Manurut DLH DKI Jakarta 70 persen air sungai tercemar berat. Intrusi air sungai yang mengandung zat berbahaya kini turut mencemari air tanah.

Tulisan ini bagian pertama dari seri liputan Kompas tentang cemaran logam berat di Jakarta yang didukung AJI Jakarta dan Internews EJN.

Status kualitas air sungai, menurut data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta 2018-2022, 70 persen tercemar. Kompas melakukan uji mandiri di tujuh titik sungai, yaitu Drainase Cengkareng, Sungai Cipinang, Sungai Buaran, dua lokasi Sungai Ciliwung, Kali Item, dan Sungai Grogol. Sampel air sungai diambil dalam kurun waktu 25 Juli-15 Agustus 2023.

Kompas juga meneliti air tanah di tujuh lokasi sungai. Ini bertujuan untuk menemukan kesamaan kualitas air sungai dan air tanah bantaran kali.

Sampel air tanah diambil pada jarak maksimal 10 meter dari pinggir sungai. Air tanah itu berasal dari sumur bor dengan kedalaman 13 meter hingga 30 meter. Adapun satu sampel air tanah di dekat Drainase Cengkareng diambil dari sumur gali dengan kedalaman kurang dari 10 meter.

Hasilnya menunjukkan, logam berat seng, tembaga, dan timbal nyaris tidak terdeteksi di air sungai maupun air tanah di tujuh lokasi di atas. Hanya ada satu sampel air tanah di dekat Sungai Cipinang yang terdeteksi mengandung seng 0,0215 mg/l. Namun, ini pun masih di bawah baku mutu.

Pemerintah sebenarnya ingin mendorong agar masyarakat tidak pakai air tanah sebagai cadangan air. Solusinya pakai jaringan pipa. Kalau masyarakat bisa dapat air leding gratis, pasti bisa pindah dari air sumur yang pakai listrik.

Rachmat Fajar Lubis, BRIN

Mulai 2023, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta memeriksa air tanah dengan parameter air keperluan higiene dan sanitasi yang ditentukan di Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 2 Tahun 2023, pengganti Permenkes No 32/2017.

”Sumber pencemaran lebih banyak domestik dari unsur biologi, seperti e-coli dan koliform,” kata Koordinator Subkelompok Pemantau Kualitas Lingkungan DLH DKI Jakarta, Rahmawati, di Jakarta, Selasa (8/8/2023).

Sementara status kualitas air tanah, dari pemantauan DLH DKI Jakarta juga terbilang kurang aman. Sebagian air tanah telah terkontaminasi cemaran mikrobiologi yang tinggi. Pencemaran air tanah umumnya juga karena bahan biologi koliform yang disebabkan aktivitas masyarakat membuang kotoran.

”Biasanya ini, karena dekatnya jarak air tanah dari sumber pencemaran, seperti tangki septik di beberapa kawasan permukiman padat yang dekat dengan air sumur,” ujar Rahmawati.

Adapun data hasil pemantauan itu belum bisa menjelaskan kualitas air tanah di bantaran sungai.

“Sejauh ini kami belum secara spesifik melakukan kajian kualitas air sungai dan air tanah. Mungkin ke depan harus mencari, mengidentifikasi lebih dalam lagi parameter-parameter yang bisa mempengaruhi kualitas air sungai dan air tanah, sehingga bisa kita kaji lebih dalam lagi,” katanya.

Baca juga: Menelisik kontaminasi logam berat pada ikan tenggiri di Palembang

Sama-sama buruk

Peneliti hidrogeologi dari Institut Teknologi Bandung, Dasapta Erwin Irawan, dalam beberapa risetnya sejak 2014, antara lain di Banten, Jakarta, dan Jawa Barat, menemukan, kualitas air tanah di kota besar sudah sama buruknya dengan air sungai. Ini salah satunya disebabkan kontur dan morfologi tanah perkotaan.

“Kontur dan morfologi tanah dan sungai di kota urban, seperti Jakarta atau Bekasi, termasuk zona loosing stream (kehilangan air). Air sungai lebih banyak meresap ke dalam akuifer, jadi air tanah. Di musim kemarau seperti ini akan lebih banyak yang hilang,” tuturnya, Jumat (22/9/2023).

Situasi itu otomatis mentransfer cemaran di air sungai ke air tanah. Riset menunjukkan, kadar zat padatan terlarut atau total dissolved solids (TDS) di air tanah perkotaan sudah sama tingginya dengan air sungai. Padatan terlarut itu bisa mengandung unsur kimiawi hingga organik, termasuk bakteri dan virus.

Penyebab lain masuknya air sungai ke badan air tanah adalah meningkatnya penyedotan air tanah, khususnya di bantaran kali. “Sumur pompa kan menyedot air. Dengan debit yang terus bertambah, air yang bisa terhisap bukan hanya air tanah, air sungai di sekitarnya pun bisa masuk,” kata Dasapta.

Penggunaan air tanah dangkal dari kedalaman kurang dari 40 meter oleh rumah tangga tidak dibatasi oleh pemerintah. Ini berbeda dengan penggunaan air tanah dalam untuk kebutuhan komersial, yang harus berizin, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 259 Tahun 2022 tentang Standar Penyelenggaraan Izin Pengusahaan Air Tanah.

Pengelolaan air bersih

Solusi dari potensi pencemaran air tanah dari sungai setidaknya ada dua, yaitu memperluas jaringan air perpipaan dan sistem pengelolaan sir bersih di komunitas. Hal ini diutarakan Ketua Kelompok Riset Interaksi Air Tanah, Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air (PRLSDA) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Rachmat Fajar Lubis.

”Pemerintah sebenarnya ingin mendorong agar masyarakat tidak pakai air tanah sebagai cadangan air. Solusinya pakai jaringan pipa. Kalau masyarakat bisa dapat air leding gratis, pasti bisa pindah dari air sumur yang pakai listrik,” tuturnya, saat dihubungi pada Jumat (18/8/2023).

Sayangnya, sejauh ini, cakupan air bersih yang disalurkan Perusahaan Umum Daerah Air Minum Jaya (PAM Jaya) baru 66 sekitar persen dengan sekitar 900.000 pelanggan. Jaringan pipanisasi itu pun masih terbatas sampai ke 107 kelurahan Jakarta yang berada di bantaran sungai.

Sesuai rencana, masih butuh waktu sekitar tujuh tahun untuk PAM Jaya meningkatkan cakupan air perpipaan 100 persen. Upaya pemenuhan air bersih juga mereka lakukan dengan membuat kios air bersih hingga reservoir komunal di beberapa wilayah.

Perluasan jaringan air perpipaan butuh waktu dan komitmen investasi lebih banyak, Fajar mengatakan, warga juga bisa membuat pengelolaan air bersihnya sendiri. Belajar dari negera lain, seperti Jepang, warga bisa secara mandiri mengupayakan air bersih bahkan untuk minum sekalipun di wilayahnya. Sistem ini memanfaatkan air yang disediakan PAM Jaya.

”Meski air yang datang dari pusat enggak bagus, masyarakat bisa olah air agar bisa langsung diminum. Sistem ini bisa saja disediakan secara kolektif oleh masyarakat. Tentu tetap akan biaya, tetapi hanya untuk pengelolaan dan pemeliharaan,” katanya.

Baca bagian kedua: Jejak logam berat di sungai Jakarta


Liputan ini merupakan bagian dari program fellowship Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta atas dukungan Earth Journalism Network (EJN) dan pertama kali terbit di Kompas pada tanggal 23 September 2023.
About the writer

Erika Kurnia is a dynamic journalist based in Jakarta, with more than five years of experience in online and daily newspaper media. She is experienced in writing about health, economic and metropolitan...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.