Sejak 1998 silam, upaya pengelolaan dan restorasi terumbu karang melalui program Coremap mulai dijalankan. Pada awal pelaksanaan, aktifitas yang dibiayai lewat skema hutang internasional ini dikelola oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Setelah Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) terbentuk pada 1999, Coremap tahap II yang berlangsung dalam kurun 2004 hingga 2011 dialih kelola oleh lembaga yang saat ini berubah nama menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tersebut. Wilayah program ini meliputi 15 kabupaten/kota di 8 provinsi yang dipilih berdasar kriteria tertentu.

Berakhirnya kontrak Coremap II senilai tak kurang dari 100 juta USD ternyata tak lantas menyelesaikan persoalan. Komentar dan penilaian negatif dari beberapa pemerhati sektor kelautan mengiringi fase tersebut. Temuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang disampaikan KIARA (Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan) di tahun 2013, mengungkap banyak ketidakefektifan program dan proyek ini disinyalir mengalami kebocoran dana hingga 11,4 milyar rupiah.

Tak Hanya Rehabilitasi Karang

Dikutip dari laman coremap.or.id, Coremap (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) merupakan program jangka panjang pemerintah untuk melindungi dan melestarikan terumbu karang serta ekosistem terkait di Indonesia. Sejalan dengan itu, program ini diharapkan mampu menunjang kesejahteraan masyarakat pesisir.

“Program yang kita jalankan tak hanya sebatas merehabilitasi karang, tapi lebih pada mengubah perilaku masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya terhadap pesisir dan laut,” ujar Direktur Konservasi KKP, Agus Dermawan dalam keterangannya kepada Ekuatorial, Rabu (30/4). Agus menjelaskan, pihaknya menggunakan beberapa indikator dalam mengukur keberhasilan implementasi program.

Beberapa poin yang disebut Agus sebagai capaian keberhasilan Coremap tersebut antara lain: Pertama, terbentuknya kelembagaan nasional dan lokal. Dalam kurun tujuh tahun pelaksanaan Coremap tahap II, telah dibentuk 411 lembaga pengelola terumbu karang. Kedua, pengesahan kebijakan. Coremap II merumuskan 15 rencana strategis terumbu karang, serta memfasilitasi lahirnya Perda, Perdes, dan Keputusan Menteri mengenai kebijakan pengelolaan karang. Ketiga, penetapan kawasan konservasi baru. Terdapat dua juta hektar kawasan baru di level kabupaten dan kota yang disahkan menjadi area konservasi. Langkah ini termasuk ke dalam upaya mendorong target nasional 20 juta hektar kawasan konservasi laut di tahun 2020 yang dicanangkan pemerintah.

Keempat, melakukan upaya perbaikan biofisik. Coremap II digadang berhasil mencapai target 80% perbaikan tutupan karang yang ditetapkan oleh Bank Dunia. Kelima, peningkatan pendapatan masyarakat. Agus meyakinkan, dari target capaian 10%, program ini berhasil meningkatkan 21% pendapatan warga di lokasi program. Ia menyebut terdapat 4500 mata pencaharian alternatif yang berhasil diciptakan berkat program Coremap II ini. Dan keenam, peningkatan kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan penangkapan ikan menggunakan alat tangkap yang merusak. Dari laporan KKP dan LIPI sebagai otoritas pelaksana, poin ini berhasil mencapai angka 75% dari 70% yang ditargetkan.

Namun, Agus juga tak memungkiri masih terdapat beberapa kelemahan yang terjadi. “Di beberapa titik terjadi penurunan jumlah tutupan karang akibat perubahan iklim. Beberapa kelompok warga, semenjak Coremap II berhenti di tahun 2011 juga kembali melakukan destructive fishing untuk menopang mata pencaharian mereka,” akunya.

Ditemukan Banyak Penyimpangan

Dibalik capaian yang diumbar KKP, ternyata banyak persoalan yang ikut menguntit. Laporan BPK tahun 2012 mengungkap terjadi kebocoran dana setidaknya 11, 4 milyar rupiah dan ditemukan banyak program yang tidak efektif di lapangan.

Saat dihubungi Ekuatorial (29/4), Sekjen KIARA, Abdul Halim ikut menyampaikan keluhannya terhadap proyek konservasi berdana jumbo ini. “Fakta yang terjadi di lapangan, pengelolaan dana bergulir (seed fund) tidak didasarkan pada azas tranparan dan akuntabel. Tim kami juga menemukan banyak ketidakcocokan desain pembangunan prasarana sosial dengan kebutuhan masyarakat pesisir. Yang paling miris, Coremap ini sama sekali tak memiliki dampak signifikan pada peningkatan kelestarian terumbu karang,” tegas aktivis muda ini.

Menurutnya, sejak perencanaan program, masyarakat nelayan tidak dilibatkan dalam menentukan bentuk pengelolaan konservasi wilayah pesisir. “KIARA pada tahun 2009 mendapati fakta menjadi terbatasnya akses nelayan tradisional di Kabupaten Wakatobi. Kearifan lokal warga dalam mengelola serta memanfaatkan sumber daya laut juga terabaikan,” kisah Halim.

Menurut pengamatan lembaganya, Halim menilai hanya 0,1% saja targetan Coremap yang berhasil dicapai. “Karenanya, pada 2013 lalu kami meminta presiden agar proyek akal-akalan yang menjadi ajang memperkaya segelintir pejabat ini dihentikan. Kami juga mendesak KPK mengusut dugaan penyelewengan dana yang diungkap dari laporan BPK 2012,” cetusnya.

Pantaskah Berhutang Untuk Konservasi?

Ditengah kemelut persoalan yang ada, awal 2014 lalu Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia kembali menyetujui peminjaman senilai masing-masing 60 juta dollar dan 45 juta dollar untuk mendanai Coremap tahap ketiga. Jumlah ini belum termasuk hibah 8 juta dollar dari Global Environmental Facility (GEF) dan 13,1 juta USD dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, Ekuatorial tidak mendapatkan respon dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia untuk mengkonfirmasi langsung perihal tersebut.

Menurut rencana KKP, dana ini akan dipakai untuk membiayai program lanjutan Coremap III atau CTI (Coral Triangle Initiative) untuk periode Juli 2014 hingga Maret 2019. Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil KKP, Sudirman Saad berkilah berlanjutnya proyek ini tidak terlepas dari penilaian dan monitoring tim independen yang menunjukkan pengelolaan melalui program Coremap mendapat predikat sangat baik.

Padahal, berkaca pada pengalaman sebelumnya, banyak pihak yang menyayangkan berlanjutnya penyetujuan hutang setelah sempat mandeg sekitar dua tahun ini. Sebagaimana disebutkan diawal tulisan, pihak yang berseberangan menganggap ditemukannya banyak ketidakefektifan pada dua program sebelumnya merefleksikan bahwa Coremap telah gagal. Dengan kembali disetujuinya hutang, diproyeksikan hanya akan semakin membebani keuangan negara.

Ditanya mengenai alasan penggunaan pinjaman asing untuk konservasi kelautan ini, Giyanto, salah seorang Peneliti Puslit Oseanografi LIPI pada Kamis (17/4) menyatakan hal ini harus ditempuh karena minimnya perhatian pemerintah. “Jika mengharapkan dana pemerintah, hanya cukup untuk operasional di dua lokasi. Sedangkan jika meminjam dari kalangan internasional seperti yang dilakukan Coremap, rangkaian program bisa dilaksanakan di 15 kota dan kabupaten,” ujarnya saat menjadi pemateri diskusi di Gedung LIPI, Jakarta.

Anggapan ini segera dibantah Abdul Halim dari KIARA. Ia menilai, untuk program sekelas yang dilakukan Coremap saat ini bisa dibiayai dari APBN tanpa harus berhutang. Ia mencontohkan, kegiatan yang diinisiasi KIARA di Sulawesi Tenggara, Lembata, dan Kepulauan Aru di tiap desa hanya menelan biaya 10 hingga 15 juta.

Halim menegaskan, KIARA sebagai institusi akan mendesak KKP dan LIPI sebagai institusi pelaksana untuk menghentikan dan mengembalikan dana program ini. “Dengan menghentikan proyek hutang tersebut, anggaran negara sebesar 64,7 miliar rupiah yang diproyeksikan untuk co-financing dapat dimanfaatkan untuk membangun sedikitnya 1.200 rumah yang layak dan sehat bagi masyarakat nelayan,” tambah Halim.

Keluar Dari Kemelut

Menepis sangkaan yang disampaikan KIARA, Agus KKP mengklaim pihaknya telah menindaklanjuti segala laporan penyelewengan yang terjadi di lapangan. “KKP menginstruksikan kepada Pemda untuk menyelesaikan masalah terkait teknis, seperti pembelian sparepart mesin kapal atau radio yang rusak,” tukasnya. Ia juga menyatakan, untuk pelaporan keuangan KKP akan menerapkan kebijakan pelaporan berkala kepada BPK.

Ditanya mengenai solusi untuk menjawab tantangan konservasi terumbu karang kedepan, Halim membeberkan setidaknya ada beberapa langkah nyata yang bisa ditempuh. Langkah tersebut antara lain berupa penegakan hukum yang tegas, kebijakan anggaran, serta melibatkan kearifan lokal masyarakat dalam pelaksanaan program. Halim menghimbau agar pemerintah lebih jeli memberdayakan kearifan lokal yang sudah berjalan turun temurun, seperti Sasi di Maluku, Maney di Sulawesi Utara, Bapongkor di Sulawesi Tengah dan Panglima Laut di Aceh.

Sementara itu, KKP sebagai penanggung jawab program juga mengklaim akan melakukan beberapa langkah pembaharuan untuk tahap ketiga ini. “Pola kemitraan akan dijalankan dengan model “private public partnership”. Mengenai skema penyaluran dana dengan jumlah total 126 juta USD untuk Coremap-CTI, Agus menerangkan bahwa dana tersebut akan dibagi berdasar jenisnya.

“Loan akan diarahkan untuk membangun infrastruktur perekonomian, sedang dana hibah akan dioptimalkan untuk kepentingan konservasi,” ujarnya. Ia mencontohkan, jika ada kelompok masyarakat yang berinisiatif menjadikan daerahnya sebagai destinasi wisata, maka KKP akan ikut membantu dalam pembuatan dermaga apung, pusat informasi wisata, penginapan, ataupun menghubungkan dengan investor pariwisata agar pengelolaan bisa dilakukan secara lebih berkelanjutan. Azhari Fauzi & Januar Hakam

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.