Greenpeace Indonesia memprediksi pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akan melanjutkan kebijakan yang dibikin Jokowi.

Greenpeace Indonesia menyerukan pesan-pesan tentang berbagai krisis yang melanda Tanah Air di masa Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Krisis tersebut terjadi mulai dari krisis lingkungan hidup, krisis keanekaragaman hayati, krisis iklim, hingga krisis demokrasi. Lewat aksi damai kreatif berupa proyeksi video di bilangan Jakarta Pusat, Greenpeace mengajak publik untuk terus #MemilihBersuara demi penyelamatan dan pemulihan lingkungan, demokrasi, dan HAM.
“Saat Presiden Joko Widodo sibuk menghias rapor capaian kinerja di akhir masa jabatannya, kita harus terus mengingat rekam jejaknya yang penuh ponten merah. Presiden Jokowi meninggalkan banyak warisan buruk untuk kita, seperti pelemahan pelindungan lingkungan hidup, pelemahan demokrasi dan HAM, dan banyak Proyek Strategis Nasional yang meminggirkan masyarakat adat dan masyarakat lokal,” kata Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, dalam keterangan resmi, diakses Kamis, 24 Oktober 2024.
Aksi ini sekaligus ditujukan untuk menyambut Presiden dan Wakil Presiden baru RI, yaitu Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Dalam aksi kreatif ini, Greenpeace menampilkan proyeksi video yang menunjukkan peta Indonesia dengan titik-titik lokasi terjadinya perusakan lingkungan.
Deforestasi, perampasan hutan dan wilayah masyarakat adat, kebakaran hutan dan lahan gambut, pertambangan—mulai dari nikel, emas, batu bara, hingga pasir laut—serta pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara industri terlacak di seantero Indonesia.
Watak pembangunan ekstraktif ini terpampang nyata selama satu dekade pemerintahan Presiden Jokowi. Proyek-proyek berlabel hijau nyatanya sarat pelanggaran ekologis dan ketidakadilan, seperti yang terjadi di Pulau Rempang, Kepulauan Riau dan Kalimantan Utara.
Greenpeace Indonesia menilai bahwa persoalan lingkungan dan krisis iklim, kebohongan hijau, pembatasan ruang demokrasi, serta pelindungan HAM berpotensi terus terjadi di era pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Selain mengusung jargon ‘keberlanjutan’ era Jokowi, Prabowo-Gibran tampaknya memang bakal meneruskan watak pembangunan yang eksploitatif dengan ‘mantra’ pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Ini terlihat, misalnya, dari visi-misi Prabowo-Gibran untuk menambah lahan food estate hingga 4 juta hektare dan melanjutkan hilirisasi nikel yang sejauh ini terbukti merusak lingkungan dan merugikan masyarakat lokal.
Prabowo juga dinilai memilih sejumlah orang dengan rekam jejak bermasalah dalam kebijakan lingkungan untuk mengisi kabinetnya.
“Meski tak bisa banyak berharap, sebagai masyarakat sipil kita perlu terus mengawasi pemerintahan Prabowo-Gibran. Kita perlu terus bersuara agar mereka menghentikan watak pembangunan ekstraktif yang merusak lingkungan hidup, melanggar HAM, dan merugikan masyarakat,” ujar Khalisah Khalid, Ketua Kelompok Kerja Politik Greenpeace Indonesia.
Pelantikan Prabowo-Gibran berlangsung satu hari sebelum Konferensi Para Pihak ke-16 tentang Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD COP16) di Kolombia. Sebagai negara yang sudah meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati, Indonesia mesti serius dan terlibat aktif dalam konferensi dua tahunan itu. Indonesia tidak boleh menunda lahirnya keputusan untuk perlindungan keanekaragaman hayati di Indonesia dengan alasan transisi pemerintahan.
Dari berbagai tempat di dunia, termasuk dari Jakarta dan Sangihe-–pulau kecil di Sulawesi Utara yang terancam tambang, Greenpeace menyerukan pesan-pesan penyelamatan keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup.
“Kami juga mendesak pengakuan, penghormatan, dan pelindungan hak-hak masyarakat adat dan lokal—dua komunitas yang selama ini berperan penting menjaga keanekaragaman hayati. Sepuluh tahun pemerintahan Jokowi menelantarkan RUU Masyarakat Adat, tapi menerbitkan sejumlah undang-undang yang menguntungkan oligarki. Tak banyak pilihan bagi kita, selain terus bersuara melawan oligarki yang mengancam keberlanjutan Bumi,” kata Khalisah Khalid.