Untuk memberikan pemahaman mengenai keseimbangan sosial-lingkungan dalam praktek industri pertambangan, The Nature Conservacy-TNC, bekerjasama dengan Indonesian Mining Association atau IMA memperkenalkan prinsip dasar dari aplikasi Development by Design (DbD). Konsep ini disampaikan kepada para pelaku industri pertambangan dalam acara bertajuk “Thought Leadership Forum: Responsible Mining for Sustainable Development” yang digelar di Jakarta, Selasa (18/3).

Dalam konsep DbD ini, seluruh para pihak, pemerintah, masyarakat dan perusahaan, dilibatkan dalam pengembangan kawasan pertambangan, bukan hanya terlibat di hilir atau di ujung dari rangkaian perencanaan. Para pihak inilah yang akan menghitung nilai investasi yang memperhitungkan ketersediaan sumberdaya alam seperti energi, bahan pangan, air, bahan mineral, dalam kawasan ekologis yang lebih luas, yang diperkirakan akan terpengaruh oleh aktivitas pertambangan tersebut. Intinya, sebuah pendekatan yang lebih holistik.

“Aplikasi DbD ditujukan untuk membantu industri pertanian, minyak, gas dan tambang dalam operasinya di tempat-tempat dengan keanekaragaman hayati tinggi,” jelas Direktur Strategi Regional – Infrastruktur TNC Asia Pasifk, Michael Looker. Ia menambahkan bahwa sudah saatnya Indonesia menaruh perhatian besar bagi pembangunan infrastruktur pendukung yang dapat memberikan perlindungan terhadap berbagai habitat alami negeri ini.

Pernyataan ini dibenarkan oleh Koordinator Komite Lingkungan IMA, Wisnu Susetyo. Menurut Wisnu, mayoritas perusahaan tambang yang tergabung di IMA telah mengalokasikan upaya mitigasi dan rehabilitasi lingkungan dalam aktifitas operasinya.  “PT Adaro melakukan pengolahan air sisa tambang dengan sistem Mine Water Management. Air dengan volume 1 juta m3 per hari tersebut dikelola baku mutunya agar menjadi air layak minum bagi warga di tiga desa yang berada di sekitar lokasi penambangan. Sementara di Kalimantan Timur, Kaltim Prima Coal (KPC) juga mengupayakan rehabilitasi lahan bekas galian batu bara, yang diolah sedemikian rupa sehingga  menjadi hijau kembali dalam dua tahun,” ujar Wisnu memberikan contoh.

Lebih lanjut, Wakil Ketua IMA Tony Wenas menjelaskan bahwa yang patut menjadi perhatian sekarang justru di lokasi tambang berskala kecil (artisanal). “Sejak diterbitkannya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba), Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk tambang skala kecil meningkat dari yang tadinya hanya 4000-an menjadi 10.642 IUP. Karena keterbatasan sumber daya, jarang sekali tambang-tambang ini memiliki manajemen lingkungan yang baik,” papar Tony.

Tony turut mengeluhkan mengenai tumpang tindihnya pengelolaan kawasan yang terjadi di berbagai daerah. “Seringnya terjadi ketidakjelasan status –antara kawasan tambang atau konservasi- selama ini disebabkan oleh belum terintegrasinya peta yang tersedia di berbagai kementrian. Peta yang dikeluarkan oleh ESDM, LH, Kehutanan dan BPN belum selaras, sehingga menyulitkan pengusaha dalam menentukan status suatu kawasan,” ujar Tony sembari menjawab santernya isu pencaplokan kawasan konservasi oleh perusahaan tambang.

Menguatkan konsep DbD, Country Director TNC Program Indonesia, Rizal Algamar menambahkan bahwa mekanisme pasar secara langsung akan menekan perusahaan untuk merubah kinerja agar mereka dapat bertahan. “Dengan tren desentralisasi dan meningkatnya kesadaran publik tentang berbagai isu lingkungan, perusahaan tambang harus berubah dan menaruh perhatian yang lebih besar terhadap isu-isu sosial dan lingkungan,” katanya lagi.

Mengakhiri sesi diskusi pada acara tersebut, Prof. Surna Tjahja Djajadiningrat, seorang pakar manajemen lingkungan yang memoderatori acara menyambut gembira pertemuan ini. “Hal ini merupakan langkah maju bagi dua pihak pihak yang selama ini seringkali berbenturan. IMA sebagai asosiasi perusahaan tambang memiliki kesempatan untuk menjelaskan pada publik mengenai praktek pengelolaan berkelanjutan yang telah dijalankan. Begitupun TNC sebagai lembaga yang fokus terhadap isu konservasi, juga bisa memberikan masukan konstruktif mengenai bentuk pengelolaan kawasan tambang yang ramah lingkungan,” ujar guru besar ITB yang akrab dipanggil Naya ini.  Azhari Fauzi

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.