Ekuatorial, Lima – Kegagalan untuk menyepakati isu jaring pengaman (safeguards) dalam negosiasi REDD+ berpotensi terabaikannya hak-hak masyarakat yang kehidupannya tergantung hutan.

Jaring pengaman dalam REDD+ adalah pendekatan atau tata cara yang menjamin bahwa aktivitas REDD+ tidak merugikan masyarakat dan lingkungan hidup. Pendekatan ini dirumuskan dan disepakati dalam COP16 di Cancun, Mexico. Jaring pengaman dalam REDD+ digambarkan antara lain harus sejalan dengan program nasional di bidang kehutanan dan sesuai pula dengan konvensi dan perjanjian internasional, menghomati pengetahuan dan hak-hak masyarakat adat, menjamin konservasi hutan dan perlindungan keanekaragaman hayati, serta mengurangi perpindahan emisi.

Untuk menjamin keberhasilan program safeguards itulah, negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan Swiss yang akan menjadi donor REDD+ dan sebagian lembaga non-pemerintah di sektor kehutanan, menghendaki adanya pengaturan yang lebih detil (further guidance), yang diwajibkan kepada negara-negara berkembang yang mengelola program REDD+, melalui penyediaan sistem informasi safeguards (SIS).

Anggota tim negosiator REDD+ dari delegasi Indonesia Muhammad Farid kepada Ekuatorial mengatakan, “Keinginan negara maju untuk kewajiban melapor secara detil tentang safeguards dapat berpotensi mengurangi kedaulatan kita,” katanya, dan melanjutkan,”lagipula negara seperti Indonesia sudah berpengalaman melaksanakan safeguard ini, jadi tidak perlu harus detil memberi penjelasan.”

Contoh intervensi dalam kedaulatan negara misalnya permintaan untuk memberikan informasi detil tentang aspek hukum dan kerangka kebijakan dalam safeguard REDD+. Alasannya, perlu ada landasan hukum terhadap partisipasi masyarakat. Kewajiban ini dapat diartikan intervensi karena memaksa pihak legislatif dan eksekutif di negara-negara berkembang untuk menyusun aturan-aturan baru terkait isu ini.

Jalan buntu tak hanya menjadi ujung dari safeguards, tetapi juga akhir dari usulan Bolivia untuk memasukkan prinsip joint mitigation and adaptation (JMA) ke dalam REDD+. Alasannya, menurut negosiator REDD+ dari Bolivia Diego Pachero karena prinsip result-based payment yang ada selama ini terlalu berat kepada mitigasi dan bersifat karbon-sentris.

Oleh karena itu, Diego mengusulkan mekanisme JMA karena, “Hutan memiliki fungsi untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” katanya kepada para jurnalis.

Menanggapi usulan Bolivia ini, banyak negara tidak sepakat termasuk Indonesia dan beberapa negara maju seperti Swiss. Menurut Farid, memberikan beban tambahan aspek adaptasi kepada REDD+ akan sangat memberatkan untuk mencapai hasil. “Lagipula soal adaptasi sudah diatur terpisah dalam green climate finance, jadi kegiatan itu dapat didanai melalui skema yang sudah ada,”katanya.

Kegagalan menyepakati jaring pengaman dalam REDD+, dapat berakibat diabaikannya hak-hak masyarakat yang hidup dan tergantung pada hutan, meningkatnya risiko kerusakan hutan dan kehilangan keanekaragaman hayati, dan berujung pada kesulitan untuk mendapatkan pendanaan REDD+ karena memburuknya kondisi hutan.

Karena tidak berhasil menemukan titik temu atas jaring pengaman dan usulan Bolivia itu, para negosiator akhirnya sepakat menyerahkannya pada pertemuan REDD+ selanjutnya bulan Juni 2015 di Bonn, Jerman.
IGG Maha Adi (Lima, Peru)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.