Jakarta, Ekuatorial – Setidaknya ada tiga masalah utama persoalan lingkungan yang menjadi perhatian Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, Siti Nurbaya. “Pertama yaitu regulasi, kedua kampanye dan ketiga perijinan yang paling kunci,” katanya di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Jakarta, Rabu (29/10).

Terkait masalah perijinan, ia melihat bahwa publik banyak menilai perijinan sebagai transaksional. Oleh karenanya ia memastikan bahwa proses perijinan kedepan akan berjalan lebih sederhana dan transparan. “Perijinan adalah instrumen pengendalian. Jadi harusnya yang terlihat di ruang publik adalah perijinan bukan suatu transaksi,” ujar Siti.

Untuk itu, ia mengatakan pengawasan perijinan dalam konteks pengendalian, bukan hanya persoalan administratif, tetapi juga pengawasan di lapangan. “Oleh karena itu, para petugas aparat pemerintah yang berkaitan dengan pengawasan ini harus berada di lapangan sebanyak-banyaknya. Apalagi kita tahu bahwa isu lingkungan yang paling banyak di ruang publik adalah isu lapangan,” tambahnya.

Selain instrumen pengendalian, ia juga mengatakan perijinan adalah instrumen pembangunan. Ia mengatakan dengan perijinan juga dapat diperoleh kesejahteraan masyarakat. Menurutnya pengelolaan dan pemanfaatan yang berkelanjutan sangat penting dilakukan. “Saya kira itu tidak akan lama karena sudah jelas di UU yang baru dan sudah jelas yang akan dilakukan. Tetapi pada dasarnya perijinannya ini memang harus dimudahkan bagi dunia usaha, sehingga SDA (Sumber Daya Alam-red) ini bisa menjadi sumber untuk kesejahteraan,” ungkapnya.

Nurbaya melanjutkan, perintah presiden Jokowi terhadap ijin-ijin bagi dunia usaha itu harus sesederhana mungkin. “Jadi cepat, murah sederhana pasti dan ketahuan costnya berapa.”

Untuk masalah perijinan ia mengatakan bahwa kementerian yang dipimpinnya tidak akan asal keluarkan ijin. Ia mengatakan ada tiga syarat utama dalam pengusahaan lansekap yang tidak bisa diotak-atik. Pertama, adalah syarat tumbuh. “Tidak mungkin kan kita tanam karet di rawa?” tukasnya.

Kedua yaitu syarat manajemen. Ketiga yaitu syarat konservasi. “Ada misalkan jenis tanah yang mudah longsor yang sebetulnya tidak boleh dipakai. Sekarang ini Indonesia sudah banyak yang keterusan tetap memakainya, maka tanah bisa rontok,” terangnya.

Ditanya tentang permasalahan koordinasi pusat dan daerah, Ia menyatakan bahwa hubungan pusat dengan daerah dalam hal SDA memang dalam kondisi rumit. Namun, ia mengaku tahu persis tentang kondisi dan ciri otonomi daerah indonesia. Ia melihat ada kerumitan pola hubungan pada aspek administrasi, hubungan kewenangan, hubungan keuangan, dan yang paling gawat adalah dalam pengelolaan SDA.

“Untuk itu kita akan lihat lagi di UU No. 23 tahun 2014 sebagai pengganti UU No. 32 tahun 2004. Itu sudah secara detail dicantumkan di dalam lampirannya mengenai urusan antara provinsi, nasional dan kabupaten kota bahwa itu termasuk urusan bersama,” tegasnya. Januar Hakam.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.