Jakarta, Ekuatorial – Tindakan membakar kapal illegal fishing yang dilakukan pemerintah dinilai kurang akan memberikan efek jera. Riza Damanik, dari Komisi Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), mengatakan upaya pembakaran kapal selama ini hanya akan menghukum tingkat operator saja, bukan pengusaha atau korporasi. Padahal menurutnya yang perlu dilakukan untuk memberi efek jera yaitu menghukum pengusaha atau perusahaan asing yang tertangkap melakukan illegal fishing.

Belum lagi ia mengatakan terjadi nuansa tebang pilih penegakkan hukum yang membuat efek jera semakin sulit diwujudkan. “Kita lihat saja kapal-kapal kecil yang dibakar. Sedangkan kapal besar yang dari Tiongkok kemarin tidak dibakar, bagaimana akan memberi efek jera?” ungkapnya di Jakarta, Kamis (11/12).

Ia menilai hukum perikanan di Indonesia masih jauh dari implementasi. Ia mencontohkan, dalam undang-undang sudah diatur bahwa pelanggaran illegal fishing bisa diganjar pidana kurung enam tahun dan denda maksimal 20 miliar. Namun, belum ada satupun kasus yang ditimpahi hukuman-hukuman tersebut.

Ia menyebutkan kerugian ekonomi dan sosial masyarakat nelayan Indonesia terdampak paling besar terkait illegal fishing. FAO mencatat sebanyak 30 persen kerugian dunia akibat illegal fishing terjadi di perairan Indonesia. “Artinya kerugian dari sektor perikanan yaitu 30 persen dari 10-23 milyar dolar Amerika, sedangkan penerimaan negara hanya 300 milyar saja,” tambahnya.

Kerugian lain illegal fishing di Indonesia, Riza memaparkan terjadi hilangnya sepuluh juta lapangan pekerjaan pada sektor perkapalan, penangkapan, pengolahan dan pemasaran ikan. Sedangkan dari sektor budaya, ia menyebut terpinggirkannya akses kebaharian menyebabkan 116 orang nelayan berganti profesinya, per hari.

“Hal lain yaitu hak atas pangan masyarakat Indonesia juga terdampak. Rata-rata kuantitas konsumsi protein kita dari ikan masih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain bahkan Srilanka dan Bangladesh, padahal laut kita sangat kaya,” jelasnya.

Untuk mengatasi persoalan itu, ia mengatakan perlu ada penegakkan hukum yang lebih terpadu termasuk kualitas putusan pengadilan didalamnya. Selain itu, kelembagaan penegakkan hukum BAKAMLA (Badan Keamanan Laut) yang menggantikan BAKORKAMLA perlu diperkuat untuk dapat melindungi ketahanan sumberdaya laut Indonesia.

Senada dengan itu, Rachmi Hertanti, Kepala Bidang Riset Indonesian for Global Justice setuju bahwa Indonesia perlu juga menegakkan hukum di tingkat pengusaha dan perusahaan asing. Ia mengatakan illegal fishing juga merupakan kejahatan HAM dan bahkan bisa mengancam kedaulatan Indonesia. “Pelanggaran illegal fishing merupakan kejahatan koorporasi yang sangat terorganisir. Ironisnya, banyak indikasi pelanggaran ini melibatkan mafia dalam di Indonesia,” ujarnya.

Ia mengatakan illegal fishing terus-menerus berlanjut karena perusahaan asing masih terlindung akibat belum adanya aturan-aturan tegas Indonesia dan dunia internasional mengenai illegal fishing. ia mengatakan berdasarkan konvensi UN, hingga saat ini baru ada lima kejahatan yang digolongkan dalam kejahatan transnasional, yaitu tindak korupsi, pencucian uang, perdagangan manusia, penyelundupan kelompok migran, dan penyelundupan dan perdagangan senjata. “Padahal dari kriteria konvensi UN, illegal fishing sebenarnya bisa dimasukkan juga sebagai kejahatan transnasional,” tambahnya.

Untuk menyeret para pengusaha dan perusahaan asing menurutnya sangat dimungkinkan. Hal yang bisa dilakukan Indonesia, yaitu membuat perjanjian peraturan bilateral dan diplomasi internasional untuk mengharamkan illegal fishing. Dengan dua cara itu, menurutnya suatu aturan hukum bisa dilahirkan dari hasil komunikasi dan kesepakatan bersama. Januar Hakam

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.