Aktivitas PT Bina Lestari Khatulistiwa Sejahtera (BLKS) mewariskan kerusakan hutan dan degradasi gambut kepada masyarakt Desa Kalibandung, catatan kelam bagi investasi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.
Kubu Raya, KALIMANTAN BARAT. GEROBAK sorong penuh buah kelapa sawit didorong Herculanus Eher (50), menuju tepian parit. Hasil panen tersebut ditumpuk sebelum diangkut dengan perahu bermotor untuk dijual ke luar desa.
Selain Herculanus, ada tiga warga lain ikut memanen dan memuat kelapa sawit pada perahu yang sama. Pekerjaan tersebut dilakoni mereka setiap dua pekan sekali.
Warga memanen kepala sawit di bekas areal konsesi PT Bina Lestari Khatulistiwa Sejahtera (BLKS). Dalam sekali panen, Herculanus meraup sekitar 300-400 kilogram atau setara Rp330 ribu hingga Rp440 ribu.
“Harga sekilogramnya Rp1.100. Lumayan buat makan karena karet sekarang harganya rendah bahkan tidak laku,” kata Herculanus, seusai memanen kelapa sawit pada pertengahan Januari silam.
Herculanus dan tiga warga tersebut mengelola sebanyak empat blok atau sekitar 4 hektare lahan kelapa sawit sejak sekitar tiga tahun silam. Namun, tidak seluruhnya bisa mereka garap. Jalannya sulit diakses karena gampang ambles dan dipenuhi semak belukar.
Herculanus merupakan bekas tenaga keamanan dan karyawan terakhir yang meninggalkan PT BLKS. Dia menetap seorang diri di areal bekas kebun perusahaan yang berjarak sekitar 5 kilometer dari kampungnya di Dusun Pulau Maju, Desa Kalibandung.
Sebuah pondok berdinding kayu dibangun Herculanus di tengah kebun sebagai tempat tinggal. Lokasinya tidak jauh dari parit peninggalan PT BLKS.
“Kami mengizinkan warga memanfaatkan kelapa sawit PT BLKS, tetapi dilarang meremajakan tanaman. Areal ini sekarang telah menjadi kawasan hutan desa sehingga tidak boleh lagi ditanami kelapa sawit,” kata Usman, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Kalibandung.
Usman, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa, Kalibandung
Herculanus juga kerap berburu satwa dan tumbuhan liar di areal kebun. Babi hutan menjadi salah satu lauk favorit nya.
“Keberadaan kawan-kawan (Herculanus) sekaligus menjaga keamanan kawasan ini. Lahannya sering terbakar pada saat kemarau. Bekas bangunan PT BLKS bahkan ikut terbakar pada 2015,” jelas Usman.
Baca juga: Memulihkan kubah kehidupan, berbibit dari pemberdayaan dan partisipasi masyarakat
Perusahaan bangkrut
PT BLKS mulai beroperasi sekitar 1996. Konsesi mereka meliputi areal gambut sekitar 1.300 hektare di Desa Kalibandung, Kecamatan Sungairaya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.
“Saat perusahaan masuk, sebagian lahan sudah menjadi areal terbuka dan bekas tebangan. Kayu yang ada kebanyakan jenis kempas dan diameternya lumayan besar, sedangkan ramin masih kecil-kecil,” kata Enjang Rustiawan (50), mantan staf topografi PT BLKS.
Enjang mulai bekerja pada 1998. Dia bertugas memetakan kawasan konsesi sesuai peruntukan lahan dan kebutuhan perusahaan.
“Perusahaan membersihkan lahan, membangun kanal-kanal, serta menyiapkan dan menanam bibit kelapa sawit. Ada sekitar 1.300 hektare lahan telah ditanam pada saat itu. Di lokasi perusahaan, saya sering menjumpai kera, lutung, babi hutan, rusa, dan beruang madu,” ungkap Enjang.
Kawasan konsesi PT BLKS saat itu juga kerap terbakar, terutama pada saat kemarau. Pemicu kebakaran diduga berasal dari aktivitas pembersihan lahan.
“Para pekerja lupa memadamkan api sehingga membesar sewaktu malam. Kami mengerahkan mesin air dan alat berat untuk memadamkannya. Pemadaman bisa berlangsung hingga pagi,” kata Enjang.
Perantau asal Jawa Barat dan kini menetap di Kalibandung tersebut hengkang dari PT BLKS setelah bekerja sekitar tiga tahun. Dia memutuskan berhenti saat perusahaan diambang kebangkrutan.
“Kegiatan perusahaan mulai vakum sekitar pertengahan 2000. Para pegawai tidak dipekerjakan lagi, kecuali security (satpam) untuk menjaga peralatan dan aset kantor,” ungkapnya.
Praktik kotor investasi
Usia PT BLKS tidak panjang. Perusahaan hengkang tanpa sempat memetik kelapa sawit yang mereka tanam.
PT BLKS mengalami kesulitan finansial sehingga izin usaha perkebunan (IUP) mereka dibekukan pemerintah pada 2000. Pembekuan tersebut terkonfirmasi melalui pertemuan mediasi yang difasilitasi JARI Indonesia Borneo Barat pada Juni 2018.
“Pertemuan dihadiri Pak Aciang selaku (perwakilan) pemilik PT BLKS, Dinas Perkebunan, dan unsur pemerintah terkait. Pak Aciang menyatakan mereka tidak memperpanjang IUP karena keterbatasan anggaran operasional. Adapun pihak Dinas Perkebunan Kabupaten Kubu Raya memastikan izin BLKS telah dibekukan,“ kata Firdaus, Direktur JARI Indonesia Borneo Barat, lembaga swadaya yang bergerak dalam bidang advokasi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
Ada 29 perusahaan perkebunan kelapa sawit beroperasi di wilayah Kubu Raya pada saat ini. Total luas konsesi mereka kurang lebih 173.255 hektare atau sekitar 24,80% dari 698.524 hektare luas wilayah Kubu Raya. PT BLKS tidak lagi tercantum dalam daftar perusahaan yang berinvestasi di kabupaten tersebut.
“Permasalahan PT BLKS awalnya kami ketahui saat mendampingi masyarakat dalam rencana pengusulan Hutan Desa Kalibandung. Warga mengabarkan ada lebih 1.000 hektare lahan kelapa sawit terlantar. Mereka mengusulkan kawasan itu juga dijadikan hutan desa,” ungkap Firdaus.
Investasi PT BLKS menyisakan jejak buruk terhadap kondisi lingkungan dan masyarakat setempat. Mereka meninggalkan begitu saja lahan yang telah terlanjur terbuka dan ditanami kelapa sawit. Gambut pun menjadi terdegradasi sehingga rentan terbakar sewaktu kemarau dan mengakibatkan banjir saat musim penghujan.
Kebakaran terbaru terjadi pada 26-27 Februari 2021 dan menghanguskan setidaknya 100 hektare lahan di kawasan Hutan Desa Kalibandung. Tidak ada data mengenai warga yang terdampak kesehatannya akibat kebakaran tersebut. Namun, satu keluarga diungsikan karena permukiman mereka hanya berjarak sekitar 10 meter dari lokasi lahan terbakar.
Adapun banjir terakhir pada awal Januari 2021 menggenangi sejumlah jalan perkampungan dan lahan pertanian. Banyak jahe dan bawang merah membusuk sehingga gagal dipanen. Jadwal tanam pun menjadi mundur sekitar sebulan.
Peta diolah dan direproduksi berdasarkan berbagai sumber.
“Sulit meminta pertanggungjawaban perusahaan atas perusakan lingkungan yang telah mereka lakukan. Perusahaannya sudah lama kolaps. Kami saja pada saat itu kesulitan menghubungi pemilik perusahaan karena mereka tidak memiliki kantor resmi,” kata Firdaus.
Karut-marut PT BLKS terjadi pada saat Kubu Raya belum dimekarkan dari wilayah Kabupaten Pontianak, yang saat ini bernama Kabupaten Mempawah. Namun, pemilik sempat menghidupkan kembali aktivitas perusahaan pada saat Kubu Raya masih dijabat bupati nondefinitif.
“Saat itu (rencana investasi PT BLKS) mungkin tidak disertai survei dan kajian. Regulasinya belum spesifik dan rigid (ketat),” kata Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan.
Muda memastikan kejadian tersebut tidak bakal berulang di Kubu Raya. Mereka telah membangun sistem perizinan terpadu sehingga pengawasan terhadap setiap kegiatan investasi jauh lebih baik daripada sebelumnya.
“Semua rencana investasi selalu terpantau, mulai izin pemanfaatan ruang hingga pengembangannya. Saya kira kecil kemungkinan akan terjadi lagi (kasus seperti PT BLKS) karena sudah terpantau sejak awal,” jelas Muda.
Pemerintah Kabupaten Kubu Raya pun pernah membekukan sejumlah izin konsesi perkebunan kelapa sawit, selain PT BLKS. Mereka juga menelantarkan lahan dengan tidak menanami area konsesi hingga izin usaha perkebunan (IUP) perusahaan habis masa berlakunya. Perusahaan tersebut, di antaranya PT Parna Agromas dan PT Sebukit Internusa.
Parna Agromas sebelumnya mengantongi IUP Nomor 50 Tahun 2009 dengan areal konsesi seluas 4.261 hektare di Kecamatan Kuala Mandor B. Adapun Sebukit Internusa memiliki IUP Nomor 175 Tahun 2011 dengan luas areal konsesi sekitar 5.000 hektare di Kecamatan Sungairaya. (*)
Baca juga: Pembalakan liar perparah kerusakan fungsi hutan lindung Kalibandung
*Liputan ini didukung oleh Rainforest Journalism Fund, Pulitzer Center