aktivitas perusahaan sawit agar tidak menyeberang ke wilayah suku Nmblong. Setelah memasang baliho, kami berjalan naik ke tempat dong perusahaan punya jalan, lagi-lagi kami melihat hutan yang su dong gusur besar sekali.

Imel: Sa ada dengar tentang orang-orang yang datang untuk tebang kayu sembarang. Jahat sekali orang-orang itu. Sa ingin tanya: kayu itu dong jual, itu kira-kira dong ada hati nurani tidak? Dong tidak pikir dampak yang nanti terjadi di masa depan. Dong cuma pikir yang sekarang punya saja.

Sa bisa tahu soal ini karena lihat update di Suara Grina, media jurnalisme warga Lembah Grime Nawa, tentang aksi-aksi penolakan masyarakat untuk hentikan perusahaan yang sedang beroperasi di wilayah hutan adat suku Nmblong. Sejak bergabung di komunitas jurnalis warga Suara Grina tahun lalu, sa jadi tahu banyak hal, termasuk hutan kitong yang terancam.

Kenapa sampai masyarakat bisa tolak perusahaan itu? Karena perusahaan itu sudah melakukan penebangan hutan secara berlebihan. Dong biasa bilang dengan istilah deforestasi. Jadi, deforestasi-lah yang terjadi di hutan adat suku Nmblong itu. Jika kitong tidak sadar dan hanya kasbiar saja, nanti akan kasih rusak kitong punya lingkungan hidup. Kitong pu udara dan kali jadi tercemar terus. Debit sungai akan berkurang. Suhu yang semakin panas juga akan bikin kitong sulit cari makan.

Regina: Sejak November 2023, sa menjadi anggota Suara Grina—media jurnalisme warga Lembah Grime Nawa. Saat itu, sa terlibat di sebuah acara yang diselenggarakan oleh Suara Grina dengan oleh Organisasi Perempuan Adat (Orpa) Nmblong dan Dewan Adat Suku (DAS) Nmblong. Oleh kaka Vebri Hembring, sa diminta menulis tentang acara tersebut untuk Suara Grina. Dari situlah sa bergabung di Suara Grina.

Sebenarnya, perjumpaan sa dengan Suara Grina sudah terjadi jauh sebelum itu. Sa tahu bahwa ada media bernama Suara Grina saat kembali ke wilayah suku Nmblong pada 2020. Beberapa kali sa ikut dalam kegiatan Suara Grina, walau belum menjadi anggota. Sa tertarik dengan Suara Grina karena tempat ini merupakan inisiatif orang-orang muda suku Nmblong, yang didukung oleh Orpa dan DAS Nmblong, untuk menyuarakan tentang Lembah Grime Nawa. Dari Suara Grina, sa tahu dengar bahwa ada perusahaan yang menggusur tanah adat secara ilegal.

Setelah menjadi anggota Suara Grina, sa semakin paham tentang perusahaan sawit itu. Beberapa kali masyarakat adat suku Nmblong protes dengan aksi bersama Orpa dan DAS Nmblong—tentu saja Suara Grina ikut memantau. Sa sendiri ikut menyebarkan kampanye penolakan tersebut melalui media sosial pribadi. Karena sa yakin, jika perusahaan itu tetap dibiarkan, sebagian tanah adat dan pemukiman warga bisa tergusur.

Masyarakat adat suku Nmblong dengan tegas menolak beroperasinya perusahaan tersebut. Mereka meminta Bupati Jayapura untuk mencabut surat keterangan perizinan berusaha di wilayah adat suku Nmblong.

Mengapa hutan adat harus tetap ada?

Vebri: Ada perbedaan yang sangat besar ketika kitong masuk di hutan yang belum ditebang dengan hutan yang kami lihat di area perusahaan. Di hutan yang belum ditebang, kitong bisa dengar suara jangkrik, kicauan burung, angin sepoi-sepoi, sejuk sekali. Ada bau kayu yang enak sekali.

Tapi ketika kitong masuk ke wilayah itu, ada beberapa pohon saja di depan, pohonnya hanya sedikit sekali. Mata sangat terganggu dengan pemandangan di depan, karena warna hijau yang biasanya jauh sekali. Di depan kami, yang ada warna coklat kering yang sangat mengerikan, akar-akar kayu yang sudah tua. Ngeri sekali, tidak ada perasaan yang sa temukan seperti masuk hutan yang begitu utuh. Ngeri dan sedih mengapa bisa digusur sampai begitu.

Biasanya, sa lihat mama dan bapak membuka kebun dengan proses bertahap. Mereka biasanya menentukan tempat dengan luasan secukupnya. Kami masih bisa mencium bau tanah dan dedaunan di sekitar kebun yang dibuka. Tidak seperti yang perusahaan lakukan.

Selain memasang baliho, ada beberapa cara yang sedang kami lakukan untuk menjaga wilayah adat perusakan. Di antaranya dengan membentuk badan usaha milik masyarakat adat, melakukan pemetaan partisipatif, juga membangun pos-pos patroli di wilayah adat tiap marga.

Sa berharap hutan adat kami tetap lestari. Kalaupun harus dikelola, kami masyarakat adat di Grime Nawa harus merasakan manfaatnya serta menjadi pemilik sahamnya, agar kami sejahtera di atas tanah kami sendiri.

Masyarakat adat sudah ada sebelum pemerintah. Kami meyakini bahwa adat lebih dulu ada, baru gereja, kemudian pemerintah. Jika pemerintah mau mengelola wilayah adat, mereka harus datang bicara dan atur baik-baik dengan masyarakat adat. Namun jika curang dan merugikan masyarakat adat, itu berarti mereka salah dan melanggar hukum adat yang sudah ada turun-temurun dijalankan oleh masyarakat adat.

Wilayah dan hutan adat suku Nmblong bukanlah wilayah kosong tak berpenghuni, tapi ada kami masyarakat adat, flora, dan fauna di dalamnya sebagai pemilik, penjaga, dan pengelola wilayah adat.

Imel: Jika tidak ada hutan, hewan-hewan akan susah cari makan dan bertahan hidup. Jika hutan ditebas, segala macam tumbuhan hijau serta sayuran organik, seperti pakis, rebung, jamur, atau bahkan melinjo—kitong biasa sebut dengan genemo—akan punah.

Sa berharap dong berhenti melakukan penebangan hutan secara liar atau berlebihan, baik di Kampung Berap atau di seluruh wilayah Lembah Grime Nawa. Kitong semua harus mau sama-sama jaga pu hutan, termasuk seluruh flora dan fauna di dalamnya.

Regina: Sebagai anak adat yang sejak kecil hidup bersama dengan suku Namblong, sa khawatir terus beroperasinya perusahaan akan bikin hutan beserta keanekaragaman hayati di dalamnya hilang. Flora dan fauna akan musnah.

Sa tidak bisa membayangkan bagaimana menjadi masyarakat adat suku Nmblong yang tentu merasa lebih khawatir. Di mana keturunan mereka akan hidup? Di mana mereka mencari makan? Semua pertanyaan itu sulit terjawab jika hutan wilayah adat mereka hilang tergusur perusahaan. Hutan dan masyarakat adat punya keterikatan mendalam. Jika hutan binasa, masyarakat adat juga akan binasa.

Di masa mendatang, tidak boleh ada lagi perusahaan seperti PNM yang beroperasi di atas tanah adat secara ilegal. Anak muda adat harus mulai peduli terhadap wilayah adat mereka dan menjaganya dari berbagai ancaman yang datang.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.