Kelompok transpuan alami dampak berlapis akibat polusi udara. Banyak yang tinggal di dekat sumber polusi dan tidak memiliki kemampuan penanganan yang baik.
Suhu menunjukkan angka 33 derajat Celcius. Panas menyeruak hingga ke dalam indekos berukuran 2×2 meter persegi di daerah Jakarta Utara. Lily, bukan nama sebenarnya, si penghuni indekos kegerahan dan ia berulang mengibaskan tangannya ke arah wajah.
Hari itu, Lily sedang bersiap-siap untuk melakukan rutinitasnya mengamen.
Dia melangkah kaki ke arah lemari kecil yang berada di sudut kamarnya dan perlahan mengeluarkan perlengkapan hiasnya.
Jemarinya piawai merias wajah dengan bedak, kemudian menggambar alis, memakai bulu mata, dan mewarnai bibirnya dengan lipstik berwarna merah terang.
Setelah selesai merias mukanya, ia pun menata rambutnya membentuk cepolan sederhana lalu menjepitnya dengan jedai. “Sehari-hari saya melakukan ini,” ujar Lily kepada Konde.co saat ditemui 10 Januari 2023.
Lily merupakan anak ke 13 dari 16 bersaudara. Ia seorang transpuan asal Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang harus ‘hijrah’ ke Jakarta pada 2013 untuk memperoleh penghasilan. Lily berkeliling mengamen dari pukul 12.00 hingga 17.00 WIB.
Saat penghasilan dari mengamenya tak mencukupi, ia pun mesti bekerja lagi pada malam harinya sebagai pekerja seks. “Aku beberapa kali pernah pergi seharian ngamen, udah keluar modal ongkos, tapi pulang gak bawa uang sama sekali,” ucapnya.
Selama melakoni rutinitas mengamen, Lily rata-rata dapat memperoleh pendapatan sebulan sebesar Rp1,7 juta. Hasil itu digunakkannya Rp 500.000 untuk membayar kos, sebesar Rp500.000-Rp600.000 dikirimnya kepada ibunya di kampung dan sisanya untuk kebutuhan makan, ongkos bekerja, sewa mini speaker, beli sabun, hingga alat merias wajah.
Penghasilan minim itulah mengapa Lily harus kerap meminjam uang teman sesama transpuan dan siklus ini terus berulang.
Ia berangkat dari Stasiun Duri dan perjalannya selama 30 menit akan membawanya ke Tangerang. Selama perjalanan, Lily melalui beberapa rute, seperti Stasiun Grogol, Pesing, Taman Kota, Bojong Indah, Rawa Buaya, Kalideres, Poris, Batu Ceper, Tanah Tinggi, barulah Tangerang sebagai perhentian terakhir. Lily menghitung waktu tempuh selama 30 menit, ia tiba pukul 14.49 WIB.
“Panas banget hari ini. Sembari nunggu Ashar selesai dulu, baru ngamen dan joget-joget,” kata Lily kepada Konde.co ketika jam sudah hampir menunjukkan pukul 15.00. Menurutnya, tidaklah etis mengamen apalagi joget-joget ketika orang sedang beribadah.
Siang yang kian terik membuat keringat di wajahnya mengucur. Sesekali ia harus mengelapnya dengan tisu agar riasannya tidak luntur. Beberapa kali terdengar suara napasnya pendek-pendek.
“Aku tuh sekarang suka sesak napas, kalau napas tuh suka ngos-ngosan kayak orang ngorok,” ujar Lily.
Dia mengaku pekatnya polusi udara terkadang membuatnya tak tahan bergelut dengan pekerjaannya. Lily juga mengidap hipertensi.
“Saya punya sakit yang harus dicek sebulan sekali, punya penyakit darah tinggi yang harus minum obat setiap hari. Punya vertigo dan sering radang tenggorokan juga,” ujarnya.
Tak cukup dengan beristirahat, ia diharuskan pergi ke dokter untuk memeriksakan kondisi tubuh. Ia diminta untuk meminum beberapa jenis obat, seperti Paracetamol kaplet 500 mg, Dexamethasone tablet 0,5mg, Amlodipine Besilate tablet 10 mg, dan Metformin HCL 500 mg.
Dikutip dari situs Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Paracetamol merupakan obat yang biasa dikonsumsi untuk meredakan demam, nyeri ringan, sakit kepala, termasuk pegal-pegal dan flu. Sementara Dexamethasone adalah jenis obat untuk alergi, radang sendi, dan autoimun.
Amlodipine Besilate merupakan obat untuk hipertensi, dan Metformin HCL adalah obat antidiabetes atau untuk mengendalikan kadar gula dalam darah.
Sebelum punya kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Lily harus merogoh kocek sebesar Rp110.000,- per bulan untuk pergi berobat dan menebus obat khusus hipertensi.
“Setelah punya BPJS, sekarang cukup bayar ongkos transport saja kalau periksa,” ujar Lily yang baru memiliki kartu BPJS Kesehatan pada tahun 2021.
Kondisi yang tak jauh berbeda juga dirasakan Lina, juga bukan nama sebenarnya. Lina merupakan transpuan asal Aceh yang bermigrasi ke ibukota karena dipaksa keluar dari Aceh.
Pada 2014, Lina yang saat itu bekerja sebagai pekerja seks, terkena razia di sebuah gedung kos saat melakukan pekerjaannya. Pintu kos yang ia tempati, digedor orang tak dikenal. Dalam hitungan detik, Lina diseret ke luar rumah, diarak ke salah satu pos kampung yang tak jauh dari tempat tinggalnya.
“Seperti lautan manusia,” kenang Lina yang mengaku tidak bisa melupakan peristiwa itu saat ditemui Konde.co pada 24 November 2022. Sepanjang jalan, Lina mengaku mengalami kekerasan fisik. “Aku dipukul, dijambak, dibotak. Aku diarak telanjang, aku disiram air got,” imbuhnya.
Tertekan dengan amukan massa, Lina dengan berat hati terpaksa menandatangani surat pernyataan bahwa ia tidak akan melakukan hal serupa di Aceh atau akan dihukum menurut Qanun — dicambuk di depan umum.
Merantau ke Jakarta tak pernah terlintas dalam pikiran Lina.
Perubahan terbesar yang ia rasakan berkenaan dengan kondisi kesehatannya. Setelah di Jakarta, Lina mulai sesak napas. Ia mengaku polusi udara Jakarta membuatnya tak mudah memperoleh penghasilan dengan maksimal.
Saat bekerja, ia harus menggunakan masker dan merias wajahnya berulang kali. Tanpa itu, ia akan didera batuk dan wajahnya menjadi kusam. “Belum lagi tambahan iklim yang sekarang sudah merajalela panasnya. Polusinya ntah kek mana-mana,” ujarnya.
Kondisi itu pula membuatnya gampang sakit. Ia pernah mengalami flu berat. Saat itu, Lina yang belum memiliki kartu BPJS Kesehatan membeli obat di apotek dekat tempatnya tinggal di bilangan Jakarta Barat.
“Harus keluarkan uang sendiri saat itu,” katanya. Sadar akan pentingnya BPJS bagi kesehatannya, ia mengurus program layanan kesehatan itu bersama transpuan lain, ”BPJS sudah punya sekarang,” lanjutnya.
Meskipun bekerja malam, kata Lina, bukan berarti polusi lenyap. Ia bahkan masih merasakan buruknya udara Jakarta.
Misalnya, saat berada di Taman Lawang kondisi dinilai agak lebih membaik, tetapi di luar taman terkadang membuatnya kepanasan. Terlebih lagi aktivitas pembangunan di wilayah DKI Jakarta dilakukan pada malam hari. Debu jalan, menurut Lina bertebaran lantas terhirup olehnya.
“Aku merasakan kok sekarang dikit-dikit tenggorokan gatal. Keluar pun seperti susah bernapas,” ujarnya.
Untuk menjaga stamina tubuhnya, Lina menganggarkan ratusan ribu tiap bulannya untuk membeli vitamin dan suplemen. Obat itu ia minum saban beraktivitas untuk menjaga kesehatannya.
Tanpa itu ia berasa pesakitan saban bekerja di luar ruangan. “Mau tidak mau harus beli suplemen dari pada bengek aku,” ujar Lina sembari menunjukkan kotak kesehatan miliknya.
Kondisi yang dialami Lily dan Lina diamini oleh Mama Atha, ketua sekaligus inisiator Sanggar Seroja-sebuah komunitas berbasis transpuan di wilayah Jabodetabek.
Mama Atha menyampaikan bahwa kelompok transpuan memang tidak dapat dipisahkan dari polusi dan dampaknya. Menurutnya, transpuan di ibukota mengalami beban ganda. Pertama, harus mencari biaya penghidupan, kedua harus tetap sehat demi pekerjaan yang dilakoni mereka.
“Sanggar Seroja kemudian peduli dengan rekan-rekan transpuan terutama yang mengamen, mereka kepanasan, sering terkena flu, pilek, kakinya sakit, atau masalah kesehatan di kulit. Jadi Sanggar Seroja mengharuskan setiap transpuan punya BPJS Kesehatan untuk berobat,” kata Mama Atha.
Pembuatan BPJS Kesehatan kemudian mulai digencarkan pada 2021. Saat itu bertepatan dengan upaya pemerintah memulai langkah menggalakkan program KTP untuk transgender di sejumlah daerah.
Tak ingin menyiakan pembuatan KTP, Sanggar Seroja mendaftarkan transpuan pada program BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan.
Langkah lain, Sanggar Seroja mulai memperjuangkan agar pembayaran BPJS bagi transpuan digratiskan melalui program Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan yang diperuntukkan bagi fakir miskin dan orang tidak mampu.
Itu dilakukan mengingat pendapatan dari mengamen yang sangat rendah sementara transpuan sangat rentan sakit. “Rata-rata anggota Sanggar Seroja punya BPJS Kesehatan, dan kita ajukan yang gratis untuk anggota kami,” ujarnya.
Konde.co mencoba menghubungi Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukhti melalui WhatsApp. Namun hingga tulisan ini tayang, Ali belum memberikan tanggapan.
Terperangkap di tengah polusi udara Jakarta
Pengalaman Lina dan Lily merupakan bagian gambaran dari lika-liku hidup transpuan di Jakarta. Suara Kita, sebuah organisasi yang fokus di isu pemenuhan hak dasar transpuan, mengemukakan terdapat 1.889 transpuan di wilayah DKI Jakarta.
Sementara itu, Sanggar Seroja mencatat setidaknya terdapat 25 anggota terdampak polusi udara. Menurut Mama Atha, kondisi itu juga tidak terlepas dari dampak perubahan iklim dan anomali cuaca.
“Misalnya kadang hujan, tiba-tiba panas. Ini efek perubahan iklim, kita tak bisa menebak cuaca. Ini tidak bisa diprediksi. Kemarin juga hujan, panas, hujan, panas, menimbulkan batuk dan flu. Saat ini aja panasnya membakar, sebelumnya tiba-tiba dingin sekali,” ungkap Atha.
Tak dipungkiri, Jakarta sebagai ibukota Indonesia menjadi daerah kota berpolusi terburuk. Data World Air Quality sepanjang 4 tahun belakang mengkonfirmasi hal itu.
Pada 2018, Jakarta menempati peringkat 10 kota dengan polusi terburuk di dunia dengan konsentrasi PM2,5 tertinggi. Di kawasan Asia Tenggara, Jakarta juara pertama. Pada 2019, Jakarta naik peringkat jadi peringkat kelima di dunia, tetapi di kawasan Asia Tenggara, Jakarta turun peringkat dengan menempati urutan kelima.
Selanjutnya pada 2020, Jakarta peringkat ke-9 di dunia, dan peringkat ketujuh di kawasan Asia Tenggara. Pada 2021, Jakarta menempati peringkat ke-12 di dunia, tetapi naik peringkat di kawasan Asia Tenggara menjadi peringkat keenam.
Sepanjang 4 tahun itu, udara Jakarta diduga tercemar kandungan konsentrasi PM2,5 berkali-kali lipat melebihi ambang batas standar ambien tahunan nasional Indonesia sebesar 15 μg/m3 dan pedoman terbaru WHO untuk standar ambien tahunan yaitu 5μg/m3.
WHO menyatakan paparan partikulat halus PM2.5 lebih dari 25 μg/m3 selama 24 jam sudah berbahaya bagi kesehatan manusia.
Untuk diketahui, PM2,5 adalah jenis partikulat halus berukuran kurang dari 2,5 mikron, jauh lebih kecil dari diameter helaian rambut manusia sebesar 50-70 mikron. Itu sebabnya cemaran PM2,5 dapat dengan mudah masuk ke paru-paru tanpa tersaring oleh sistem pernapasan atas.
Untuk memperoleh gambaran utuh dampak polusi udara, Konde.co mengonfirmasi kepada Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia (PDPI) dokter Agus Dwi Susanto pada 19 Januari 2023.
Menurutnya, setidaknya ada empat polutan terpenting yang sangat berbahaya dan terkandung dalam udara di wilayah urban yakni; Particulate Matter (PM), Ozone, Nitrogen Oxide (NOx), dan Sulfur Dioxide (SOx).
Udara yang mengandung PM 2,5 menyebabkan iritasi, peradangan sistemik, kerusakan saraf, dan penyakit karsinogenik. PM 2,5 yang bersumber dari asap pembakaran mereduksi kadar oksigen dalam udara.
Akibatnya, polusi karena kandungan PM 2,5 menyebabkan 47 persen kasus infeksi paru, kanker paru, dan asma, di seluruh dunia.
Penyakit kardiovaskular juga mengintai para pekerja yang terpapar polusi udara secara berkala. Kata Agus, PM 2.5 menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Akibatnya, seseorang lebih rentan mengalami risiko penyakit pembuluh darah termasuk hipertensi seperti yang dialami transpuan.
Dia mengingatkan, jika kondisi ini tak ditangani dengan baik, maka penyakit penyempitan pembuluh darah dan hipertensi bisa berkembang menjadi penyakit jantung.
“Masih ada 34 persen penyakit jantung koroner dan stroke itu terkait dengan polusi,” ujar Agus dalam konferensi pers yang diselenggarakan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), 19 Januari 2023.
Ginanjar Syuhada, peneliti Vital Strategies — organisasi yang bergerak di bidang kesehatan publik, juga mengungkapkan korelasi antara polusi udara dan kesehatan.
Ia menyatakan, PM2,5 dapat mengakibatkan kerusakan oksidatif dan peradangan sistemik. Semakin kecil ukuran partikulat, semakin dalam PM2,5 dapat tersimpan di dalam paru-paru maupun diangkut sampai ke organ-organ lain, seperti jantung, otak, dan plasenta.
“Akibatnya peningkatan risiko berbagai penyakit kronis, seperti penyakit kardiovaskuler dan pernapasan, kanker, diabetes, kondisi kelahiran dan kesehatan anak yang buruk, yang berdampak pada terganggunya well-being dan produktivitas sepanjang hayat, hingga kematian,” ujarnya melalui surel pada Konde.co, 5 Januari 2023.
Menurut Ginanjar, Lily dan Lina tak diuntungkan dalam situasi seperti ini. Mereka terdesak diskriminasi dan sulit memperoleh kebutuhan ekonomi. Akibatnya mereka terpaksa merantau ke Jakarta, salah satu kota dengan polusi udara terburuk di dunia.
Kabar buruk lain, lanjut Ginanjar, dampak polusi udara yang mereka alami akan lebih berat dibanding orang lainnya. Seperti, frekuensi dan intensitas paparan terhadap polusi udara yang tinggi karena selalu bekerja di luar ruangan, tinggal di lokasi dekat sumber emisi.
Mereka juga mengalami diskriminasi dan stigma yang membuat mereka dipinggirkan secara historis, atau dengan kata lain diliyankan. Ditambah, menurut Ginanjar, tidak adanya jaring pengaman seperti asuransi kesehatan, membuat transpuan sangat berisiko mengalami dampak terburuk polusi udara.
“Transpuan rentan terkena dampak polusi udara, baik dari sisi kesehatan maupun ekonomi, karena ketika kesehatan mereka terganggu, produktivitas mereka turut terdampak karena tidak bisa mencari nafkah,” ujarnya.
Beberapa penelitian di Amerika Serikat 1] 2] 3], kata Ginanjar, menunjukkan bahwa kelompok LGBT terdampak secara lebih signifikan dalam isu kesehatan lingkungan seperti polusi udara, sebagai bagian dari dampak perubahan iklim.
“Seperti tingginya angka kasus penyakit kronis yang dikaitkan dengan polusi udara di kalangan LGBTQ+ seperti penyakit pernapasan, kanker, juga gangguan hormon,” jelasnya.
Kerentanan ekonomi juga membuat transpuan kesulitan memasuki sektor formal, sehingga membuat mereka tidak memiliki perlindungan yang memadai di lingkungan kerja.
Termasuk, risiko bahaya atas keselamatan dan kesehatan kerja, sebagaimana diatur dalam UU No. 1/1970 Tentang Keselamatan Kerja, UU No. 23/1992 Tentang Kesehatan, UU No. 3/1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, maupun PP No. 7/2019 Tentang Penyakit Akibat Kerja.
“Akhirnya, mereka terpaksa harus melindungi diri mereka sendiri, dengan segala keterbatasan sumber daya yang mereka miliki,” imbuhnya.
Ginanjar menekankan, kerentanan kelompok transpuan terhadap dampak kesehatan maupun ekonomi dari polusi udara bisa dikurangi. Pemerintah antara lain, bisa membuka akses layanan kesehatan gratis, pemberitahuan informasi polusi udara bagi kelompok yang sulit mengakses informasi polusi udara.
Hal itu agar kelompok termarjinalkan termasuk transpuan mendapatkan perlindungan dan jaminan dari pemerintah. Hal lain yang bisa dilakukan pemerintah, kata Ginanjar, adalah bermitra dengan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang bergiat di isu minoritas seksual, khususnya di tingkat akar rumput.
“Dengan begitu, pemerintah dapat menjangkau kelompok transpuan yang selama ini tak tersentuh sosialisasi program-program jaminan sosial pemerintah, mendengar langsung aspirasi mereka, dan mengembangkan kebijakan inklusif agar hak-hak mereka akan pelayanan kesehatan dan jaminan sosial dapat terpenuhi.”
Senada dengan Ginanjar, Cynthia Maharani, selaku Gender, Equity and Social Inclusion Lead di WRI Indonesia menyatakan bahwa kelompok rentan, dalam hal ini transpuan, perlu menjadi subjek dalam upaya perbaikan kualitas udara Jakarta.
Sebabnya, mayoritas kelompok rentan tinggal di dekat sumber polusi sehingga paling terdampak polusi udara. Mereka juga tidak memiliki kemampuan mekanisme penanganan yang baik karena peminggiran secara struktural.
Pengalaman-pengalaman tersebut, menurut Cynthia dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman sistem atas konteks lokal.
“Mengetengahkan pelibatan komunitas rentan dapat membantu pemangku kepentingan untuk mempertimbangkan solusi dan sumber daya yang lebih responsif dan tepat secara kultural sesuai dengan kebutuhan komunitas tersebut,” jawabnya melalui surel pada 13 januari 2023.
Baca juga:
Liputan ini diproduksi dengan dukungan dari Internews’ Earth Journalism Network melalui program Clean Air Catalyst (Catalyst), yang merupakan program unggulan yang diluncurkan oleh U.S Agency for International Development (USAID) dan dipimpin oleh kemitraan global berbagai organisasi termasuk World Resources Institute dan Environmental Defense Fund dan Internews. Liputan ini pertama kali terbit di Konde.co pada tanggal 31 Januari 2023