Menurut penelitian The Economist Intelligence Unit (EIU) pada 2017, Indonesia adalah negara kedua penghasil sampah makanan terbanyak di dunia, yaitu sekitar 300 kg  per individu. Mirisnya, jumlah tersebut justru mampu memberikan 28 juta atau 11% penduduk di Indonesia untuk memperoleh makanan layak konsumsi.  Makanan berlebih dan sisa makanan yang dibuang dan membusuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) juga menghasilkan gas metana yang berdampak buruk bagi lingkungan.

Inisiatif gerakan pengolahan makanan hingga distribusi makanan berlebih agar bisa dinikmati banyak orang dilakukan oleh Deddy Trunoyudho. Bersama istri dan rekannya, Deddy membentuk Garda Pangan yang bertujuan untuk mendonasikan makanan berlebih dan mengelola sisa makanan menjadi produk bermanfaat dan bernilai ekonomi tinggi.

Untuk mengetahui bagaimana Garda Pangan membawa perubahan baru dalam pengelolaan makanan berlebih dan sisa makanan di Indonesia, The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) melakukan wawancara dengan Co-Founder dan COO Garda Pangan, Deddy Trunoyudho, pada Rabu, 12 Januari 2022.

Bagaimana latar belakang lahirnya komunitas Garda Pangan?

Bermula dari pengalaman saya mengelola usaha katering keluarga, seringkali makanan berlebih dibuang. Membuang makanan jadi cara paling murah dan paling cepat untuk membersihkan apa yang tersisa. Seiring dengan berjalannya waktu, saya bersama istri berpikir tentang cara mengelola makanan yang berkelanjutan dan akhirnya kami mencoba untuk mendonasikan makanan berlebih. Di luar negeri, konsep seperti itu berkembang banget. Akhirnya saya coba mengaplikasikannya di Surabaya bersama mba Eva dengan menginisiasi Garda Pangan Surabaya.

Awalnya kami menggelar penggalangan donasi makanan saat perayaan Idul Fitri. Kalo ada makanan berlebih, kami bantu untuk mengelola dan mendistribusikannya ke masyarakat.

Apa saja yang sudah dilakukan Garda Pangan selama ini?

Kami melakukan kerja sama dengan kelompok industri dan peneliti untuk melihat potensi sampah pangan. Misalnya ketika banyak hasil panen petani yang tidak terjual saat awal pandemi, kami membantu penjualannya agar tidak berakhir menjadi sampah. Dalam pengelolaan makanan, kami juga memanfaatkan teknologi yang dapat mengelola sisa makanan menjadi kompos.

Garda Pangan ingin ikut berkontribusi dalam menjaga lingkungan dan mengatasi kerawanan pangan. Kerawanan pangan sendiri dapat memicu masalah lainnya, seperti gizi buruk dan stunting.

Bagaimana perjalanan Garda Pangan membawa perubahan dalam pengelolaan makanan berlebih dan sisa makanan?

Garda pangan menjadi pioner konsep pengelolaan makanan yang masih tergolong baru di Indonesia. Kami juga berusaha membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya mengelola sampah makanan untuk lingkungan. Upaya ini direspons positif seiring dengan bertambahnya komunitas kami.

Mewujudkan pengelolaan makanan berlebih untuk kepentingan sosial, lingkungan, dan ekonomi membutuhkan dukungan berbagai pihak. Kami memiliki tim yang bekerja sesuai dengan bidangnya masing-masing, mulai dari pemilahan sampah sampai pemanfaatan teknologi, sehingga kami mampu memaksimalkan dan mengelola makanan berlebih dengan bertanggung jawab.

Kami menerapkan konsep piramida terbalik untuk mengurangi pembuangan sampah di TPA. Prioritas utama dalam posisi teratas itu reduce, yaitu dengan mengurangi sampah makanan. Kami mengumpulkan makanan berlebih dari berbagai acara seperti pernikahan atau katering dan mendonasikan makanan layak konsumsi kepada masyarakat yang membutuhkan. Pengelolaan lainnya dijadikan pakan ternak dan kompos. Pembuangan makanan ke TPA menjadi opsi terakhir kami.

Selain menerima donasi berupa makanan berlebih dan kerja relawan, Garda Pangan juga menawarkan kerja sama berbayar untuk mengakomodasi kebutuhan operasional. Misalnya untuk pembiayaan relawan yang ikut ke luar kota.

Apa saja tantangan yang dihadapi Garda Pangan?

Khususnya dalam pengelolaan sisa makanan menjadi pakan ternak, kami membutuhkan modal besar untuk pembiayaan fasilitas yang memadai. Tantangan lainnya terkait dengan aturan ketat restoran atau perusahan makanan dan minuman yang menolak untuk menyalurkan makanan berlebih karena terkendala kebijakan internal perusahaan mereka.

Seberapa penting keterlibatan masyarakat dalam mengurangi dampak buruk sampah makanan?

Banyak orang yang belum memahami hubungan antara sampah makanan dan masalah lingkungan. Sampah makanan yang berakhir di TPA akan menghasilkan gas metana yang berdampak buruk bagi lingkungan. Ketika kesadaran masyarakat sudah terbentuk, mereka akan tertarik untuk membantu mengelola sisa makanan dari rumah.

Pola konsumsi yang bertanggung jawab juga penting. Tidak menghabiskan makanan yang kita konsumsi akan meninggalkan jejak karbon. Sedangkan untuk memenuhi konsumsi pangan yang terus meningkat, hutan dan lahan digunakan untuk area food estate dan perkebunan. Kondisi lingkungan akan semakin parah jika kita tidak bijak dalam mengkonsumsi makanan.

Bagaimana Anda melihat upaya pemerintah dalam pengelolaan sampah makanan di Indonesia?

Peran pemerintah belum maksimal. Sebagai contoh di Surabaya, kebijakan terkait pengelolaan sampah mayoritas masih berfokus pada pemilahan. Padahal sampah makanan yang berakhir di TPA memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi, seperti kompos atau biogas. 

Ada konsep yang lebih mudah dan murah dibandingkan menumpuk sampah makanan di TPA. TPA Surabaya dikelola swasta dengan anggaran yang tidak murah. Jika pemerintah mengadopsi konsep kami, misalnya industri makanan dan minuman diwajibkan untuk mengelola sisa makanan dan makanan berlebih, limbah dapat berkurang secara signifikan.

Kolaborasi pemerintah dengan berbagai pihak menjadi salah satu kunci keberhasilan pengelolaan sampah makanan berkelanjutan.

Bicara anak muda, bagaimana mengajak anak-anak muda untuk terlibat dalam gerakan peduli lingkungan melalui pengelolaan sampah makanan?

Kami melibatkan anak muda untuk terjun langsung ke lapangan melalui program Garda Pangan. Kami mengajak mereka untuk ikut mengambil makanan berlebih di pasar dan area industri untuk membangun kesadaran mereka tentang pentingnya pengelolaan sampah makanan.

Apa harapan Garda Pangan untuk mendukung program pengelolaan makanan berlebih?

Harapan kami ada ekosistem yang mendukung terbentuknya food bank di Indonesia. Walaupun Indonesia adalah negara dengan tingkat konsumsi makanan terbesar ketiga di dunia, masih banyak kelompok masyarakat yang tidak mampu memperoleh makanan layak konsumsi. Pemerintah dapat mendorong industri makanan dan minuman besar untuk mendonasikan makanan berlebih mereka ke food bank, karena selama ini yang terjadi makanan berlebih justru dibuang.

About the writer

Abdus Somad

Abdus Somad, born in Karangasem, Bali, 27 years ago. He plunged into journalism by joining Axis Student Press at Ahmad Dahlan University, Yogyakarta. After graduating from college in 2018, he worked as...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.