Posted inArtikel / Perubahan Iklim

Kopi Kerinci terancam perubahan iklim

Produksi kopi arabika di Kerinci, Jambi, turun karena musim kemarau yang panjang. Serangan hama penyakit semakin ganas. Dampak perubahan iklim tidak hanya dirasakan tapi juga mengancam kopi di seluruh dunia, termasuk Indonesia, negara penghasil kopi keempat terbesar di dunia.

Liputan ini telah lebih dahulu diterbitkan di Majalah Tempo pada tanggal 8 November 2019.

Jemari Edi Santoso cekatan memilih ceri merah yang bergelantungan di dahan pohon di kebun seluas 1,3 hekatare di Desa Tangkil, Kecamatan Gunung Tujuh, Kabupaten Kerinci, Jambi, Rabu, 30 Oktober lalu. Pagi itu ia dan enam perempuan pekerjanya sibuk memanen buah kopi yang masak, dari satu pohon ke pohon yang lain. Tapi pikiran Edi melambung jauh membayangkan nasib panennya yang mengalami kemarau panjang. 

“Produksi ceri merah pada September turun hingga 40 persen. Ini cuaca paling ekstrem yang saya rasakan dalam sepuluh tahun terakhir,” kata Edi, 42 tahun.

Bahkan sepanjang Agustus 2019 hampir tak turun hujan. Sekalinya hujan turun pada awal September, yang jatuh dari langit adalah butiran es sebesar buah kopi. “Hujan es yang sangat deras turun menjelang subuh. Daun kopi banyak yang robek, 90 persen bunga kopi gagal menjadi putik karena serbuk sarinya lengket,” ujarnya. 

Kemarau yang lebih panjang dari tahun lalu itu, juga memunculkan masalah lain, yakni serangan hama yang yang mengganas. 

Puluhan dari 2.500 batang kopi di kebun Edi, yang berada di perbatasan dengan Desa Kersik Tuo di Kecamatan Kayu Aro, terserang penggerek. Edi menunjukkan satu pohon yang berbuah lebat tapi daunnya menguning.

“Yang menggerek ini larvanya, nanti jadi kumbang dan pindah ke pohon lain,” ucapnya sembari menunjuk bekas lubang melingkar di pangkal pohon sejengkal dari tanah. 

Penggerek batang kopi (Zeuzera coffeae) merupakan hama yang dominan. Tapi Edi juga memperlihatan tanaman yang terserang penggerek buah (Hyphothenemus hampei) dan karat daun.

Tanaman kopi yang terserang penggerek buah ditandai dengan lubang hitam pada ceri yang belum merah. Adapun serangan hama karat daun atau jamur Hemileia Vastarix tampak dari bercak kuning pada permukaan daun sebelah dalam.

“Tahun sebelumnya hama ini sudah datang, tapi tiga bulan ini yang paling banyak,” kata Edi.

Buah Kopi yang terkena hama penggerek. Sumber: Febriyanti

Petani kopi arabika lainnya, Sucipto, 71 tahun, di Desa Kersik Tuo, Kayu Aro juga menghadapi masalah yang sama. Ia memiliki 400 batang kopi arabika yang ditanam bersebelahan dengan tanaman sayuran seperti tomat, cabe, kol, dan ubi. 

Ia mengatakan, sejak kemarau selama pertengahan tahun ini masa panen kopinya lebih lama. Biasanya ia panen buah merah sekali dalam dua minggu, tapi sekarang hanya sekali dalam tiga minggu. 

Buah kopinya juga lebih sedikit, biasanya panen 200-300 kg per dua minggu, tapi sekarang per tiga minggu hanya mendapatkan 30-40 kg buah merah kopi. 

Bunganya juga nggak keluar, seharusnya kopi saya  nggak pernah berhenti berbunga, tetapi sekarang  jadi jarang berbunga, ini masa kemarau paling lama yang saya rasakan sejak saya jadi petani,” tutur Sucipto yang mengaku bertani sejak berusia 15 tahun.

Sucipto, Petani Kopi, Desa Kersik Tuo

Emma Fatma, Direktur PT Agro Tropic Nusantara yang mengolah dan mengekspor kopi arabika kerinci di Desa Sungai Lintang, Kayu Aro Barat sudah memperkirakan  penurun produksi kopi hingga 30 persen pada tahun 2020, akibat kemarau panjang.

Pabrik Agro Tropic Nusantara di Desa Sungai Lintang, Kayu Aro Barat  dalam sehari mengolah 8-9 ton ceri kopi arabika yang dipasok dari 600 lebih petani di Kayu Aro yang jadi mitranya.

“Semua petani yang kami dampingi  merasakan dampak musim kemarau,” ujar Emma.

Setiap bulan perusahaan ini mengekspor 36 ton kopi ke Amerika Serikat, Jerman dan Inggris dengan nilai Rp3,2 miliar. 

Koperasi Alam Korintji (Alko)  di Batang Sangir, Kayu Aro, yang mengolah dan menjual biji kopi serta kopi kemasan arabika Kerinci, juga mengalami penurunan produksi, dari biasanya 30 ton biji kopi mentah (green bean) per bulan, kini hanya 17-20 ton per bulan. Koperasi Alko  memasok kopi ke Medan dan Bandung serta mengekspor ke Norwegia dan Inggris.  

“Musim kemarau ini membuat produksi ceri merah berkurang, karena tanaman kekeringan dan hama semakin banyak,” kata Direktur Operasional Koperasai Alko Nopa Suryono, Ahad,  3 November lalu.

Direktur Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember, Jawa Timur, Agung Wahyu Susilo mengatakan kemarau panjang dan berkembangnya hama kopi di Kerinci kemungkinan besar adalah akibat  perubahan iklim.

Suhu udara yan makin hangat, kata dia,  menyebabkan hama penggerek buah dan penggerek batang kopi  yang semula menyerang di dataran rendah dan menengah, beralih naik ke dataran tinggi, lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut. 

“Resiko serangan hama semakin meningkat terutama di daerah basah yg pembuahan kopinya hampir sepanjang tahun seperti di Kerinci,” kata Agung saat dihubungi Kamis, 31 Oktober lalu. 

Agung menambahkan, saat ini belum ada varietas  kopi yang tahan hama penggerek buah, penggerek cabang ataupun batang.

Agung menyarankan hama penggerek buah kopi tidak dikendalikan dengan pestisida, melainkan dengan  Hypotan-senyawa alkohol ramah lingkungan ciptaan peneliti di lembaganya. Selain itu, bisa dilakukan dengan panen racut dan lelesan – tanpa meninggalkan sisa buah di tanah yang  bisa menjadi media tumbuh hama.

Adapun hama penggerek batang dan cabang dapat ditangani dengan memotong batang serta cabang yang terserang dan memendamnya di tanah.  

Agung mengatakan lembaganya belum punya data tentang  dampak perubahan iklim terhadap kopi di Indonesia. 

“Kami belum punya datanya, tapi mestinya berdampak, karena efek iklim sifatnya global atau regional,” tuturnya. 

Namun petani kopi Solok Radjo di Nagari Air Dingin, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, yang berjarak 137 kilometer dari Kayu Aro mengaku belum terkena dampak. 

“Produksi kami perkirakan sama dengan tahun lalu. Memang lebih banyak musim kering, tapi tidak terlalu berdampak pada kopi,” kata Alfadrian Syah, Ketua Koperasi Solok Radjo, yang membina 800 petani.

Sucipto, petani kopi arabika di Desa Kersik Tuo, Kayu Aro hanya bisa mendapatkan sekitar 30-40kg baux Merah kopi per panen, yang biasanya 200-300kg per panen. Jarak antara panen pun kini bertambah panjang, yang semula sekali dalam dua minggu, kini sekali dalam 3 minggu. Sumber: Febriyanti.

Rizaldi Boer, Direktur Pusat Risiko Iklim dan Manajemen Peluang di Asia Tenggara dan Pasifik (CCROM-SEAP) dari Institut Pertanian Bogor mengatakan dampak perubahan iklim memang sedang mengancam kopi di dunia, termasuk di Indonesia sebagai negara penghasil kopi keempat sejagat. 

Ia menyitir hasil penelitian The Climate Institute, Australia, yang meramalkan setengah dari kawasan penghasil kopi di dunia hilang pada 2050. Bahkan pada 2080 spesies kopi liar diperkirakan punah.   

Menurut Rizaldi, perubahan iklim akan membuat kita mengalami keadaan ekstrem, seperti makin seringnya kondisi tidak hujan berturut-turut, musim kemarau semakin kering, serta musim hujan semakin basah. 

Perubahan iklim ini akan berdampak kepada pertanian, salah satunya kopi.

Rizaldi Boer, Direktur Pusat Risiko Iklim dan Manajemen Peluang di Asia Tenggara dan Pasifik, Institut Pertanian Bogor

Ia mencontohkan kondisi kopi di Afrika yang produksinya semakin menurun. Pola yang sama juga sedang terjadi di Toraja, Sulawesi dan  Toba serta Lampung di Sumatera. 

Perubahan iklim, Rizaldi menambahkan,  juga membuat serangan hama meningkat, terutama penggerek buah kopi seperti yang terjadi di Toba, Sumatra Utara.

Menurit kajian timnya di Toba, Sumatera Utara, serangan hama makin tinggi  karena makluk hidup membutuhkan satuan panas untuk bisa menyelesaikan siklus hidupnya.

“Makin  panas suhu semakin cepat dia menyelesaikan siklus hidup, perkembangbiakannya semakin kencang, dan serangannya pun semakin cepat,” ucap Rizaldi yang mendorong diadakan penelitian untuk menemukam varietas kopi tahan hama.

Liputan in merupakan bagian dari program pelatihan dan beasiswa Kopi dan Perubahan Iklim yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) dan didukung oleh Internews’ Earth Journalism Network.

Febrianti

Febrianti is a journalist who lives in Padang, West Sumatra. Currently, Febrianti is a contributor for Tempo in West Sumatra and the Editor-in-Chief of an online environmental and travel site, Jurnalistravel.Com....

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.