Suku Laut Kawal Laut di Bintan terancam tergusur akibat proyek PT BAI yang merusak ekosistem dan makam leluhur. Jembol dan Nenek Kancil berjuang mempertahankan ruang hidup yang semakin terdesak tanpa kepastian relokasi.

Ombak berbisik lirih di tiang-tiang rumah panggung itu, seperti hendak menyampaikan sesuatu yang tidak sampai. Air laut yang surut siang itu membiarkan tanah lumpur menganga, menampakkan akar-akar mangrove yang mulai kehilangan pegangan. Di atasnya, langkah seorang lelaki membawa gelisah.

“Saya sudah tidak bisa diam,” suaranya lirih tapi padat, sepadat udara asin yang memenuhi paru-parunya. “Ruang hidup kami semakin terancam, tempat tinggal dan makam sakral juga terancam digusur.” Kata Johanes Jamil atau Jembol, begitu ia dipanggil—adalah anak laut yang tidak sudi tercerabut dari akarnya.

Jembol adalah generasi kedua Suku Laut Kawal Laut, yang masih mengingat bau kayu perahu ayahnya, yang masih menatap laut seperti seorang anak menatap ibunya. Hari itu, Sabtu, 15 Maret 2025, ia kembali ke pemukiman Suku Laut di Kawal Laut, Bintan.

Lorong hutan mangrove yang semakin sempit ia lalui, berjalan bersama laut yang surut sejauh 590 meter. Di depan, rumah-rumah kayu berdiri di atas tiang-tiang yang mencengkram dasar laut. Tidak ada jalan darat yang menghubungkan mereka ke dunia lain—hanya laut, langit dan angin yang menaruh rahasia di antara gelombang.

Di beranda sebuah rumah panggung, seorang perempuan renta berdiri—menatapnya. Suaranya menerjang suasana terisolir di lokasi itu. “BANGKOI DIKOW,” katanya lantang—memiliki arti sudah lama tidak bertandang.

Dialah Nenek Kancil, 80 tahun. Generasi pertama yang tersisa, yang masih menyimpan kisah nenek moyangnya dalam lipatan kulit keriputnya. Tangannya yang cekatan menggulung daun nipa, menjadikannya rokok tradisional. Salah satu ritual kecil yang bertahan melawan waktu.

Jembol tersenyum—tapi ada sesuatu yang bergetar di matanya. Dan ketika ia membuka pembicaraan tentang ancaman yang mendekat, tawa Nenek Kancil pun meredup.

“Sedih, tidak habis pikir. Hutan dibabat, laut mau dikeruk, kuburan sakral kita pun mau dibabat. Tolonglah itu dilihat mbol,” ungkap Nenek Kancil. Tangannya mulai menyeka mata, ada air yang membuat matanya berkaca, tapi bukan dari uap air laut.

Di kelompok Suku Laut Kawal Laut ini, langit masih bisa mereka baca, bintang masih bisa memberikan mereka kisah, tentang apa yang akan dihadapi atau dimakan pada esok hari.

Perjalanan panjang sang penjaga laut

Suku Laut ini telah menetap di Kawal Laut sejak 1970, setelah berkelana dari Pulau Air Kelat, Pongok, dan Mensemut di Kabupaten Lingga. Mereka adalah manusia laut—yang memilih berdiam di atas air, terpisah dari kelompok Suku Laut keturunan Bajo yang kini menetap di pesisir pantai Kawal.

Tidak ada lahan pribadi yang mereka miliki. Hanya laut dan hutan mangrove yang mereka jaga seperti menjaga jantung mereka sendiri.

Sebanyak 17 keluarga bertahan dengan menangkap ikan dan kepiting bangkang di hutan mangrove pesisir Desa Kawal—namun kini, laut tidak lagi sama.

Di Kampung Mansiran, hanya 1,5 kilometer dari tempat mereka bermukim, PT Bintan Alumina Indonesia (BAI) tengah melakukan pengembangan kawasan industri. Sejak itu, kepiting bangkang semakin sulit dicari, mangrove yang dulu menari bersama angin kini roboh satu per satu.

“Hutan mangrove semakin menipis, kepiting bangkang yang dulu bersarang di akar-akar bakau, sekarang lari ke laut karang. Perubahan ini menyulitkan kami,” ungkap Jembol.

Bukan hanya itu, teman-temannya yang melaut kini sering menemukan patok dan plang bertuliskan PT BAI di pesisir. Bahkan di tengah laut Kawal, tanda-tanda batas kepemilikan mulai muncul, seolah-olah laut pun bisa diklaim. Jembol menatap jauh ke cakrawala—laut itu mulai asing baginya.

Makam leluhur dan alur sungai di ujung ancaman ekologi

Namun, lebih dari semua itu, yang membuat Jembol dan Nenek Kancil kehilangan kata adalah ancaman yang kini mengintai tanah peristirahatan leluhur mereka.

Di pemakaman yang mereka jaga, setiap hari keluarga datang membawa makanan dan minuman yang disukai para leluhur semasa hidup. Sebuah kebiasaan yang diwariskan turun-temurun—namun kini, hanya tiga meter dari makam itu, pengerukan mulai dilakukan.

“Sedih hati saya melihat ini,” suara Jembol melemah. “Mereka melakukan semua ini tanpa bicara dengan kami, seperti tidak ada kesempatan bagi kami mempertahankan alam yang selama ini menghidupi kami,” tangan Jembol terkepal—Kesal. Geram. Laut dan daratan tempat mereka berpijak seakan sedang dihitung dalam angka-angka yang tidak mereka pahami.

Pengerukan yang dilakukan PT BAI membentang sepanjang mata memandang. Pohon-pohon nipa dan pandan yang ditanam oleh leluhur Suku Laut Kawal Laut kini tinggal menunggu giliran untuk tumbang.

“Kalau sudah hancur seperti ini, bisa jadi ini adalah rokok nipa terakhir yang bisa kami nikmati,” ucap Jembol, memandangi daun nipa kering di tangannya, pemberian Nenek Kancil.

Ia melangkah ke tengah lautan yang masih surut, menunjuk patok bertuliskan BAI—berdiri di atas lumpur yang tidak lagi dibiarkan bernapas.

“Di alur itu, ujungnya adalah rumah relokasi warga Kampung Mansiran. Akan dibangun sebagai tempat wisata dan akan dilakukan pendalaman alur,” katanya.

Rencana pendalaman alur ini akan berdampak buruk bagi ekosistem sekitar. Jembol tahu, air laut tidak bisa dipaksa tunduk pada batas-batas yang dibuat manusia—segala perubahan akan merambat, menghancurkan perlahan.

“Alur ini berjarak 900 meter dari pemukiman kami. Ibu-ibu biasanya membantu suaminya menaruh bubu kepiting di hutan ini, sementara para suami turun ke laut mencari ikan,” kata Jembol.

Jika pendalaman alur terjadi, ekosistem akan rusak, mata pencaharian hilang, dan mereka akan kehilangan satu lagi alasan untuk bertahan hidup.

Jembol menatap rumah panggung di kejauhan, tempat di mana kehidupannya yang dahulu tertanam. Rumah-rumah itu seperti terapung di batas yang kian kabur antara daratan dan kepentingan manusia-manusia perkasa.

“Sudah tersebar luas informasi bahwa tempat kami tinggal akan digusur. Kami tidak tahu akan dipindahkan ke mana,” ujarnya.

Di penghujung sore itu, angin laut tetap berembus, ombak akan tetap berbisik di tiang-tiang rumah panggung itu—tapi suaranya semakin lirih, semakin sulit didengar oleh mereka yang terus menebang dan mengeruk.

“Saya harus berbicara lebih lantang. Sebelum laut, sebelum rumah-rumah, sebelum makam leluhur kami benar-benar hilang. PT BAI dan pemerintah tidak boleh diam, kami butuh penjelasan yang jelas,” tutupnya.

Konflik wilayah Suku Laut dan Proyek Strategis Nasional di Bintan

Di tepian laut yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota, kelompik Suku Laut di Kawal Laut, Kepulauan Riau, menghadapi gelombang besar yang mengancam keberlangsungan hidup mereka. Bukan badai atau ombak tinggi, melainkan proyek pembangunan yang perlahan-lahan menggusur mereka dari ruang hidupnya yang telah diwariskan turun-temurun.

Orang Suku Laut dikenal sebagai komunitas maritim dengan pola hidup nomaden yang bergantung pada laut. Mereka bermukim di sekitar pesisir timur Sumatera hingga Semenanjung Malaysia, termasuk Kepulauan Riau yang menjadi konsentrasi terbesar mereka di Indonesia.

Berbeda dengan masyarakat adat darat yang memiliki wilayah leluhur tetap, Orang Suku Laut memahami tanah air mereka sebagai lintasan, bukan batas administratif.

Seiring waktu, kebijakan sedenterisasi sejak 1970-an memaksa mereka untuk menetap di daratan. Proses ini tidak hanya mengubah pola hidup mereka tetapi juga memunculkan kerentanan baru. Hilangnya akses terhadap sumber daya tradisional dan perubahan dalam struktur sosial-kultural menjadi tantangan yang belum terpecahkan hingga kini.

Proyek Strategis Nasional (PSN) Kawasan Industri Toapaya, yang masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025, menjadi momok bagi komunitas Orang Suku Laut di Kawal Laut.

Proyek ini dikelola oleh PT Bintan Alumina Indonesia (BAI), perusahaan yang memproduksi alumina dari bauksit berkadar tinggi.

Menurut Wengki Ariando, peneliti Nomad Laut di KITLV – Royal Netherlands Institute of Southeast Asia and Caribbean Studies, perpindahan ini mengancam pengetahuan ekologis yang telah diwariskan secara turun-temurun.

“Masyarakat ini tidak mengenal konsep kepemilikan tanah individual. Mereka hidup dalam sistem penggunaan kolektif yang berbasis pada wilayah perairan, selat, dan pulau-pulau kecil,” kata Wengki, Minggu (17/3/2025).

Berdasarkan data demografis, orang Suku Laut di wilayah Kepulauan Riau diperkirakan mencapai 12.800 jiwa. Tersebar di berbagai wilayah pesisir Kepulauan Riau.

Kini, proyek pembangunan kawasan industri oleh PT Bintan Alumina Indonesia (BAI) menjadi ancaman baru. Sejak akhir 2024, pihak perusahaan telah beberapa kali mengunjungi perkampungan orang Suku Laut dan menyampaikan rencana relokasi.

Mereka dijanjikan rumah dan kompensasi finansial—namun tanpa kejelasan detail. Yang pasti, kuburan leluhur mereka akan ikut tergusur.

“Tidak hanya kehilangan rumah dan makam nenek moyang, kelompok Suku Laut Kawal Laut juga menghadapi ancaman yang lebih besar, yakni kehilangan identitas,” lanjutnya.

Di antara semak belukar di tepi laut, ada 21 situs pemakaman leluhur kelompok Suku Laut Kawal Laut. Di sekelilingnya tumbuh pandan dan nipah, ditanam sejak 1970-an sebagai penanda sejarah kehadiran mereka. Namun, kini simbol-simbol itu mulai terancam hilang.

“Bagi orang Suku Laut, pemakaman bukan sekadar tempat peristirahatan terakhir. Itu adalah ruang sakral yang menghubungkan mereka dengan leluhur, dengan laut, dan dengan sejarah panjang perjalanan mereka. Ketika makam leluhurnya digusur, mereka akan kehilangan lebih dari sekadar tanah. Mereka akan kehilangan jejaknya sendiri,” ungkapnya.

Disampaikan Wengky, dalam sejarahnya, berbagai kelompok Suku Laut telah mengalami berbagai bentuk marginalisasi. Mereka dipaksa menetap, kehilangan akses terhadap sumber daya laut, dan kini harus menghadapi ancaman penggusuran.

Proyek-proyek pembangunan yang dikemas dalam narasi kemajuan sering kali mengabaikan realitas sosial dan budaya komunitas adat. Dalam analisisnya, James C. Scott (1998) menyebut fenomena ini sebagai seeing like a state—di mana negara, dalam upayanya mencapai keteraturan dan efisiensi, justru mengabaikan kompleksitas ekologi dan budaya lokal.

“Hasilnya, bukan hanya lahan yang hilang, tetapi juga modal sosial dan pengetahuan ekologis yang telah diwariskan turun-temurun,” lanjutnya.

Secara hukum, dijelaskan Wengky bahwa Suku Laut memiliki hak atas wilayah adat mereka. Namun, implementasi perlindungan hukum terhadap masyarakat adat sering kali lemah.

“Sosialisasi relokasi yang dilakukan oleh PT BAI tidak bersifat inklusif dan belum mendapatkan persetujuan penuh dari komunitas. Di sisi lain, minimnya respons penolakan yang terorganisir membuat posisi mereka semakin lemah,” tutupnya.

Sementara itu, upaya konfirmasi juga telah dilayangkan kepada Kepala Dinas Kominfo Kabupaten Bintan, Didi Kurniadi, namun dirinya belum bisa menjelaskan lebih jauh terkait polemik yang terjadi di Kawal Laut. “Saya cek ke dinas terkait dulu ya terkait informasi ini. Nanti akan saya kabari,” kata Didi melalui pesan singkatnya, Senin (17/3/2025).

Upaya konfirmasi juga telah dilakukan terhadap Senior Advisor PT BAI, Robert Sianipar, namun belum mendapati tanggapan.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.