Biodiversity keanekaragaman hayati

Jakarta, Ekuatorial – Metode metabarcoding mulai dipakai untuk analisis-cepat keanekaragaman hayati, dengan hasil lebih cepat, lebih murah, dan tetap akurat.

Anggap saja para ilmuwan ingin mengidentifikasi serangga di pedalaman hutan Papua. Biasanya mereka akan datang dengan serombongan besar orang untuk menangkap, memisahkan, dan mengidentifikasi serangga-serangga itu. Selain butuh banyak pekerja (labour-intensive) yang terdiri dari para ilmuwan, ikut juga para asisten, para porter dan lain-lain, dan waktu yang dibutuhkanpun relatif lama.

Sekarang para peneliti dari Universitas Griffith di Australia memakai cara baru metabarcoding, yang merupakan metode analisis cepat keanekaragaman hayati dengan memadukan dua teknologi, yaitu taksonomi DNA dan sekuen DNA.

Para peneliti Griffith menjalankan metabarcoding untuk mengidentifikasi serangga, dengan cara menciptakan “sop” serangga. Seperti umumnya sop sebagai makanan yang terdiri dari berbagai ramuan dan kombinasi beberapa daging, maka “sop” serangga ini terdiri dari ratusan ribu serangga yang campur aduk dalam satu jerat.

Serangga dalam “sop” akan diidentifikasi dengan mengambil percontoh asam dioksiribonukleat (DNA) atau disebut juga materi pembawa sifat. “Keunggulannya, setiap mahluk hidup memiliki DNA dan bahkan bagian-bagian anggota tubuh terkecil sekalipun dapat dipakai identifikasi, “kata Profesor Roger Kitching, Ketua Departemen Ekologi Fakultas Lingkungan Universitas Griifith, dalam siaran pers 6 Agustus 2013. Dua hari sebelumnya, hasil penerapan metabarcoding yang dilakukan 17 peneliti itu telah diterbitkan dalam jurnal Ecology Letters.

Menurut Kitching, perubahan ekosistem akan terlihat dari perubahan jenis dan jumlah serangga yang tertangkap. Ia menulis dalam jurnal, bahwa metode baru itu tetap sahih dan dapat diandalkan untuk mengetahui ekologi dan perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi dalam satu kawasan. Bedanya, “sup” yang satu ini dapat melakukan lebih cepat, lebih murah dan tetap akurat.

Kitching memberi contoh, untuk mengidentifikasi satu dataset koleksi lebih dari 55 ribu spesies antropoda dan burung di Malaysia, China dan Inggris, maka tiga metode standar membutuhkan sekitar 2.505 jam kerja. Ternyata metabarcoding hanya membutuhkan 645 jam kerja atau cuma seperempatnya.

Metode metabarcoding juga dipakai oleh WWF dan Copenhagen University untuk memonitor spesies mamalia yang terancam punah di hutan hujan tropis Vietnam dan Laos, dengan cara menciptakan “sup” lintah pengisap darah. Dari identifikasi DNA pada darah lintah itulah, akan terekam darah mamalia apa saja yang pernah dihisapnya, lalu kondisi tiap jenis mamalia di kawasan tersebut, termasuk jumlah, jenis dan perubahan-perubahannya.

IGG Maha Adi (Siaran Pers Griffith University, Ecology Letters)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.