Lahan hijau yang terus terdegradas dan perubahan iklim membuat Kota Gorontalo terancam tenggelam kalau tidak ada rencana mitigasi dan adaptasi.

Masih begitu lekat dalam ingatan Meti Ismail peristiwa yang dialami awal Juni 2020. Perempuan 54 tahun ini bersama keluarga terpaksa mengungsi karena rumah mereka di Kelurahan Bugis, Kecamatan Dumbo Raya, Kota Gorontalo, Gorontalo, terkena banjir dampak luapan Sungai Bone. Ini salah satu sungai terbesar di Gorontalo.

Hujan di hulu Sungai Bone, di Kabupaten Bone Bolango, jadi penyebab utama peristiwa itu. Sebagian Kota Gorontalo terendam, dan rumah milik Meti hanya menyisahkan atap. “Saat air mulai naik, kita langsung mengemas barang-barang mengungsi,” katanya kepada Mongabay, Kamis [7/10/21].

Banjir saat itu terbesar selama 10 tahun terakhir. Hingga kini, tiap hujan turun, dia tak bisa tidur. Perempuan lima anak ini khawatir banjir berulang.

Saat air sungai yang masuk ke rumahnya mencapai betis orang dewasa, itu pertanda dia dan keluarga harus cepat mengungsi. Rumahnya hanya berjarak satu meter dari bantaran sungai.

“Tanggul sungai jadi dinding dapur rumah saya, jadi ketika ada banjir, dapur rumah saya yang pertama dimasuki air,” kata Meti.

Risnawati Abas, juga rasakan hal serupa. Tempat tinggalnya sangat dekat dengan bantaran sungai. Dinding dapur rumah merupakan tanggul sungai. Dengan keterbatasan ekonomi membuat dia tidak bisa pindah. Sehari-hari perempuan 50 tahun ini berjualan nasi kuning.

Gedung Bele Li Mbu’I Gorontalo, berjarak satu km dari tempat tinggalnya, seakan jadi rumah kedua saat banjir menerjang.

“Saya mau tinggal di mana lagi jika saya pindah? Rumah ini salah satu harta saya yang ditinggalkan orang tua. Kurang lebih 50 tahun saya tinggal di rumah ini, meski banjir terus menghantui,” kata Risnawati.

Dia bilang, banjir dan kenaikan air laut (rob), sudah lebih parah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Sebenarnya, banjir dan banjir pasang surut air laut (banjir rob) bukan hal baru untuk Meti Ismail dan Risnawati Abas. Kota Gorontalo sejak lama menghadapi berbagai ancaman bencana banjir dan rob, karena memiliki dua muara sungai besar, yaitu Sungai Bone dan Sungai Bolango.

Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Gorontalo, pada 2014, mencatat ada 31 kali banjir, 2018 sebanyak 17 kali, 2019 dan 2020 ada sembilan kali banjir di Kota Gorontalo. Kecamatan Dumbo Raya dan Hulonthalangi, kerap jadi langganan banjir kala hujan turun dengan lebat.

Iqrima, dosen lingkungan di Politeknik Gorontalo mengatakan, banjir rob setiap tahun di Gorontalo, tidak terlepas dari dampak perubahan iklim. Apalagi, katanya, banjir rob makin hari makin parah dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Permukiman, kata Iqrima, seharusnya berjarak 10 meter di atas permukaan laut [mdpl] untuk menghindari banjir rob. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Gorontalo, ada empat kecamatan rawan karena banyak rumah berada lebih pendek dari jarak itu, yakni Kota Selatan (5 mdpl), Kota Timur (6 mdpl), Hulonthalangi (9 mdpl), dan Dumbo Raya (5 mdpl). Iqrima bilang, wilayah-wilayah itu sangat rentan banjir rob.

“Apalagi, Kota Gorontalo, ada dua muara sungai besar, Bone dan Bolango. Kita tidak bisa kaget lagi, saat curah hujan tinggi, Kota Gorontalo sering banjir.”

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, melalui Balai Wilayah Sungai (BWS) Sulawesi II Gorontalo, sedang membangun tanggul sebagai pengendali banjir di pesisir Sungai Bone. Marten Taha, Wali Kota Gorontalo, meyakini tanggul itu bisa mengatasi banjir.

“Tanggul itu sementara dibangun. Kita percaya tanggul itu solusi banjir di Gorontalo. Meski masih bermasalah dalam pembebasan lahan, pembangunan jangan sampai terhenti,” katanya akhir September lalu.

Meski ada tanggul, kata Iqrima, ancaman bencana di Kota Gorontalo akan terus meningkat seiring perubahan iklim. Dia bilang, lahan resapan air sudah terdegradasi dari tahun ke tahun, jadi salah satu penyebab utama Kota Gorontalo rentan perubahan iklim.

Kota urban dan degradasi lahan

Kota Gorontalo merupakan titik awal perkembangan Provinsi Gorontalo yang berciri arus urbanisasi dan mengalami degradasi lahan di ruang perkotaan. Dengan luas wilayah 79,03 km2 dan penduduk 198.539 (2020), Kota Gorontalo, mengalami peningkatan pembangunan infrastruktur hingga mengubah wajah kota.

Kondisi ini mendorong masyarakat migrasi dari desa ke kota. Urbanisasi memberikan andil dalam laju pertumbuhan penduduk di kota ini. Laju pertumbuhan penduduk 1990- 2000 mencapai 1,20%, dan 2000-2010 mencapai 2,93%. Kemudian, 2010 -2020 tumbuh sebesar 0,95%.

Berdasarkan data BPS Gorontalo, degradasi lahan di Kota Gorontalo dari tahun ke tahun makin meningkat. Misal, luasan sawah irigasi (tanam padi) pada 2019 sebesar 828 hektare (ha), 2020 berkurang jadi 795 hektare. Sementara lahan non irigasi (tanam padi) sudah tak ada lagi.

Luas baku lahan tegal/kebun, pada 2019 sebesar 180 ha, pada 2020 tinggal 145 ha. Sedang luasan baku lahan ladang pada 2019 sebesar 14 ha, pada 2020 sudah tak ada lagi. Sementara luasan pertanian bukan sawah berkurang empat ha pada 2020.

Degradasi lahan yang cepat di Kota Gorontalo disinyalir mendorong perubahan iklim hingga memicu bencana. Degradasi lahan juga berdampak pada perubahan parameter iklim di Kota Gorontalo seperti kenaikan suhu, intensitas curah hujan, dan kelembaban nisbi.

Hal ini dipaparkan dalam jurnal penelitian berjudul “Pengaruh Alih Fungsi Lahan Terhadap Perubahan Iklim di Kota Gorontalo” karya Faisal Dunggio dan Irwan Wunarlan, yang dimuat dalam  Jurnal Teknik terbitan Fakultas Teknik Universitas Negeri Gorontalo pada 2013.

Dalam penelitian itu disebutkan bahwa degradasi lahan karena alih fungsi berpengaruh pada perubahan iklim. Terdapat korelasi sangat kuat antara perubahan alih fungsi lahan menjadi perumahan, kantor pemerintah, dan pertokoan, dengan kenaikan suhu di Kota Gorontalo.

Bukan hanya itu, kantor pemerintah, lahan perumahan, lahan pendidikan, dan pertokoan swalayan, berpengaruh juga secara parsial terhadap kelembaban di wilayah perkotaan.

Yurita Walangadi, Kepala Bidang Pertanian, Dinas Kelautan Perikanan dan Pertanian Kota Gorontalo, mengatakan, akan mempertahankan 430 ha dari 795 ha sawah sebagai lahan serapan air. Sekitar 430 ha akan jadi lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B).

“Ini perlu diperhatikan. Tidak hanya mempengaruhi jumlah produksi. Kita tidak hanya mempertahankan lahan sawah sebagai resapan, karena seluruh lahan di kota setiap hari berkurang,” katanya saat ditemui pada 9 Oktober 2021.

Upaya ini mengacu pada Undang-undang No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan. Semua daerah, katanya, harus menyediakan lahan yang tidak beralih fungsi selama 20 tahun. “Adapun rencana Desain Tata Ruang Wilayah LP2B sudah ditandatangani bersama Dinas PUPR seluas 430 hektare terdapat di Kecamatan Kota Timur, Sipatanah dan Kota Utara,” kata Yurita.

Iqrima, peneliti dan alumni IPB, mengatakan, laju dan tekanan urbanisasi, pembangunan perkantoran, perdagangan, pendidikan, dan prasarana rekreasi dapat mengakibatkan degradasi lahan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau (RTH) jadi lahan terbangun. Menurut dia, degradasi lahan dapat berpengaruh juga terhadap kenaikan permukaan air laut (rob) dan banjir di Kota Gorontalo. Resapan air yang berkurang karena lahan makin hari terdegradasi, membuat struktur tanah menurun. Akibatnya, permukaan laut lebih tinggi dibanding dataran. Dia bilang, hal itu juga terjadi di Jakarta.

“Apabila praktik penataan ruang tidak mampu mengendalikan tekanan urbanisasi yang sangat cepat dengan segenap dampak negatifnya, kota akan tumbuh tak terkendali hingga pembangunan berkelanjutan jadi gagal,” tegas Iqrima.

Apalagi, katanya, Gorontalo masuk dalam kota-kota pesisir Indonesia yang bakal tergerus di bawah permukaan laut alias tenggelam pada 2050 berdasarkan perkiraan lembaga riset nonprofit, Climate Central. Faktor penyebabnya adalah peningkatan permukaan laut.

Mitigasi dan adaptasi?

Tata Mustasya, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara mengatakan, pemicu perubahan iklim di perkotaan buntut dari wilayah resapan air dan lahan berkurang. Menurut dia, kota merupakan wilayah kunci mengatasi perubahan iklim.

Namun, katanya, wilayah perkotaaan kerap hanya memikirkan pembangunan infrastruktur dan peningkatan perekonomian, tetapi menyampingkan aspek lingkungan dan sosial. Sawah, ia melanjutkan, jadi rumah dan sumber air jadi permukiman atau gedung, sangat berdampak kepada kualitas lingkungan di Kota Gorontalo.

Menurut Tata, Kota Gorontalo terancam tenggelam kalau tidak ada mitigasi dan adaptasi. Pemerintah Kota Gorontalo, katanya, harus lebih aktif dalam upaya mitigasi dampak perubahan iklim bersama-sama pemerintah pusat.

Diskusi dan wacana menghadapi dampak perubahan iklim, jelas Tata, hanya dilakukan di pemerintah pusat. Padahal, riset-riset terakhir menunjukkan kerentanan dampak perubahan iklim paling banyak terjadi di daerah, misal, Kota Gorontalo.

“Warga di daerah akan mendapatkan dampak langsung terkait perubahan iklim,” kata Tata.

Romi Rauf, Kepala Seksi Konservasi Sumber Daya Alam (SDA) Dinas Lingkungan Hidup Kota Gorontalo mengaku tak terlalu fokus dalam pencegahan dampak dari perubahan iklim. Anggaran untuk itupun juga tidak teralokasi.

“Kita hanya memiliki program penanaman pohon di pinggir jalan untuk penghijauan di Kota Gorontalo. Kita juga menata pohon-pohon yang ada,” kata Romi, 23 September lalu.

DLH juga bertugas mengelola 27 RTH di beberapa wilayah di Kota Gorontalo, sebagai bentuk mitigasi dampak perubahan iklim. Dia membenarkan bahwa lahan di Kota Gorontalo mengalami degradasi.

Bagaimana nasib Kota Gorontalo, ke depan? Semua bergantung pada aksi-aksi mitigasi dan adaptasi yang dilakukan.

 *Artikel ini merupakan bagian dari “Story Grant Peliputan Lingkungan Hidup” yang diadakan Ekuatorial dan Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ), serta terbit pertama kali di Mongabay Indonesia pada 14 Oktober 2021.

About the writer

Sarjan Lahay is a freelance journalist in Gorontalo, a province on the island of Sulawesi which is often referred to as Serambi Madina. He started his journalistic career in 2018, by becoming a reporter...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.