Jakarta, Ekuatorial – Hutan di Kepulauan Aru di selatan Papua terus digerus untuk kepentingan perusahaan perkebunan. Beberapa surat izin yang dikeluarkan kemudian dinilai janggal. Salah satunya izin janggal yang diberikan kepada sebuah perusahaan HPH setempat, yang memiliki nomor 5984/Menhut-VI/BRPUK/2014 pada tanggal 30 september 2014.

Keluarnya izin ini dianggap janggal oleh beberapa LSM seperti Forest Watch Indonesia (FWI) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Rukka Sombolinggi, Deputi Advokasi Hukum dan Politik Sekjen AMAN, mengatakan pemberian izin ini dinilai janggal karena keluar pada saat beberapa hari sebelum masa jabatan Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan kala itu akan usai.

“Kita sudah tahu bahwa daerah Aru tidak cocok untuk perkebunan, tapi izin terus menerus keluar. Kemungkinan besar mereka mau mengambil kayu saja seperti perusahaan kopi sebelumnya yang usai menebang hutan, mereka tidak menanam kopi malah kabur,” terang Rukka dalam Diskusi bertema Wujudkan Poros Maritim, Pemerintah Harus Lindungi Kepulauan Aru di Jakarta, Rabu (17/12).

Rukka melanjutkan, saat ini sudah terpola sebuah paradigma pada pemerintah bahwa semua wilayah negara merupakan milik negara. Hal itu membuat masyarakat tidak pernah diakui secara sah mendiami wilayahnya, walau dalam kurun waktu yang sangat lama. “Ada pandangan dilematis di pemerintah, saat mereka mengakui wilayah masyarakat hukum adat, mereka tidak akan bisa memanfaatkan areal itu nantinya,” ujar Rukka.

Ia mengatakan seharusnya pemerintah bertanggung jawab melindungi masyarakat adat dan hak atas wilayah adat mereka sehingga dapat mengontrol investasi yang akan masuk. “Namun kenyataannya sebaliknya, pemerintah justru terus mengeksploitasi wilayah-wilayah adat,” tambahnya.

Sementara itu Mufti Fathul Barri, Peneliti FWI mengatakan setelah sebelumnya menjadi incaran perusahaan-perusahaan konsorsium perkebunan raksasa yaitu Menara Group, Nusa Ina Group dan Aru Manise Group, kini muncul sebuah perusahaan HPH dengan nama PT. Waha Sejahtera Abadi. “Perusahaan ini kembali membuat resah masyarakat Aru karena sudah mulai melakukan survei dan pemetaan di wilayah itu,” katanya.

Mufti mengatakan, jika terjadi pembukaan hutan secara besar-besaran di Kepulauan Aru, maka akan berdampak buruk bagi pulau-pulau lain disekitarnya. “Masyarakat akan sengsara karena pembukaan hutan akan dapat menghilangkan sumber air untuk penghidupan masyarakat Aru,” ujarnya. Selain itu, keanekaragaman khas Kepulauan Aru juga akan menghilang secara nyata.

Walaupun begitu, ia mengatakan masyarakat Aru bersikap menolak segala bentuk usaha merubah fungsi hutan. Hal itu karena sumber penghidupan masyarakat Kepulauan Aru berasal dari kebaikan alam. Mulai dari ikan, kemudian kepiting bakau, areal tanaman sagu, dan hutan sebagai areal berburu mereka.

Mika Ganobal, Koordinator Save Aru mengatakan masyarakat Aru menolak semua perusahaan yang akan beroperasi di wilayahnya. Ia mengatakan, masyarakat secara turun-temurun telah melangsungkan hidupnya berdampingan dengan alam. Oleh karena itu, mereka akan menjaga hutan Aru untuk kehidupan generasi-generasi selanjutnya.

“Walau kami diberi satu miliar-pun per kepala keluarga, kami tetap menolak. Karena kami tahu usaha perkebunan tidak akan berlangsung lama. Kami ingin generasi selanjutnya tetap merasakan hutan,” ujarnya.

Berdasarkan hasil pantauan FWI pada tahun 2013 hingga 2014, diketahui bahwa 660 ribu hektar atau 83 persen dataran di Kepulauan Aru berupa hutan alam. Hutan ini tersebar pada 187 pulau-pulau kecil di Kepulauan tersebut.
Mufti menaruh harapan besar kepada pemerintahan baru Jokowi memprioritaskan pada pengelolaan maritim lebih baik. Menurutnya enam pulau dari Kepulauan Aru ini merupakan daerah terluar Indonesia, selain itu Kepulauan ini sangat mencerminkan jati diri kemaritiman Indonesia. Jika Kepualauan Aru menghilang, maka jati diri negara kepulauan Indonesia juga hilang.

“Sangat tidak mungkin mewujudkan Indonesia sebagai poros kemaritiman dunia tanpa memperhatikan kelestarian sumberdaya pulau-pulau kecil,” tukasnya.

Sementara itu Jacky Manuputi, penggagas Save Aru mengatakan usaha perkebunan di Aru bukan merupakan solusi yang terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ia menyebut sektor perikanan merupakan upaya yang lebih cocok untuk ditingkatkan di Kepulauan Aru. Ia mengatakan Aru yang berdekatan dengan perairan Arafuru menyimpan kekayaan hasil laut terbesar di Indonesia.

Untuk itu ia mengatakan pemerintah perlu menginvestasikan di sektor perikanan dan peningkatan sumber daya masyarakat dalam mengelola hasil laut. “Hasil laut di sini dicuri oleh negara-negara lain yang diakomodasi oleh Angkatan laut dan Polisi air. Kita bisa lihat siang-siang laut di sini sepi, tapi ketika malam seperti metropolitan,” terangnya. Januar Hakam

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.