Jika kita mampu membangun integrasi penyimpanan data yang terkoneksi dengan baik, semua pengamat burung dapat terhubung untuk memudahkan pendataan.

Indonesia menjadi salah satu negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Berbagai spesies flora dan fauna endemik terdapat di alam Indonesia, termasuk spesies burung.

Pada 2021, terdata 1.700 lebih jenis burung di Indonesia dan 557 di antaranya berstatus dilindungi. Beberapa spesies burung di Indonesia juga merupakan spesies migrasi. Perubahan cuaca dan menipisnya makanan menjadi beberapa faktor yang memicu burung-burung terbang ke kawasan khatulistiwa pada bulan-bulan tertentu.

Namun, kelestarian berbagai jenis burung di Indonesia terancam oleh meningkatnya perburuan, baik untuk dipelihara maupun diperjualbelikan. Kepedulian untuk menyelamatkan berbagai spesies burung datang dari kelompok pengamat burung. Secara swadaya, mereka mendata jenis-jenis burung yang dirangkum dalam buku “Atlas Burung Indonesia” dan aplikasi digital Burungnesia.

The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) berkesempatan mewawancarai pendiri Burungnesia, Swiss Winasis. Dia menggagas peranti untuk mencatat data hasil pengamatan burung dari aplikasi gawai cerdas guna mempermudah penyimpanan data para pengamat burung. Aplikasi ini juga bisa diunduh gratis untuk dijadikan sumber pengetahuan tentang spesies burung-burung di Indonesia.

Bagaimana awal mula ketertarikan Anda terhadap perlindungan burung di Indonesia?

Pada tahun 2000 sewaktu masih berkuliah di Fakultas Kehutanan UGM, saya diajak kakak kelas berkeliling di sekitar kampus. Kebetulan di sana ada kelompok pengamat burung yang ingin memperkenalkan jenis-jenis burung kepada mahasiswa baru.

Saat itu saya melihat burung bondol jawa (Lonchura leucogastroides) untuk pertama kalinya. Tidak ada yang istimewa, seperti burung pada umumnya dengan warna coklat gelap dan putih. Yang menarik adalah pengalaman bisa melihat langsung burung liar di habitatnya. Setelah itu saya sering melakukan perjalanan ke Gunung Merapi, Kulonprogo, dan sekitar Yogyakarta untuk melihat burung di alam bebas.

Bagaimana habitat burung-burung Indonesia saat ini?

Kalau bicara burung di alam bebas, kondisi mereka memprihatinkan. Dulu spesies burung menghadapi ancaman kepunahan karena habitatnya dijadikan kawasan industri dan permukiman. Saat ini ancaman terhadap kelestarian burung semakin bertambah dengan maraknya perdagangan burung. Lebih parah lagi sekarang banyak burung yang dilombakan, sehingga mendorong banyak pemburu burung. Akibatnya, banyak spesies burung sudah berpindah dari hutan ke pasar burung. Hutan di Jawa, meskipun terlihat masih asri tapi tidak ada isinya di dalamnya. Burung-burungnya sudah pindah ke sangkar.

Dulu hanya beberapa jenis burung yang dipelihara, seperti jenis burung paruh bengkok, perkutut (Geopelia striata), dan jenis tertentu lainnya. Saat ini burung gereja (Passeridae) juga ikut dilombakan sebagai burung kicau. Semakin banyak jenis burung diburu untuk dipelihara dan diperjualbelikan.

Bagaimana dampaknya bagi lingkungan?

Masalah perdagangan burung puncaknya sekitar 2013-2018 di mana menjadi masa pengambilan burung terbanyak dari hutan. Kondisi sebelumnya tidak separah itu. Seperti burung kacamata (Zosteropidae) sebelumnya masih sering ditemui di hutan, sekarang sudah jarang.

Tentu saja kondisi ini memicu ketidakseimbangan ekosistem. Ekosistem berubah, pola rantai makanan di alam juga ikut berubah. Seperti ledakan populasi burung pipit yang dianggap sebagai hama pertanian. Padahal salah satu penyebabnya karena tidak adanya predator burung pipit (Estrildidae) di alam bebas, sehingga populasi mereka tidak terkontrol.

Bagaimana awal keterlibatan Anda dalam pembuatan buku “Atlas Burung Indonesia”?

Atlas burung merupakan sebuah inisiatif yang dibentuk saat pandemi pada 2020. Awalnya, pada tahun 2013 ada pertemuan para pengamat burung di Malang yang menyepakati pembuatan atlas burung. Setelah tertunda selama 7 tahun, akhirnya rencana itu dapat terwujud.

Saat ini terdapat 713 spesies burung dari 1.794 total spesies burung di Indonesia yang terdeskripsikan secara spasial di buku ini. Ini menjadi kebanggaan tersendiri karena Indonesia menjadi satu-satunya negara di wilayah regional Asia tropis yang memiliki buku “Atlas Burung”. Atlas burung merupakan produk buku yang data utamanya diperoleh dari sumbangsih banyak pengamat burung Indonesia melalui aplikasi Burungnesia.

Apa kelebihan aplikasi Burungnesia?

Burungnesia adalah aplikasi yang memudahkan pengamat burung untuk mencatat dan mengelola data mereka selama di lapangan. Sebelum terciptanya aplikasi Burungnesia, data penting pengamat hanya tertulis dalam catatan pribadi mereka. Catatan itu bisa hilang, bahkan tidak terpublikasi. Aplikasi Burungnesia ini menyimpan catatan mereka dalam basis data digital. Semua orang juga dapat mengunduh aplikasi ini untuk mengakses informasi tentang ratusan spesies burung di Indonesia.

Bagaimana teknologi membantu kerja para pengamat burung?

Teknologi sangat penting di zaman yang serba praktis. Seperti teknologi telepon pintar yang sudah menjadi kebutuhan kita mengakses informasi dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita mampu membangun integrasi penyimpanan data yang terkoneksi dengan baik, semua pengamat burung dapat terhubung untuk memudahkan pendataan.

Bagaimana dengan upaya pemerintah dalam perlindungan burung di Indonesia?

Saya melihat adanya upaya penegakan hukum bagi pelaku perdagangan burung, khususnya spesies yang dilindungi, dalam beberapa tahun terakhir. Sayangnya, ada beberapa spesies burung yang terancam punah tetapi statusnya tidak dilindungi.

Misalnya, burung cucak rowo (Pycnonotidae zeylanicus) yang saat ini sudah punah di Jawa. Juga burung paruh bengkok dari Papua dan Maluku yang masih menjadi hewan peliharaan. Perburuan burung-burung ini terjadi dan para pelaku bebas dari konsekuensi hukum.

Sampai kapan Anda akan mengabdikan diri untuk konservasi burung di Indonesia?

Saya tidak tahu pasti. Kalau bukan kami yang pasang badan, siapa lagi yang akan melindungi burung-burung yang terus diburu dan diperjualbelikan. Tidak banyak orang yang tergerak hatinya untuk melindungi burung-burung yang tersisa di Indonesia. Keanekaragaman spesies burung yang indah dan unik di negeri kita terancam punah jika tidak dijaga bersama.

About the writer

Abdus Somad

Abdus Somad, born in Karangasem, Bali, 27 years ago. He plunged into journalism by joining Axis Student Press at Ahmad Dahlan University, Yogyakarta. After graduating from college in 2018, he worked as...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.