Trend Asia menilai penggunaan co-firing tidak memberi dampak signifikan pada pengurangan emisi.

Pemerintah Indonesia menjadikan co-firing biomassa sebagai satu dari empat strategi untuk mereduksi emisi karbon, namun, pengadaan lahan untuk kebutuhan bahan baku biomassa tersebut dikhawatirkan menimbulkan deforestasi hingga tujuan utama substitusi energi tersebut diragukan dapat tercapai.

Co-firing merupakan teknologi subsitusi batu bara pada rasio tertentu, dengan bahan biomassa seperti wood pellet (pelet kayu), cangkang sawit, dan sawdust (serbuk gergaji). 

Dengan memanfaatkan 10,2 juta ton biomassa untuk 52 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan batu bara di tahun 2025, program ini ditargetkan menyumbang 3,5 persen bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT), dan menekan emisi karbon sebesar 11 juta ton CO2 dan gas rumah kaca tiap tahunnya.

Hingga Mei 2022, sebanyak 32 PLTU tercatat telah menerapkan teknologi co-firing dan memproduksi listrik hijau setara 487 MegaWatt hours (MWh). Penerapan itu disebut berdampak menurunkan emisi karbon sebesar 184 ribu ton CO2 dan gas rumah kaca per April 2022.

Namun, jalan untuk mencapai target tersebut tidak bisa dibilang sederhana. Mumu Muhajir, peneliti Trend Asia menilai, penggunaan co-firing tidak memberi dampak signifikan pada pengurangan emisi. 

Pemerintah hanya membuat perhitungan dari pengurangan penggunaan batu bara pada PLTU, tanpa mempertimbangkan terjadinya deforestasi untuk memenuhi kebutuhan lahan bahan baku co-firing tersebut.

Berbicara dalam webinar “Membedah Transisi Energi Indonesia dan Co-firing untuk Pemenuhan Kebutuhan PLTU” yang diselenggarakan SIEJ dan Ekuatorial pada Sabtu (3/12/2022), Mumu mengatakan untuk 10% co-firing biomassa di 52 PLTU membutuhkan pelet kayu sebesar 10,2 juta ton per tahun. 

Dengan persentase tersebut, perlu setidaknya 2,6 juta hektar lahan eukaliptus, 2,7 juta hektar akasia, dan 1,9 juta hektar Kaliandra merah.

Sementara, jika diterapkan di dalam kawasan hutan, lahan yang dibutuhkan diperkirakan akan semakin besar. Dia merinci, untuk 10 persen co-firing, tanaman akasia membutuhkan 3,8 juta hektar, kaliandra 2,8 juta hektar, dan eukaliptus 3,7 juta hektar.

Perluasan itu berpotensi terjadi karena, masih menurut Mumu, pengusaha di sektor Hutan Tanaman Industri (HTI) hanya mampu mengalokasikan 71 persen lahannya untuk Hutan Tanaman Energi (HTE). 

Ketidakmampuan penyediaan lahan itu dikhawatirkan berdampak pada deforestasi, atau apa yang ia sebutkan sebagai hilangnya tutupan hutan karena menjadi areal tutupan non-hutan secara permanen.

Indonesia belum punya satu kebijakan yang clear, mana lahan untuk energi dan mana untuk pangan.

Mumu Muhadjir, peneliti Trend Asia

Dampak lanjutan hilangnya hutan alam tadi diperkirakan menghasilkan emisi yang cukup mengkhawatirkan. Berdasarkan kalkulasi Trend Asia, total stok emisi hutan alam HTE gamal mencapai 979 juta ton CO2e, diikuti akasia 489 juta ton CO2e, dan eukaliptus 469 juta ton CO2e.

“Kita disuruh mengurangi emisi pada 2030, pada kenyataannya kita malah menambah emisi,” kata Mumu.Program co-firing juga disebut hadir di tengah kusutnya tata kelola lahan di Indonesia. Mumu menilai, berdasarkan pengalaman, pemerintah cenderung memberikan lahan di ruang-ruang produktif masyarakat.

Karenanya, pembukaan lahan untuk kebutuhan bahan baku co-firing dikhawatirkan menimbulkan kompetisi lahan untuk energi dan pangan.

“Indonesia belum punya satu kebijakan yang clear, mana lahan untuk energi dan mana untuk pangan. Sehingga merugikan kedua pihak juga,” ujar Mumu.

Persoalan lainnya, adalah pemanfaatan biomassa yang meningkat dari 9.371 ton pada 2009 menjadi 282.000 ton di tahun 2021 dan ini  juga diikuti peningkatan konsumsi batu bara dari 66 juta ton pada 2020 menjadi 68 juta ton pada 2021.

Bagi Mumu, proyeksi transisi energi dan pemanfaatan energi terbarukan, seharusnya ditindaklanjuti dengan komitmen mengurangi konsumsi energi fosil.

“Tidak ada gunanya ngobrolin soal menaikkan volume renewable energi kalau konsumsi energi fosil tetap naik. Karena CO2 yang dihasilkan dari batu bara itu jauh lebih besar ketimbang pengurangan energi apapun yang dilakukan renewable energi,” pungkas Mumu.

About the writer

Themmy Doaly

Themmy Doaly has been working as Mongabay-Indonesia contributor for North Sulawesi region since 2013. While in the last nine years he has also been writing for a number of news sites in Indonesia, including...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.