Solo, Ekuatorial – Sungai Bengawan Solo selain sebagai sungai terpanjang di pulau Jawa, juga merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat yang berada di sekitar aliran airnya. Sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai petani dan bergantung pada Bengawan Solo sebagai irigasi.

Namun saat ini Bengawan Solo kondisinya sudah jauh berbeda. Dimana, Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo saat ini tidak layak lagi untuk dikonsumsi karena sudah banyak tercemar limbah. Baik limbah industri maupun rumah tangga.

Kondisi itu diperparah dengan rendahnya kesadaran masyarakat yang tinggal di sepanjang DAS Bengawan Solo. Kebanyakan mereka langsung membuang limbahnya ke aliran sungai.

Penyebab lainnya adalah sedimentasi yang terjadi di Bengawan Solo sudah semakin tinggi akibat endapan lumpur dan sampah yang berada di sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo.

Menurut Puguh Karyadi, salah seorang dosen jurusan ekologi lingkungan hidup di Universitas Sebelas Maret Solo (UNS) menyebutkan sungai Bengawan Solo sendiri termasuk dalam sungai purba yang artinya memang sudah lama ada. Namun aliran sungai yang sekarang mengalir membelah kota Solo bukan berasal dari sumber awal.

“Namun merupakan saluran dari waduk Gajah Mungkur Wonogiri, yang dibangun agar kota Solo tidak terendam banjir besar,” jelas Puguh Karyadi saat ditemui Ekuatorial, di kampus UNS Solo, Jawa Tengah, Selasa (13/1).

Menurut Puguh, ekosistem di sepanjang DAS Bengawan Solo banyak mengalami kerusakan karena pembuangan limbah industri seperti pupuk cair yang dialirkan langsung ke ke anak sungai yang bermuara di Bengawan Solo. Akibatnya bisa mematikan habitat yang ada di dalamnya.

Saat ini, ungkap Puguh, dari hasil penelitian yang dilakukan di Sungai Bengawan Solo, mayoritas penghuni di sungai yang membelah dua provinsi, Jawa Tengah dan Jawa Timur, kekayaan jenis di air tawar sudah banyak mengalami penurunan.

Hasil yang didapat di Sungai Bengawan Solo ini, sama persis dengan hasil penelitian yang juga telah dilakukan pihaknya di banyak sungai yang ada di Indonesia, kondisinya banyak mengalami penurunan.

Seperti yang terjadi pada ekosistem di DAS Bengawan Solo, juga mengalami penurunan. Ikan serta binatang lain yang biasa hidup di lingkungan tersebut banyak yang mati terkena polusi limbah kimia.

Selain banyaknya endapan lumpur, pembangunan tanggul-tanggul penahan banjir juga berakibat membuat populasi ikan menjadi menurun. Pasalnya badan sungai yang telah didirikan tanggul penahan banjir, membuat ikan tidak bisa membuat rongga-rongga di pinggiran badan sungai karena kondisinya sekarang tertutup rapat.

Ikan-ikan kecil dan juga hewan air lain, yang harusnya bisa berkembang biak tidak punya lagi tempat untuk hidup karena sepanjang bantaran sungai sudah tertutup semen.

“Padahal rongga-rongga yang ada di sepanjang DAS Bengawan Solo, merupakan tempat bagi hidupnya biota seperti ikan, udang, atau kerang. Ketika semua badan sungai tertutup maka mereka banyak yang mati. Dilematis memang kondisi tersebut. Disatu sisi pembangunan tanggul untuk mencegah agar tak terjadi banjir ke pemukiman penduduk. Namun di satu sisi justru pembuatan tanggul tersebut membuat ikan-ikan di sungai tak bisa berkembang biak,” terangnya lebih lanjut.

Puguh juga menjelaskan Bengawan Solo merupakan penghubung antara ekosistem air laut dan ekosistem air tawar yang tumpah dan bermuara di Gresik Jawa Timur.

Contohnya ungkap Puguh, Bengawan Solo merupakan jalur migrasi ikan Sidat. Ikan Sidat itu jenis ikan yang sukanya (hidup) di pinggir-pinggir bantaran sungai. Ketika bantaran dibuat tanggul maka salah satu yang terancam adalah Sidat.

Selain itu penelitian Puguh terkait keberadaan plankon yang menjadi basis utama pada ekosistem perairan juga menjadi tolok ukur rusaknya ekosistem air. Plankton sendiri adalah hewan atau tumbuhan yang melayang dan berukuran mikrokopis atau sangat kecil, yang hidup di sepanjang perairan.

Ada dua jenis plankton yang ada yaitu fitoplankton dan zooplankton. Khusus plankton yang ada si sekitar DAS Bengawan Solo, terlihat jika penurunannya tidak ada. Namun yang ada justru kenaikan satu jenis terhadap jenis lainnya ada.

“Itu sangat membahayakan komposisi. Karena sebenarnya keanekaragaman itu tidak hanya diukur dari jumlah jenisnya saja. Tapi juga pemerataan cacah jenis pada tiap jenisnya,” jelasnya.

Plankton itu hidup di sepanjang badan perairan, namun adanya perubahan komposisi yang harus diperhatikan. Salah satu komposisi plankton yang ada adalah jenis plankton tumbuhan yang sangat peka sekali terhadap melimpahnya nutrien dalam hal ini karena pupuk kimia yang masuk ke dalam badan air yang dalam istilah ekologi di sebut eutrofikasi.

Kondisi eutrofikasi membuat plankton tumbuhan air berukuran mikro, bisa berkembang biak dengan cepat (blooming) akibat limbah pupuk cair kimia yang mencemari sungai. Cirinya warna air menjadi kehijauan, berbau tak sedap, dan kekeruhannya semakin meningkat.

Akibatnya, kualitas air di banyak ekosistem air menjadi sangat menurun, menyebabkan makhluk hidup air seperti ikan dan spesies lainnya tidak bisa tumbuh dengan baik sehingga akhirnya mati.

“Dengan hilangnya ikan dan hewan lainnya dalam mata rantai ekosistem air menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem air,” tegasnya.

“Jika planton tumbuhan sampai meledak populasinya akan menggannggu keanekaragaman secara umum,” ungkapnya.

Plankton itu merupakan makanan ikan, yang juga menjadi tanda jika jumlahnya tinggal sedikit itu tandanya akan mengurangi tersedianya nutrisi bagi ikan yang hidup di sepanjang DAS.

Puguh juga mencontohkan salah satu indikator suatu sungai itu tercemar atau tidak adalah berkembangnya spesies ikan tertentu yang mampu bertahan hidup di air yang tercemar. Yaitu lele dumbo, sapu-sapu (Liposarcus pardalis) dan ikan kepala timah yang banyak di temui di seputar DAS wilayah Solo – Sragen dan sekitarnya.

Hal tersebut juga dibenarkan adanya oleh Sarwoko, salah satu warga Sroyo, Karanganyar yang sangat hobi memancing di Bengawan Solo. Ia mengatakan jika saat ini ikan di Bengawan Solo sudah sangat jarang yang bisa di konsumsi.

“Yang paling banyak di Bengawan saat ini ikan sapu-sapu, kadang juga dapat lele. Sedang jenis ikan lainnya sudah susah di pancing,” katanya.

Padahal puluhan tahun lalu menurut Sarwoko masih sering ditemukan udang, bukur atau sejenis kerang, wader, mujair kadang juga ikan tawes di bengawan Solo. Namun kondisinya saat ini sudah jauh berbeda. Bramantyo

1 comment found. See comment
Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

1 comment

  1. Sidat dari laut dalam pesisir samudra bagian selatan jadi bengawan solo bukan jalur migrasi ikan sidat ,wajar klo disana tdk ditemukan ikan sidat,bukan maslah pembangunan tanggul.

Leave a comment