Terinspirasi oleh alam, pasangan suami istri Gede Kresna dan Ayu Gayatri, menerapkan hidup selaras dengan lingkungan, mulai dari membangun rumah hingga mengolah makanan. Keduanya pun membagikan pengalaman arsitektur serta olahan rasa kepada petani setempat dan mahasiswa magang.

Oleh Anita Syafitri Arif 

Buleleng, BALI. Baru tujuh tahun lamanya berdiri, rumah ramah lingkungan atau dikenal sebagai Rumah Intaran yang diinisiasi oleh pasangan suami istri asal Bali, Gede Kresna dan Ayu Gayatri Kresna, di Desa Bengkala, Kabupaten Buleleng, Bali, telah menjadi tempat belajar bagi banyak kalangan, lokal, nasional, maupun internasional.

Rumah Intaran, dinamakan sama dengan pohon intaran (Azadirachta indica) atau  Neem tree, Nimtree  yang banyak ditemukan di Desa Bengkala, merupakan bangunan satu lantai dengan panjang 16 meter dan lebar sepuluh meter. Bangunan bergaya joglo ini terdiri dari ruang teras depan yang cukup luas, ruang studio yang dilengkapi ruang duduk dan ruang diskusi, ruang tidur utama di belakang studio dengan kamar mandi, dan ruang teras belakang yang lebih kecil.

Bangunan ini dirancang dan dibangun dengan pengkondisian alami yang optimal terlihat dari banyak jendela dan ventilasi, hingga dinding anyaman bambu.

Bagian atap dibangun tanpa plafon dan langsung susunan atap genteng yang rapih di atas reng (red : kerangka berupa bilah-bilah  bambu/kayu yang dipasang melintang di atas tulang utama atap). Kondisi tersebut memungkinkan pasokan udara segar dari pepohonan dan tanaman di sekitar bangunan, juga pencahayaan siang hari cukup dari sinar matahari.

Struktur dan desain Rumah Intaran mengutamakan aliran udara dan cahaya alami. Foto oleh Sung Kyun Kim.

Rumah Intaran dibangun seluruhnya dari material daur ulang yang didapatkan dari berbagai pelosok Jawa dan Bali, antara lain Pati, Solo di Jawa Tengah dan Pasuruan, Situbondo di Jawa Timur.

“Peran saya sebagai arsitek tidaklah terlalu penting. Atau dengan kata lain, arsiteknya tidak sepenting material-material yang sudah ada sebelumnya, semua dikolaborasikan sekehendak materialnya,” jelas Gede Kresna, penggagas dan arsitek Rumah Intaran saat ditemui oleh Ekuatorial.com (26 April 2018).

Gede menambahkan bahwa desain rumah tidak merusak tatanan ekosistem dan ekologi, terutama untuk ketersediaan lahan sebagai resapan air hujan, menyediakan ruang-ruang untuk menanam, bahkan membiarkan pohon intaran tumbuh masuk ke dalam Rumah Intaran.

“Apakah pohon (intaran) itu mengganggu? Tidak, Pohon Intaran itu memeluk rumah kita,” tegas Gede menambahkan. Ia melibatkan masyarakat Desa Bengkala, terutama para perempuan, untuk membantu pembangunan rumah tersebut.

 

Belajar Mengolah Rasa Pangan Lokal

Pada tahun 2013, Rumah Intaran mulai membuka program magang bagi mahasiswa untuk desain arsitektur bangunan ramah lingkungan selama tiga hingga lima bulan.

Angkatan pertama terdiri dari empat peserta, — dua mahasiswa arsitektur dari Jakarta dan India, satu mahasiswa desain produk dari Belanda, dan satu mahasiswa jurusan Sejarah asal Australia.

“Awalnya, kita memang bermaksud menjadikan Rumah Intaran sebagai studio arsitektur, dan kami membuka peluang bagi mahasiswa dan lulusan baru, utamanya arsitektur, untuk magang. Dan, karena studio ini terletak di desa yang agak jauh dari pusat kota, kami menyediakan tempat tinggal bagi dua atau tiga, maksimal empat peserta magang untuk setiap periode,” jelas Gede Kresna.

Namun,  dalam perkembangannya, para mahasiswa magang juga dilibatkan dalam aktivitas penyiapan makanan di dapur Rumah Intaran, yang kemudian dinamakan Dapur Pengalaman Rasa.

“Mereka, anak-anak magang ini,  kita libatkan juga dalam aktifitas menyiapkan makanan di dapur kami. Bahkan, bli (red : sapaan khas masyarakat Bali untuk laki-laki lebih tua) Gede juga mengajak mereka mengalami kegiatan pertanian di kebun di desa ini dan di sawah di sekitar desa [Bengkala] ini.”,” kata Ayu Kresna, penggagas Dapur Pengalaman Rasa.

Dapur dengan panjang 12 meter dan lebar empat meter, terletak berdampingan dengan Studio Rumah Intaran menghadap ke timur. Ruang makan ini juga berfungsi sebagai ruang diskusi.

Pengalaman Rasa dipilih sebagai nama dapur karena makanan dan minuman yang diproduksi maupun yang dikurasi diolah secara alami dan memiliki rasa yang khas.

“Dengan magang di Rumah Intaran ini, saya jadi sadar bahwa kita perlu mengupayakan kemandirian pangan, minimal untuk yang dikonsumsi sehari-hari, seperti cabe, sereh, dan-lain-lain. Hal ini selain penghematan secara finansial, [kualitas] lingkungan hidup kita juga meningkat,” jelas Rofida, mantan peserta magang angkatan ketiga (2015) yang kini menjadi staf Rumah Intaran.

Saat magang, Rofida belajar menyaring dan memasak air minum secara tradisional, memasak dengan cangkem paon (red: tungku kayu bakar) dan menanam berbagai tanaman keperluan sehari-hari, terutama bumbu dapur, serta mencuci dengan sabun alami, menggunakan buah lerak.

“Saya mau menerapkan cara hidup seperti di sini, nantinya jika kembali di Solo, mulai dengan skala yang paling kecil, yaitu diri saya dan keluarga sendiri,” lanjutnya.

Hingga kini, sudah ada tujuh angkatan dengan total 22 peserta yang mengikuti program magang di Rumah Intaran.

Gak muluk-muluk, saya berharap agar semua mahasiswa yang pernah magang di Rumah Intaran dan Pengalaman Rasa dapat melakukan juga upaya-upaya seperti di sini – membangun kedaulatan pangan lokal – di daerahnya masing-masing, minimal menerapkan pada diri sendiri, di rumah sendiri dengan keluarga sendiri,” jelas Ayu yang menanam sendiri cabe, sereh, tomat, jintan, bayam, oyong, pisang, kelapa, mangga dan delima secara alami.

Selain berbagi ilmu dengan para mahasiswa, pasangan suami istri tersebut juga menggandeng warga desa Bengkala untuk kegiatan-kegiatan antara lain menganyam bambu, terutama membuat wadah dan kemasan, membuat tempe dari bahan-bahan lokal, membuat gula aren dan tuak serta membuat sarang lebah dan memanen madu.

Komang, salah satu petani kebun yang mendapatkan pelatihan tersebut, mengakui bahwa kondisi lahan menjadi lebih gembur sejak diajarkan membuat pupuk dari kotoran cacing, atau disingkat pupuk kascing, yang cocok untuk lahan kering.

“Saya bisa bertani dan berkebun tanpa menggunakan pupuk maupun pestisida kimia, dan hasilnya cukup memadai, antara lain ada cengkeh, kopi, talas, singkong, pisang, dan duren,” kata Komang kepada Ekuatorial.com, bulan April lalu.

Komang, salah satu petani desa Bengkala yang telah mengaplikasikan cara bertani organik yang diperkenalkan oleh Rumah Intaran . Foto oleh Anita Syafitri Arif.

Tidak hanya makanan yang sehat dan ramah lingkungan, pemenuhan air bersih pun menjadi perhatian pasangan suami istri tersebut dengan mengolah sendiri pasokan air dari pipa PDAM (Perusahaan Air Minum Daerah).

Mereka mengolah air yang berasal dari sungai Tukad Daya dengan menggunakan filter berasal dari bahan alami dan memasak menggunakan cangkem paon (red : tungku terbuat dari tanah liat).

“Bahagia itu tidak sederhana. Kami bahagia jika air minum kami sehat, dan itu membuat kami harus melakukan sendiri pekerjaan-pekerjaan ini, sebagai proses mendapatkan air yang layak diminum,” kata Gede.

Sementara itu, Kepala Desa Bengkala I Made Arpana menyatakan bahwa belum terlihat nyata kontribusi Rumah Intaran kepada wajah desa tersebut.

“Rumah Intaran sudah eksis sejak 2011 di Desa Bengkala. Walaupun secara langsung dan kasat mata belum terlihat dampak dari kontribusinya pada wajah desa, namun Gede dan Ayu sudah sering kali memfasilitasi petani dan ibu-ibu di desa ini,” kata I Made. Ekuatorial.

Anita Syafitri Arif adalah arsitek asal Makassar, Sulawesi Selatan, yang telah melakukan penelitian terhadap tradisi desa Bengkala bersama rekannya, Prof. Sung-Kyun Kim. Anita menetap dan bekerja di Denpasar, Bali.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.