Setidaknya 70 persen sungai di Jakarta tercemar berat. Peneliti juga temukan kualitas air tanah di kota besar sama buruknya dengan air sungai.

Tulisan ini bagian terakhir dari seri liputan Kompas tentang cemaran logam berat di Jakarta yang didukung AJI Jakarta dan Internews EJN.

Air bersih menjadi ”barang mewah” di Jakarta, terutama bagi masyarakat berekonomi lemah yang sebagian di antaranya tinggal di bantaran sungai. Air bersih dibeli untuk menghindari cemaran sungai yang mengancam air tanah di rumah warga.

Rumah boleh bedeng berangka kayu berlapis tripleks, tetapi untuk minum, keluarga Rakilah memilih gaya hidup elite. Keluarga yang telah 30 tahun menetap di tanah garapan, pinggir Kali Buaran, Kelurahan Jatinegara, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, itu membeli air minum galon bermerek selama beberapa tahun terakhir, setelah beralih dari air isi ulang.

”Dulu sempet lama pakai air galon isi ulang. Tapi, kadang ada binatang kecil, terus suka berlumut. Sekarang jadinya beli air bermerek. Enggak apa-apa mahal, yang penting sehat,” kata kepala keluarga itu, Rakilah (45), saat ditemui pada Selasa (15/8/2023).

Baca bagian pertama: Menguji kandungan logam berat air sungai Jakarta

Lima anggota keluarga Rakilah menghabiskan satu galon air bermerek setiap tiga atau empat hari. Pengeluaran untuk membeli air minum maksimal Rp 200.000 per bulan, lebih mahal daripada maksimal Rp 50.000 biaya yang dikeluarkan untuk membeli galon air isi ulang.

Pengeluaran ini harus dipenuhi kendati Rakilah dan istrinya memiliki pekerjaan serabutan untuk menafkahi anggota keluarga lainnya. Rakilah baru-baru ini bahkan nyaris menganggur karena tidak lagi bisa menggarap kebun sayur warga di dekat rumahnya. Pekerjaannya hilang setelah pemilik tanah memutuskan membangun perumahan.

Dulu sempet lama pakai air galon isi ulang. Tapi, kadang ada binatang kecil, terus suka berlumut. Sekarang jadinya beli air bermerek. Enggak apa-apa mahal, yang penting sehat.

Rakilah

Ketika uang hampir habis, keluarga itu kadang terpaksa memasak air dari sumur bor mereka untuk minum. Air pompa, yang menyumbang tagihan listrik hingga Rp 150.000 per bulan itu, menjadi sumber air bersih keluarga.

Air itu biasanya dipakai untuk mandi dan cuci.”Kita tutup sumur timba tahun 1998 karena airnya berbau dan lama-kelamaan berkerak. Setelah bikin sumur bor kedalaman 13 meter, kita dapat air yang lebih bagus,” katanya.

Bagaimanapun, mereka masih meragukan kebersihan air tanah mereka. Apalagi, air tanah itu dekat dengan aliran kali yang keruh kehijauan, terimpit rumah-rumah penduduk, tempat usaha, hingga tempat pembuangan sampah.

Mayoritas warga di daerah aliran Kali Ciliwung di RW 007 Kelurahan Cideng, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, juga tidak mengandalkan air tanah untuk kebutuhan minum mereka. Sebagian warga di permukiman padat itu membeli air isi ulang atau air galon bermerek untuk minum.

”Di sini air PDAM (perpipaan perusahaan daerah air minum) enggak masuk, makanya warga pakai sumur bor. Untuk minum atau masak, rata-rata beli air lagi,” kata salah satu warga setempat, Sinta Maryana (37).

Sinta bahkan juga membeli air bersih untuk mengisi drum air masak beberapa hari sekali. Air itu dibeli dari pedagang air pikul seharga Rp 10.000 per dua jeriken. Alternatif itu dipilih karena ia ragu dengan kualitas air tanah yang berbatasan dengan sungai persis di belakang rumahnya.

Baca bagian kedua: Jejak logam berat di sungai Jakarta

Di Kelurahan Grogol Utara, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, warga yang tinggal berbatasan dengan Kali Grogol juga meragukan kualitas air tanah mereka jika untuk dipakai minum dan masak.

Indarti, pengurus RT 002 RW 014, mengatakan, air sumur bor di tempat mereka sering mengeluarkan kotoran berwarna hitam. ”Mirip kali di sebelah rumah kami yang warnanya hitam,” katanya. Walhasil, untuk minum, warga membeli air isi ulang atau air bermerek.

Ancaman cemaran

Keraguan warga bantaran kali di Jakarta terhadap air tanah mereka, secara ilmiah, pernah dibuktikan penelitian hidrogeologi. Salah satu peneliti dari Institut Teknologi Bandung, Dasapta Erwin Irawan, menemukan, kualitas air tanah di kota besar sudah sama buruknya dengan air sungai.

Temuan itu ia dapat dari penelitiannya di beberapa sungai di Pulau Jawa, termasuk Sungai Ciliwung di Jakarta. Menurut penelitiannya sejak 2014, kadar zat padatan terlarut atau total dissolved solids (TDS) di air tanah sudah sama tingginya dengan air sungai. Padatan terlarut itu bisa mengandung unsur kimiawi hingga organik, termasuk bakteri dan virus.

”Kontur tanah dan sungai di kota urban itu berkategori zona loosing stream (kehilangan air). Air sungai lebih banyak meresap ke dalam akuifer jadi air tanah. Ini terjadi di daerah yang morfologinya datar, seperti Bekasi dan Jakarta,” ujarnya saat dihubungi pada Rabu (12/7/2023).

Potensi ini bisa mengancam air tanah karena sungai di Jakarta sudah tercemar berat, menurut Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta. Data 2018-2022 menunjukkan, sekurangnya 70 persen sungai tercemar berat. Sumber cemaran terbesar adalah bahan biologi koliform fekal, yaitu bakteri yang ditemukan di feses.

Potensi masuknya air sungai ke badan air tanah bisa meningkat dengan tingginya penyedotan air tanah dangkal, khususnya di bantaran kali. ”Sumur pompa, kan, menyedot air. Dengan debit yang terus bertambah, air yang terisap bisa bukan hanya air tanah, air sungai di sekitarnya pun bisa masuk,” katanya.

Secara regulasi, pemerintah pusat dan daerah tidak membatasi penggunaan air tanah dangkal dari kedalaman kurang dari 40 meter. Kendati demikian, untuk keperluan minum, Survei Sosial Ekonomi Nasional 2022 mencatat, hanya ada 15,33 persen rumah tangga Jakarta yang mengonsumsi air tanah.

Sebanyak 76,66 persen rumah tangga menggunakan air minum bermerek, meningkat dibandingkan dengan hanya 36,98 persen rumah tangga pada 2021. Posisi berikutnya ditempati air isi ulang, yang sampai 2021 digunakan 34,22 persen rumah tangga.

Kebutuhan air bersih selain air tanah pun masih disuplai secara terbatas oleh Perusahaan Umum Daerah Air Minum Jaya (PAM Jaya). Sampai saat ini ada sekitar 900.000 pelanggan yang mendapat layanan air perpipaan.

Angka itu baru sekitar 66 persen dari target 100 persen cakupan sampai dengan 2030. Jaringan pipanisasi itu pun masih terbatas sampai ke 107 kelurahan di Jakarta yang berada di bantaran sungai.

Dengan ini, warga bantaran sungai belum terbebas dari ancaman pencemaran air dan terkurasnya dompet karena masih harus membeli air bersih.


Liputan ini merupakan bagian dari program fellowship Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta atas dukungan Earth Journalism Network (EJN) dan pertama kali terbit di Kompas pada tanggal 23 September 2023.
About the writer

Erika Kurnia is a dynamic journalist based in Jakarta, with more than five years of experience in online and daily newspaper media. She is experienced in writing about health, economic and metropolitan...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.