Para peneliti dari Universitas Berkeley menyimpulkan adanya hubungan perubahan iklim  dengan eskalasi konflik  di berbagai belahan dunia sejak 12 ribu tahun lalu. Sebagian skeptis.

Sebuah studi terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Science edisi online 1 Agutus 2013, menyimpulkan adanya hubungan antara perubahan iklim (climate change) dengan meningkatnya kekerasan (violence). Kesimpulan dibuat tiga ilmuwan yang mengkaji  60 karya ilmiah tentang perubahan lingkungan dan kekerasan yang terjadi di 6 benua selama periode 12 ribu tahun terakhir.  Sebanyak 78 persen dari studi itu, merupakan karya-karya ilmiah yang diterbitkan sejak tahun 2009.

Tim peneliti  Solomon Hsiang, Marshall Burke dan Edward Miguel menyimpulkan, perubahan kecil pada suhu dan curah hujan dalam meningkatkan risiko terjadinya konflik, dari konflik yang sangat remeh seperti marah-marah kepada para pengendara motor yang ugal-ugalan atau tak sabar membunyikan klakson dalam kemacetan, lemparan seorang pitcher yang  sengaja mengenai tubuh lawannya, sampai kepada perang saudara dan kehancuran masyarakat.  Penelitian itu juga menyatakan bahwa penggunaan kekerasan oleh polisi meningkat ketika suhu lebih panas.

Para peneliti menemukan bahwa kenaikan suhu dalam satu simpangan baku (standar deviasi) terjadi, ketika suhu naik sekitar 3 derajat Celsius, yang akan meningkatkan ketegangan interpersonal sebesar 4%, dan risiko konflik antarkelompok seperti perang saudara atau kerusuhan naik hingga 14%.

Para peneliti telah menganalisis hubungan antara keruntuhan peradaban Maya di Amerika Selatan pada abad ke-5, kejatuhan Dinasti Tang di Cina di abad ke-8 , lenyapnya Dinasti Khmer setelah jatuhnya kompleks istana Angkor Wat di Kamboja pada abad ke-14, sampai konflik Rwanda, Somalia dan konflik lain di abad ke-20 dengan perubahan iklim saat peristiwa itu terjadi. Banyak di antara peradaban hilang bersamaan dengan terjadinya kekeringan yang berkepanjangan, atau  konflik yang disebabkan oleh kian memanasnya suhu

“Konsistensi respon manusia terhadap kenaikan suhu ini sungguh mengejutkan kami,”kata  Hsiang  yang pakar ekonometrika pada Universitas California, Berkeley, sekaligus ketua tim peneliti. Itu pula sebabnya, ia memperingatkan bahwa konflik akan semakin sering terjadi jika bumi terus memanas (global warming) dan terjadi perubahan pola curah hujan.

Hsiang juga memperkirakan, dengan kondisi perubahan iklim saat ini, kemungkinan adanya risiko kenaikan konflik antarmanusia hingga 50 persen pada tahun 2050. “Penemuan ini membuat kita memikirkan bahwa mengurangi dampak perubahan iklim betul-betul sesuatu yang harus kita upayakan lebih,”katanya.

Konflik dalam peradaban masa lalu juga berkaitan dengan curah hujan yang ekstrim terutama pada masyarakat agraris.  Tingginya korban kekerasan individual ditemukan pada kawasan yang berpendapatan rendah, ketika pertanian telah hancur atau gagal, karena kekeringan yang panjang atau puso banjir bandang.

Tahun 2011 jurnal Nature juga pernah menerbitkan artikel yang menyimpulkan adanya hubungan antara El Nino Southern Oscilation dengan kekerasan sipil. Menurut artikel itu, El Nino memainkan peranan dalam 21 persen kekerasan sipil selama periode 1950—2004.

Hsiang juga  mengatakan bahwa perubahan iklim tidak serta merta dapat dikatakan sebagai penyebab utama terjadinya konflik di berbagai belahan dunia. Faktanya, hampir mustahil menghubungkan secara langsung perubahan iklim dengan konflik-konflik yang terjadi. El Nino misalnya, yang muncul 4-5 tahun sekali, sulit dibayangkan berpengaruh langsung terhadap eskalasi kekerasan. Namun, penelitian ini memperkuat pendapat sebagian peneliti tentang adanya hubungan antara kondisi-kondisi iklim dengan konflik yang terjadi dalam masyarakat.

Senada dengan Hsiang, Presiden American Meteorological Society J.Marshall Shepherd mengatakan, tak satupun angin topan atau cuaca panas yang disebabkan langsung oleh pengaruh aktivitas manusia terhadap perubahan iklim, tetapi akumulasi pengaruhnya terlihat sangat ekstrem seperti Badai Sandy yang menghantam Pantai Timur Amerika Serikat tahun 2012 lalu.

Ketiga peneliti memang tidak menjawab pertanyaan, bagaimana iklim dapat berkorelasi nyata terhadap perilaku manusia.  Ketiadaan penjelasan inilah yang menimbulkan skeptisisme pada beberapa pakar.

“Sulit untuk mencari mekanisme hubungan sebab-akibat antara kelakuan brandal seorang pelempar bola baseball (pitcher) dengan perang  atau keruntuhan masyarakat,”kata Idean Salehyan yang memperdalam  studi kekerasan politik di Universitas North Texas.

Halvard Buhaug, ilmuwan politik pada Peace Research Institute Oslo di Norwegia mengatakan bahwa hasil penelitian itu hanya sedikit saja mengubah keyakinannya tentang adanya hubungan perubahan iklim dengan konflik. Ia mencontohkan, konflik yang terjadi di Afrika telah menurun beberapa dekade terakhir walaupun kawasan itu  terus menderita akibat pemanasan global.

Pakar statistik lingkungan dari Woods Hole Oceanographic Institution di Massachusetts, Andrew Solow, menyarankan agar para peneliti menguji hubungan antara perubahan iklim dengan eskalasi konflik melalui berbagai studi kasus, dimana variabel-variabel lain dapat dilacak.  Harus diteliti lebih dekat dan mendalam tentang berbagai faktor yang menyebabkan konflik terjadi. Tanpa itu, katanya, “Para peneliti akan cenderung membesar-besarkan hubungan antara perubahan iklim dengan terjadinya konflik,”katanya.  IGGM (Science, Nature)

 

 

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.