Data menunjukkan Sulawesi Utara merupakan salah satu daerah dengan produksi kopi tertinggi di Indonesia Timur, yang mencapai 4,038 ton pertahun. Namun penyusutan lahan dan harga kopi yang berfluktuasi, menyebabkan banyak petani yang mulai meninggalkan pohon kopi mereka.

Oleh Budi Nurgianto

Hari masih pagi, baru pukul tujuh. Beberapa penduduk desa ada yang masih terlihat membungkus diri dengan kain sarung. Namun Sukiman, warga Desa Purworejo Timur, Kecamatan Modayag, Bolaang Mongondow Timur sudah terlihat sibuk menyiapkan peralatan yang akan digunakan untuk memanen biji kopi. Tepat pukul delapan ia pun bergegas menuju perkebunan kopi yangjaraknya tak jauh dari perkampungan.

Pagi itu, Sukiman berencana melanjutkan pekerjaan memetik biji kopi di lahan seluas 700 meter persegi. Ia melakukan pekerjaannya itu tiga kali dalam seminggu setiap musim panen tiba setahun sekali. Sukiman mengaku sekali petik ia bisa mengumpulkan 20 kilogram biji kopi basah, dan untuk menyelesaikan pekerjaannya memetik biji kopi dilahan 700 meter persegi, ia membutuhkan waktu paling lama dua minggu.

“Saya biasa memetik biji kopi di pagi hari. Kalau sore jarang karena seringturun hujan,” kata Sukiman saat berbincang-bincang dengan Ekuotorial, Kamis 19 Desember 2019.

Perkebunan kopi jenis robusta (Coffea Canephora) di desa Purworejo merupakan perkebunan rakyat turun temurun yang digarap lebih dari 100 petani. Produksi di desa ini mencapai 257 kilogram per petani atau 258 kilogram per hektar dalam sekali musim panen.

Berdasarkan data Dinas Pertanian Bolaang Mangondow Timur, hingga 2017, luas perkebunan kopi di desa Purworejo mencapai 100 hektar dan di kecamatan Modayag sendiri mencapai 300 hektar. Setiap petani di desa itu rata-rata memiliki 0,5-1 hektar kebun kopi dengan jumlah pohon kopi mencapai 500 pohon. Hampir semua warga desa Purwerejo adalah petani kopi.

Namun, beberapa tahun terakhir ini, usaha tani kopi di Purworejo, yang merupakan usaha tani turun temurun, perlahan mulai ditinggalkan. Luas lahan yang ditanami kopi pun secara berangsur menyusut terus.

Secara keseluruhan luas perkebunan kopi di Kabupaten Bolaang Mangondow Timur di tahun 2018 mencapai 2.354 hektar dari sebelumnya 2.365 hektar di tahun 2007. Jumlah tanaman yang sudah menghasilkan buah kopi seluas 1.630 hektar. Pada tahun 2018, hasil produksi kopi di Bolaang Mangondow Timur mencapai 581 ton per tahun atau menurun dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 583 ton.

Menurut Sukiman, meski produksi kopi di Desa Purworejo tergolong tinggi, namun luas lahan perkebunan kopi di desa ini perlahan mulai mengalami penyusutan yang cukup signifikan.

Dalam tiga tahun terakhir, luas perkebunan kopi di desa Purworejo menyusut hingga 11 hektar atau setara 11 kali luas lapangan sepak bola. Banyak lahan perkebunan kopi yang dikelola petani beralih fungsi menjadi lahan tanaman hortikultura. Petani pelan-pelan menebangi pohon kopi dan menggantikan dengan tanaman jangka pendek seperti tomat dan cabai.

“Saya sendiri sekarang tinggal punya satu petak kebun kopi yang berisikan 230 pohon. Produksinya juga hanya sisa 100 kilogram biji kopi mentah,” ujar Sukiman.

Salah seorang petani kopi di Bolaang Mangondow yang sedang memanen biji kopi. Sumber: Ainur Rofiq.

 

Penyusutan lahan kopi juga terjadi di Kecamatan Bilalang, Kabupaten Bolaang Mangondow. Luas lahan perkebunan kopi di wilayah ini, tersisa 279 hektar dari sebelumnya 291 hektar atau menyusut 10 hektar dalam lima tahun. Luas lahan perkebunan kopi di Kabupaten Bolaang Mangondow secara keseluruhan mencapai 3,989 hektar dengan tingkat produksi mencapai 2,478 ton per tahun.

Amiludin, yang bertani didesa Bilalang III mengungkapkan, penyusutan lahan kopi di Bolaang Mangondow lebih banyak disebabkan tidak adanya peremajaan pohon kopi. Banyak petani yang memilih untuk menebang pohon kopi yang sudah tua dan menggantikannya dengan tanaman tahunan lain seperti kakao dan cengkeh. Para petani juga menerapkan sistim tumpang sari dengan menanam rica dan tomat.

Harga kopi yang berfluktuasi dan tidak menentu juga mendorong petani untuk tidak lagi menjadikan kopi sebagai komoditas unggulan.

“Meski produksi kopi tergolong tinggi, namun itu belum sepenuhnya berpengaruh signifikan terhadap tingkat kesejahteraan petani. Banyak petani kopi di Bolaang Mongondow yang masih hidup dalam kategori ekonomi lemah. Tak sedikit pula yang hidup dibawah garis kemiskinan,” kata Amiludin.

Pendapatan bersih petani di Bolaang Mongondow dari tanaman kopi mereka rata-rata hanya mencapai Rp 4-5 juta per bulan. Pendapatan yang tergolong rendah, masih belum bisa memenuhi kebutuhan konsumsi pangan keluarga yang sebulannya bisa mencapai Rp 6-7 juta. Pendapatan tertinggi petani kopi di Bolaang Mangondow adalah kala terjadi panen besar di bulan November. Pada periode itu pendapatan petani kopi bisa mencapai Rp 7 juta per bulan.

“Karena pendapatan yang tidak menentu inilah, yang kemudian membuat banyak petani memilih beralih menjadi petani holtikultura dan petani cengkeh,” lanjut Amiludin.

Di Sulawesi Utara sendiri, ada lima daerah penghasil kopi terbesar yaitu Kabupaten Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Timur, Kota Kotamobagu, Minahasa Selatan, dan Kabupaten Minahasa Tenggara.

Lima daerah ini berdasarkan data Kementerian Pertanian Pepublik Indonesia tahun 2019 mampu memproduksi kopi hingga 4,038 ton per tahun. Bolaang Mangondow dan Bolaang Mangondow Timur menjadi daerah penghasil kopi terbesar di Sulawesi Utara yaitu dengan produksi mencapai 2478 ton dan 500 ton.

Data Bank Indonesia (BI) tahun 2017 mencatat Sulawesi Utarabahkan merupakan salah satu daerah dengan produksi kopi tertinggi di Indonesia Timur. Produksi kopi di daerah ini mampu menyumbang perekonomian daerah hingga 6 persen. Komoditas kopi bahkan menjadi salah satu komoditas unggulan setelah kelapa dan coklat.

Kementerian Pertanian mencatat hingga tahun 2019, produksi kopi di Sulawesi Utara mencapai 4,038 ton pertahun atau terbesar kedua di Pulau Sulawesi setelah Sulawesi Selatan dengan produksi mencapai 30,992 ton pertahun.

Suprianto, barista di Kotamobagu mengungkapkan, penyusutan lahan perkebunan kopi di wilayah Bolaang Mangondow sesungguhnya adalah persoalan lama yang hingga kini belum terselesaikan. Ada tiga persoalan besar yang menyebabkan lahan kopi di wilayah Bolaang Mangondow menyusut.

Pertama, harga kopi yang tidak bersahabat dengan petani. Selama ini harga komoditi kopi di wilayah BolaangMangondow, umumnya ditentukan sepenuhnya oleh pedagang pengumpul tanpa adanya tawar-menawar dengan petani. Banyak petani yang tidak bisa menawar harga kopi lantaran tidak mengetahui secara pasti kualitas kopi.

Petani hanya tahu harga tertinggi kopi hanya dilihat dari aspek kebersihan biji kopi. Semakin bersih biji kopi maka semakin mahal harga jual.Sistem pembayarannya pun banyak menggunakan sistem pembayaran tunai dan bukan sistem ijon yaitukesepakatan penentuan harga yang dilakukan bersama antara petani dan pembeli, selama kurun waktu tertentu sebelum biji kopi kering sampai kepada pedagang pengumpul.

“Selain itu petani kopi juga sering tidak tahu harga jual biji kopi di pasar umum atau di tingkat pedagang besar. Akibatnya banyak yang menjual kopi dengan harga murah,” ujar Awaludin.

Kedua, faktor perubahan cuaca yang ditandai dengan perubahan pola hujan di wilayahBolaang Mangondow. Persoalan ini membuat musim panen kopi bergeser dari sebelumnya bulan September kini baru mulai terjadi di bulan Desember. Meningkatnya suhu udara juga kerap membuat sejumlah tanaman kopi cepat rusak. Banyak tanaman kopi yang tua kering dan mati. Akibatnya produksi kopi pun mengalami penurunan cukup signifikan.

Ketiga, persepsi petani yang menganggap pengolahan kopi secara modern sangat sulit dan mahal. Selama ini pengolahan biji kopi dilakukan secara tradisional dan sederhana. Petani kopi di wilayah Bolaang Mangondow rata-rata mengandalkan matahari untuk proses pengeringan biji kopi gabah (parchment coffee). Nyaris tidak ada petani yang melakukan pengolahan biji kopi gabah dengan teknik lebih modern seperti mengunakan mesin pengering. Prosesnya masih sangat sederhana yaitu memetik biji kopi dan kemudian menjemurnya langsung dibawah matahari. Tak ada proses lain yang dilakukan seperti memilah dan memilih biji kopi yang matang.

“Inilah yang kemudian menurunkan kualitas biji kopi, sehingga petani jadi malas berkebun kopi. Padahal jika persoalan ini bisa diatasi saya yakin akan memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan petani,” ujar Suprianto.

Proses penjemuran biji kopi yang dilakukan secara manual oleh salah seorang petani kopi di desa Candi Rejo, Kabupaten Bolaang Mangondow Timur. Sumber: Ainur Rofiq.

 

Perubahan iklim juga berdampak pada produktivitas tanaman kopi. Rizaldi Boer, Pengajar Intitute Pertanian Bogor mengungkapkan, dampak siegnifikan dari perubahan iklim terhadap tanaman kopi di Indonesia adalah menurunnya tingkat produktivitas. Peningkatan suhu mempercepat kopi berbunga, tetapi menghasilkan biji kopi dengan mutu yang rendah. Selain pembungaan, peningkatan suhu juga mempengaruhi metabolisme tanaman kopi seperti fotosintesis dan respirasi, yang dapat berdampak buruk pada hasil tanaman kopi.

Perubahan iklim juga dapat mendorong peningkatan serangan hama dan penyakit tanaman kopi. Peningkatan suhu akan mendukung pengembang biakan hama dan penyakit tertentu. Beberapa studi analitis bahkan menyimpulkan bahwa gangguan hama pada tanaman kopi pada masa depan akan meningkat ketika dibandingkan dengan kondisi iklim normal tahun 1961-1990.

“Hasilnya pada tahun 2050-2070 kopi diprediksi akan sulit lagi ditemukan. Produksi kopi ditahun itu akan menurun cukup signifikan. Apalagi perubahan pola hujan akhir-akhir ini mengakibatkan turunnya kualitas kopi,” kata Rizaldi yang dihubungi Ekuatorial Kamis 09Januari 2020.

 

Mencegah penyusutan lahan kopi

Sehan Salim Landjar, Bupati Bolaang Mangondow Timur mengungkapkan dalam tiga tahun terakhir, pemerintah sebenarnya gencar mencegah penyusutan lahan perkebunan kopi dengan mengimbau petani agar tidak mengubah lahan kopinya dengan tanaman hortikultura.

Pemerintah bahkan sudah menggagas program peremajaan pohon kopi di Kecamatan Modoyag yang baru dimulai pada tahun 2017 di lahan seluas 30 hektar. Langkah itu dilakukan agar produksi biji kopi di kabupaten Bolaang Mangondow Timur tetap terjaga dan bisa menjadi komoditas unggulan.

Berdasarkan hasil kajian Pemerintah Daerah Bolaang Mangondow Timur, ada tiga belas desa yang mengalami persoalan cukup serius dalam hal penyusutan lahan perkebunan kopi yaitu desa Candi Rejo, Lanut, Liberia, Moat, Modayag, Modayag II dan III, Mokitompia, Mototompian, Purworejo, Purworejo Timur, Sumber Rejo, dan Tobongon.

Penyusutan lahan perkebunan kopi di tiga belas desa ini mencapai 12 hektar seluruhnya berubah menjadi lahan pertanian hortikultura. Penyusutan itu mulai marak terjadi sejak tahun 2011. Ada juga penyusutan akibat pengembangan infrastruktur jalan usaha tani dan pembuatan jalan baru yang menghubungkan antar desa yang ada di Kecamatan Modayag yang luasnya mencapaisebesar 1,2 hektar.

“Karena itu, pemerintah sudah mulai fokus melakukan pemberdayaan petani kopi agar tidak menebangi pohon kopi lagi. Pemerintah juga mensosialisasikan sistem tumpang sari di lahan perkebunan kopi,” kata Sehan yang dihubungi Sabtu 21 Desember 2019.

Sementara di Kabupaten Bolaang Mangondow penyusutan lahan perkebunan kopi terjadi pada empat desa di Kecamatan Bilalang seperti desa Bilalang Baru, Bilalang III Bilalang III Utara, dan Bilalang IV.Pada empat desa ini luas penyusutan perkebunan kopi mencapai 230 hektar.

Bupati Bolaang Mangondow, Yasti Soepredjo Mokoagow, berpendapat ada dua persoalan yang membuat lahan perkebunan kopi di kabupatennya menyusut setiap tahunnya. Bertambahnya jumlah penduduk berdampak pada perluasan wilayah pemukiman dan banyak pohon kopi ditebang untuk kepentingan pembangunan pemukiman.

Kedua, harga kopi yang rendah dan sulitnya pengelolaan secara modern mendorong petani memilih beralih menjadi petani tanaman jangka pendek seperti tomat dan cabai.

Menurutnya, pemerintah Bolaang Mangondow sedang melakukan pemberdayaan petani agar tidak lagi mengkonversi lahannya. Seperti dengan meningkatkan kapasitas petani dalam mengolah biji kopi dan keterampilan pemasaran. Pemerintah bahkan mencoba menjajaki dan menjalin kerjasama dengan beberapa investor untuk mau membeli biji kopi dari petani Bolaang Mangondow,

“Sejumlah investor dari Amerika, Philipina dan Eropa sudah pernah menyatakan ketertarikan. Saat ini kami tinggal melakukan langkah pengembangan mutu,” ujar Yasti.

SementaraJenny Karouw, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Utara mengatakan, penyusutan lahan perkebunan kopi di Sulawesi Utara sebenarnya hanya bisa dicegah dengan cara menyediakan pasar kopi untuk petani.

Saat ini, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara sedang membantu Pemerintah Kabupaten penghasil kopi menggagas pasar kopi. Sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Philipina, Belanda, Jerman, dan Korea sedang dijajaki untuk bisa menjadi pasar kopi Sulawesi Utara.

“Kalau untuk saat ini permintaan sudah mulai berdatangan dari Tiongkok, Belanda dan Ukraina. Kami berharap pasar kopi Sulawesi Utara bisa berkembang dan produksi kopi bisa meningkat,” kata Jenny sembari menambahkan hingga tahun 2017, ekspor biji kopi dan rempah-rempah dari Sulawesi Utara mencapai 6,402 ton dengan nilai perdagangan mencapai US$ 6,4 juta.

Ada beberapa negara tujuan utama ekspor yakni Singapura, Amerika Serikat, Jepang, Belanda, Korea Selatan, Malaysia, India, Arab Saudi, China, dan Vietnam.

Meski demikian, petani kopi Desa Bilalang III, Bolaang Mangondow menganggap, upaya pemerintah menggagas pasar kopi belum sepenuhya berdampak baik pada petani ditingkat lokal. Banyak petani kopi yang masih mengalami kesulitan memasarkan hasil panennya lantaran tak mengetahui pasar tujuan.

“Selama ini yang terjadi petani selalu menjual kopi hanya pada pengepul, dan harganya pun sangat murah. Jika pemerintah kemudian mengagas pasar kopi yang sebenarnya, kami-petani- tentu sangat senang dan mendukung upaya itu,” ujar Amiludin yang dihubungi kembali Selasa07 Januari 2020. Ekuatorial.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.