Bandarlampung, Ekuatorial – Ratusan hektar (ha) areal tambak udang dan tambak ikan bandeng di Ketapang, Lampung Selatan mengalami kerugian besar akibat terendam banjir. Menurut Sekretaris Desa Berundung, Lampung Selatan, Guntoro ada 101 tambak milik warga yang terendam air sedalam dua meter.

“Banjir masuk ke areal petambakan karena luapan sungai Sekampung yang merupakan perbatasan Lampung Selatan dan Lampung Timur,” kata Guntoro, Senin (23/2).

Desa Berudung terdampak, karena berada di daerah terendah dibandingkan daerah lain disana. “Ada 121 hektar tambak yang terendam banjir dan saat air sudah surut budidaya udang dan ikan bandeng yang berumur 3-4 tahun sudah meluap ke sungai,” keluhnya.

Dia memperkirakan kerugian mencapai Rp 10 juta/ha dengan asumsi udang yang memiliki harga standar Rp120 ribu/kilogram (kg), dan ikan bandeng Rp15 ribu/kg.

“Budidaya itu mustinya bisa kami panen sekitar 3 sampai 4 bulan ke depan, karena bencana banjir terpaksa kami mengulang menebar bibir kembali,” katanya.

Guntoro menerangkan bahwa banjir yang melibas areal petambakan itu merupakan siklus lima tahun sekali. Warga mengantisipasinya dengan membangun tanggul-tanggul sekitar areal petambakan berharap banjir tidak sampai menggenangi blok-blok petambakan.

“Tapi sayang upaya itu rupayanya sia-sia belaka,” akunya. Dia beserta petambak sekitar juga menyadari banjir di sana akibat kerusakan alam.

Di dekat lokasi tambak tradisional terdapat hutan mangrove, yang kini kondisinya mulai rusak. Menurut Kepala Dinas Kehutanan Lampung Selatan, Priyanto Putro ada sekitar 300 ha lahan mangrove di daerah tersebut yang telah dirusak. Sudah banyak mangrove di kawasan itu beralih fungsi menjadi blok-blok tambak udang dan ikan bandeng.

Akibatnya banjir kerap melanda areal petambakan masyarakat bahkan areal pertanian. “Banjir setiap tahun terus meluas karena itu kami akan meningkatkan status kawasan hutan tersebut,” ujar dia.

Pemerintah menurutnya telah mensosialisasikan kepada petambak untuk segera menghentikan aktivitas budidaya di kawasan hutan lindung.

“Kami memberi waktu pada mereka untuk dapat menikmati hasil panen yang sudah terlanjur menebar benih di sana, tapi selanjutnya diharapkan secara sukarela keluar dari kawasan tersebut,” katanya lagi.

Sosialisasi tersebut berlangsung sejak dua bulan lalu. Tim terpadu dari Koramil, polisi kehutanan dan relawan setiap hari melakukan patroli rutin.

Pendapat masyarakat pun berbeda-beda. Ada yang mendukung karena merasa pentingnya mengembalikan fungsi hutan yang sebenarnya namun ada juga yang protes karena memiliki kepentingan di dalamnya.

Sultan Kepala Desa Berundung mengatakan dia bersama 70 petambak lainnya sudah melakukan budidaya puluhan tahun lamanya. “Ini masalah perut, kami tidak terima tambak yang sudah digarap selama ini diklaim. Kami akan pertahankan sampai titik darah penghabisan,” tutupnya. Eni Muslihah

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.