Ruang hidup Masyarakat Adat Talang Mamak, makin terhimpit. Pengakuan dan perlindungan pemerintah belum ada hingga wilayah dan hutan mereka sebagian besar sudah jadi bagian izin-izin perusahaan. Sementara perempuan Talang Mamak memperthankan tradisi menganyam sebagai bentuk perlawanan.

Liputan ini telah lebih dahulu diterbitkan oleh Mongabay Indonesia pada tanggal 9 Desember 2019.

Oleh Elviza Diana

Rambut bergelung. Sejenak perempuan ini menghentikan anyaman dan menunjuk ke puluhan tikar pandan di beranda rumahnya. Sejak subuh, usai meramu sarapan buat suami dan anak lelakinya, dia beralih menganyam pandan kering di sudut rumah. Inilah keseharian Yontet, perempuan adat Talang Mamak, di Riau.

“Jangan pernah berhenti menganyam, ini simbol perlawanan kita,” kata perempuan 45 tahun ini bersemangat. “Perempuan Talang Mamak melawan perampasan hak adat melalui ini,” kata Yontet. Jari jemarinya lincah menjalin bilah-bilah pandan.

Baca juga: Orang Talang Mamak, Bertahan Hidup di Hutan Tersisa

Bagi kebanyakan perempuan Talang Mamak, menganyam adalah hal biasa. Tidak bagi Yontet. Ada makna lebih dari sekadar membuat berbagai kerajinan, memakai atau menjual hasil anyaman itu.

Anyaman, bagi Yontet, merupakan simbol perlawanan.

Sebagai istri Penghulu Batin Ampang Delapan (Ketua adat di Suku Talang Mamak), Yontet salah satu perempuan yang dituntut mampu memimpin kelompok berjuang mempertahankan adat, tradisi, serta hak ulayat mereka.

“Semua orang harus tahu tradisi menganyam adalah tradisi turun menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ini identitas perempuan Talang Mamak,” katanya.

Remaja perempuan Talang Mamak baru boleh mengenal lawan jenis kalau mereka sudah bisa menghasilkan sumpit padi, alat membersihkan padi yang sudah dipisahkan dari kulit, dan tikar. Betandang, demikian istilah bagi perempuan remaja yang siap menikah.

“Kami kehilangan hutan, artinya kehilangan identitas. Rumbai, pandan yang kami gunakan untuk menganyam ini dari hutan. Sekarang sulit didapat.”

Dia beranjak dan masuk ke rumah. Tangan menggapai ke ruang penyimpanan di para-para rumah dan mengambil sehelai tikar berukuran 2×2 meter.

“Buat kamu,” katanya sembari menjulurkan tikar yang sudah diberi pewarna dan dianyam dengan rapi itu.

Yontet, perempuan Suku Talang Mamak di Ampang Delapan yang berjuang untuk pengakuan jati dirinya sebagai masyarakat adat melalui anyaman. Sumber: Elviza Diana.

 

Yontet adalah saksi hidup hutan di sekeliling terus menyempit. Data tutupan hutan Walhi Riau, memperlihatkan, pada periode 2013-2017, Kabupaten Indragiri Hulu kehilangan 20% tutupan hutan setiap tahun, atau sekitar 2.000 hektar, karena alih fungsi jadi perkebunan, hutan tanaman industri (HTI) dan pemukiman.

“Kami suda kehilangan ritual Basolang, sekarang. Menanam padi sudah tidak bisa lagi,” katanya, merujuk kepada adat gotong royong membuka lahan suku Talang Mamak.

Yontet pun tak ingin kehilangan tradisi menganyam.

Dia dan beberapa orang perempuan saat ini berusaha melawan perampasan hak ulayat mereka dengan mengirim semua hasil ayaman keluar daerah untuk pameran, dan jual kepada masyarakat luar. Dia berharap, banyak orang mengenal dan membeli anyaman mereka, akan berimbas kepada usaha mereka dalam mempertahankan tradisi dan tanah ulayat.

“Ini bukan soal pemasukan yang kami terima, makin banyak yang mengenal anyaman ini, makin banyak dukungan terhadap kami,” katanya.

Kehilangan hutan berujung antara lain, kehilangan sumber air bersih. Sungai-sungai yang dulu mengalir kini surut atau bahkan kering. Beberapa anak sungai di wilayah adat Kebatinan Ampang Delapan, kini tidak berair lagi. Masyarakat terpaksa membuat sumur untuk memperoleh air bersih.

“Seminggu musim kemarau saja sumur tak berisi air lagi, kami harus menggali lebih dalam untuk mendapatkan air,” katanya.

Ampang Delapan, sendiri berasal dari kata hampang berarti bendungan atau anak sungai. Ke delapan hampang di sana, yakni, Kuala Sasapan, Kuala Cabul, Ampang Temaga, Titi Rukam, Kuala Gelugur, Sungai Terap, Sungai Tenggiling, dan Kuala Sesapan di hulu.

Menurut Yontet, perempuan merupakan penggerak keluarga, dan terutama akan merasakan langsung dampak kerusakan lingkungan.

 

Upaya pengakuan

Sejak 2013, masyarakat Adat Talang Mamak berupaya memperjuangkan hak mereka dengan mengusulkan peraturan daerah yang memberikan pengakuan di Kabupaten Indragiri Hulu. Usaha ini belum menemukan titik terang. Mereka terus berjuang, meskipun beberapa kali usulan mereka terus di kembalikan lagi oleh pejabat daerah.

Gilung, warga asli Talang Mamak yang merupakan koordinator Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Indragiri Hulu, menceritakan di kabupaten ini terdapat sekitar 5.000 orang Talang Mamak, tersebar dalam 29 kebatinan di lima kecamatan–Rakit Kulim, Batang Cenaku, Batang Gangsal, Seberida dan Rengat Barat.

Semua kebatinan ini menuntut ada pengakuan terhadap hak masyarakat adat dan wilayah adat. Upaya menyurati bupati sudah berulang kali dilakukan setahun terakhir ini. Bahkan, perwakilan daerah AMAN Indragiri Hulu juga mengadakan pertemuan langsung membahas pengakuan hak masyarakat adat ini. Semua kembali menjadi mentah dan titik terang penyelesaian masalah belum diperoleh.

“Kabupaten malah menawarkan kami pengakuan terhadap hutan adat, bukan ini yang kami inginkan. Akui dulu kami sebagai masyarakat hukum adat,” kata laki-laki berusia 40 tahun itu.

Pak Sagap (43) Mangku Ampang Delapan menunjukkan sungai yang mengering di sekitar lokasi mereka saat musim kemarau. Sumber: Elviza Diana

 

Sejak 2015, AMAN Indragiri Hulu sudah menyerahkan peta wilayah adat, kelembagaan adat, kepada Dirjen Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup seperti dipersyaratkan dalam perda pengakuan masyarakat adat.

“Kami sudah memenuhi semua berkas sebagai pengakuan masyarakat adat, jadi kalau mereka bilang kami bukan masyarakat adat itu hanya akal-akalan,” kata Gilung.

Pengakuan masyarakat adat ini penting bagi masyarakat Talang Mamak. Ada delapan wilayah adat Talang Mamak terletak di kawasan hutan negara.

“Masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa. Kendalanya hanya di pemerintah daerah yang tidak tegas, jika kami diakui bagaimana perusahaan dan wilayah transmigrasi? Kami tetap berjuang meski pemerintah tidak mau mengakui kami. Inilah tanah kami, ini tumpah darah kami.”

Bupati Indragiri Hulu Yopi Arianto, melalui ajudannya Supandi, kala dihubungi tidak mau memberikan komentar terkait permasalahan pengakuan masyarakat adat Talang Mamak. Perjuangan pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat Talang Mamak, kata Gilung, masih panjang.

Sejak 2016, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru mendampingi Masyarakat Adat Talang Mamak untuk mencari pengakuan pemerintah daerah.

Pada 22 Agustus 2017, LBH Pekanbaru bersama AMAN Indragiri Hulu dan Masyarakat Talang Mamak menyerahkan usulan itu kepada Pemerintah Indragiri Hulu, diwakili Kepala Bagian Pertanahan Kabupaten, Raja Fahrurazi.

Gilung mengatakan, LBH Pekanbaru juga menyusun naskah akademik Peraturan Daerah Pengakuan Masyarakat Adat Talang Mamak. Naskah ini, katanya, juga sudah diserahkan langsung kepada Pemerintah Indragiri Hulu melalui Plt Sekretaris Daerah, Hendrizal disaksikan Kepala Bagian Pertanahan Kabupaten, Raja Fahrurazi, dan Kepala Bagian Hukum Kabupaten Dewi Khairi Yenti, serta jajaran pada Rabu (14/2/18) di kantor bupati.

Perjuangan sedikit menuai hasil ketika bupati membentuk panitia masyarakat hukum adat melalui surat keputusan Bupati Indragiri Hulu Nomor: Kpts.105/I/2018 tentang panitia masyarakat hukum adat Kabupaten Indragiri Hulu 22 Januari 2018, diketuai langsung  sekretaris daerah.

Setahun setelah panitia terbentuk, pada 28 Januari 2019, LBH Pekanbaru bersama AMAN Indragiri Hulu serta Masyarakat Talang Mamak beraudiensi dengan sekretaris daerah selaku Ketua Panitia Kabupaten Indragiri Hulu beserta anggota panitia lain. Mereka ingin mengetahui perkembangan dan kemajuan usulan.

Dalam pertemuan itu, terlihat perjuangan pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat Talang Mamak makin jauh dari harapan.

“Bukan hasil verifikasi yang didapat, melainkan Sekda Indragiri Hulu yang mengatakan Putusan MK-35 tidak berlaku di Indragiri Hulu. Sekda juga ketua panitia beranggapan bahwa di Indragiri Hulu hanya ada desa bukan desa adat atau hutan adat hingga Putusan MK-35 tidak dapat diberlakukan,” katanya.

Esensi putusan MK Mahkamah Konstitusi No 35 itu soal penegasan hutan adat bukan hutan negara. Setahun setelah putusan MK-35, pada 7 Juli 2014, Menteri Dalam Negeri menerbitkan Peraturan Nomor 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, yang menjadi acuan dan pedoman kepala daerah untuk pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat.

Menjelang akhir 2019, Pemerintah Indragiri Hulu, makin terlihat tak akan mengakui keberadaan Masyarakat Adat Talang Mamak. Pemerintah kabupaten bahkan menghentikan kegiatan Internasional pembelajaran pengelolaan wilayah adat berbasis kearifan lokal antar komunitas adat yang diikuti perwakilan adat dari 20 negara di Desa Talang Jerinjing, Rengat Barat, pada 1 Oktober 2019.

Gilung bilang, masyarakat tetap berjuang untuk pengakuan masyarakat Talang Mamak, meski ditanggapi dingin pemerintah kabupaten. “Saya pikir tidak ada alasan untuk berhenti berjuang, kita sudah memulai lama. Ini harus terus diperjuangkan. Kita, masyarakat Talang Mamak jelas keberadaannya, adat, dan wilayah. Apa masalahnya kalau perlu pengakuan.”

 

Kikis identitas

Belum ada pengakuan terhadap Talang Mamak ini makin menyudutkan mereka ketika wilayah makin terkepung perkebunan sawit. Luas hutan adat Kebatinan Ampang Delapan, misal, tinggal 83 hektar dari semula 1.318 hektar, dan berada di tengah tengah kepungan area perusahaan perkebunan sawit.

Payau, lelaki Talang Mamak yang mengantarkan saya berkunjung ke Hutan Adat Kebatinan Ampang Delapan mengatakan, sejak hutan adat mereka rasakan banyak dampak buruk seperti sumber hasil hutan hilang, air, serta udara jauh lebih terik dibandingkan sebelumnya.

“Sekarang cari jernang, rotan, manau sulit. Hutan makin sempit, yang tersisa kebun sawit, udara lebih panas, serta sumber air menjadi sulit. Dulu, masyarakat Talang Mamak tidak tahu dengan sumur, kami semua mandi ke sungai. Sekarang air sungai keruh dan kami gatal-gatal karena pupuk sawit,” katanya.

Berdasarkan analisis spasial data pemetaan skala luas Talang Mamak, wilayah adat Ampang Delapan, terdiri dari lahan akasia 12 hektar, tidak termasuk konsesi perusahaan atau milik masyarakat, semak belukar 144 hektar, rimba atau hutan 27 hektar, pemakaman umum 29 hektar, perkebunan sawit milik perusahaan 340 hektar, perkebunan karet 766 hektar, dan hutan adat 83 hektar.

Ampang Delapan dengan 97% penduduk asli, sisanya pendatang, secara administratif merupakan dusun jadi bagian Desa Talang Durian Cacar. Berdasarkan Surat Keputusan Menhut No. 878/2014, Ampang Delapan memiliki dua fungsi lahan, areal penggunaan lain dan hutan produksi terbatas.

Ada hak penguasaan hutan (HPH), transmigrasi, pembalakan hutan, dan perambahan oleh orang luar hanya menyisakan beberapa petak hutan adat bagi Talang Mamak. Selebihnya, hamparan sawit milik perusahaan.

Konsesi perusahaan yang masuk ke wilayah adat Kebatinan Ampang Delapan adalah PT. Selantai Agro Lestari (SAL) di atas bekas konsesi PT Industries Forest Asiatique (IFA). Belum ada hitungan berapa luas konsesi SAL yang masuk ke Ampang Delapan.

Meskipun demikian, dari hasil keterangan umum, Inkuiri Nasional Komnas HAM 2014, diketahui, SAL belum mempunyai izin pelepasan kawasan hutan dan hak guna usaha (HGU), namun sudah beroperasi sejak 2009.

***

Gundu, Penghulu Batin Ampang Delapan, sudah lebih dulu tiba di hutan adat kebatinan. Dia menatap satu persatu pohon yang masih berdiri kokoh. Gundu prihatin dengan hutan sekitar tempat mereka makin menyempit.

Hidup mereka, katanya, sedari dulu tergantung dari hutan seperti jernang, rotan, maupun perladangan. Karet mulai ditanam di Indragiri pada masa koloni Belanda. Mulanya, karet ini ditolak para tetua, sejak 1920-an, perlahan-lahan ditanam orang Talang Mamak di sela-sela benih padi. Setelah dua kali memanen padi, orang Talang Mamak membiarkan karet tumbuh dan membuka lahan lain untuk perladangan. Pola tanam demikian masih berlanjut sampai sekarang.

Perubahan mulai terjadi pada 1970-an, ketika wilayah orang Talang Mamak jadi bagian konsesi HPH. Kehadiran HPH, mengacu kepada hasil studi lapangan oleh Badcock dan Potter (2001), membuka sebagian besar daerah di Indragiri Hulu yang awalnya terisolasi. Dalam pengamatan orang Talang Mamak, HPH membuka hutan terutama di Batang Tenaku dan sebagian kecil Batang Ekok.

 

Penebangan hutan di Indragiri Hulu marak berkaitan erat dengan kebijakan ekonomi Indonesia kala itu yang jadikan Riau sebagai provinsi penyedia kayu balokan.

Jumlah perusahaan kayu yang beroperasi di kabupaten ini pada 1999 ada 16, delapan beroperasi dengan izin kadaluwarsa. Salah satu perusahaan HPH paling terkenal di kabupaten ini pada 1970-an, adalah IFA yang mendapatkan konsesi 70.664 hektar.

Di masa maraknya HPH di Indragiri Hulu, banyak orang Talang Mamak terutama pria, terintegrasi ke bisnis kayu ini. Bukan sebagai pekerja formal perusahaan tetapi sebagai penebang kayu mandiri yang menjual kayu tebangan kepada perusahaan.

Setiap penebang hanya menerima upah harian yang dalam sebulan Rp300.000. Konsesi HPH membuka hutan luas di Indragiri Hulu buat pengembangan proyek-proyek selanjutnya, yakni transmigrasi, perkebunan sawit, dan hutan tanaman industri (HTI).

Proyek-proyek ini menyebabkan hutan dan wilayah adat Talang Mamak, makin menyempit.

Kehadiran transmigrasi dan perkebunan sawit ini pun berangsur-angsur mendorong perubahan budidaya orang Talang Mamak dari karet ke komoditas sawit.

“Perlahan-lahan ruang hidup orang Talang Mamak dan identitasnya raib bersama hilangnya hutan di Talang Mamak,” keluh Gundu.

 

Liputan ini didukung oleh program Story Grants 2019 dari Internews’ Earth Journalism Network Asia-Pasifik

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.