Flores yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu pulau indah di bentang Nusantara. Eksotisme pulau yang sebagian besar daratannya berupa pegunungan ini bak keping surga yang terserak di Bumi. Sayang, ancaman petaka yang mengintai kerap tak disadari warga.

Sekeping Surga yang Memendam Petaka risiko bencana flores
Suasana senja di Pelabuhan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. (Foto/Chairul Akhmad)

Pesawat Batik Air yang lepas landas dari Jakarta itu baru saja mendarat dengan mulus di Bandara Komodo International Airport, Labuan Bajo, Flores, NTT. Jarum jam menunjukkan angka 11.30 WITA ketika pesawat benar-benar berhenti di depan terminal.

Suasana bandara tak begitu ramai siang itu. Kebanyakan penumpang yang berkerumun di dalam gedung dekat pengambilan bagasi adalah penumpang Batik Air. Interior bandara baru ini tampak anggun dan ikonik. Nuansa khas Flores mendominasi tiap bagian bangunan bandara yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada 21 Juli 2022 lalu itu.

Sebagai salah satu destinasi wisata super prioritas di Indonesia, Pemerintahan Jokowi memang menggenjot perbaikan infrastruktur di Labuan Bajo. Ibukota Kabupaten Manggarai Barat ini diharapkan semakin berkembang dan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat.

Begitu keluar dari area bandara, kita disuguhi penampakan jalan raya yang mulus dan bersih. Apalagi saat memasuki kawasan pelabuhan, pemandangan indah dan menakjubkan terhampar di depan mata. Walau terik siang begitu ganas membekap Bumi, namun itu tak menyembunyikan keanggunan Labuan Bajo yang sesungguhnya. Senja nanti, kala mentari beranjak pulang, dapat dipastikan kawasan ini bakal menyajikan keindahan surgawi nan magis.

Usai menyusuri jalanan kecil yang bersih dan rapi di sepanjang kawasan pelabuhan, kami akan bergerak ke arah timur menuju Kota Ruteng, Ibukota Kabupaten Manggarai. Jarak antara Labuan Bajo dan Ruteng berdasakan informasi Google Map adalah sepanjang 127 kilometer. Masih kata Mbak Google Map, jarak tempuh dengan kendaraan roda empat akan memakan waktu sekitar tiga setengah jam. Itu pun kalau perjalanan lancar.

Jangan bandingkan jalanan di Flores dengan jalanan di Pulau Jawa misalnya, di mana untuk menempuh jarak 100 km bisa dicapai dalam waktu satu setengah jam. Ini Flores, Bang! Jalanan di sini bukan jalan datar, tapi tanjakan dan turunan alias jalan pegunungan. Jalan berkelok Trans Flores yang membentang dari Bajo ke Ruteng berada di ketinggian rata-rata 800-an meter di atas permukaan laut (MDPL). Jalanan datar hanya terdapat di kawasan sabana Lembor, sekitar 65 km sebelum masuk Ruteng. Selebihnya, naik turun gunung.

Flores termasuk dalam gugusan pulau Nusa Tenggara bersama Bali dan Nusa Tenggara Barat, dengan luas wilayah sekitar 14.300 km persegi. Penduduk di Flores berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 mencapai 2.085.004 jiwa.

Terdapat delapan kabupaten di Pulau Flores, antara lain Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur, Ngada, Nagekeo, Ende, Sikka, dan Flores Timur. Flores kini dikabarkan tengah mempersiapkan diri menjadi sebuah provinsi pemekaran di NTT. Pulau ini dinilai cukup memadai menjadi sebuah provinsi berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, dan sumber daya baik alam maupun manusia.

bencana alam (Foto/Chairul Akhmad) Foto Tulisan 1 - 2: Kawasan Ekonomi Khusus Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT.
Kawasan Ekonomi Khusus Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. (Foto/Chairul Akhmad)

Program CORTA

Di balik segala keindahan dan sumber daya alam yang dimiliki Pulau Flores, ada sejumlah ancaman bahaya yang juga mengintai. Masih lekat dalam ingatan bagaimana banjir bandang menghantam Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur pada 2021 lalu. Bencana ini merenggut nyawa puluhan orang dan merusak rumah dan pemukiman warga. Sejumlah warga juga hilang terseret arus dan tak jelas rimbanya. Dan peristiwa serupa juga kerap terjadi di wilayah lain di seluruh Flores.

Berdasarkan kajian Palang Merah Indonesia (PMI) yang didukung Palang Merah Amerika (Amcross), beberapa kawasan di Flores memang rentan akan bencana, terutama banjir, longsor dan angin puting beliung. Karenanya, PMI dan Amcross menjalankan program community ready to act (CORTA) di wilayah aliran sungai di Kabupaten Manggarai, tepatnya di Kecamatan Reok.  

Program yang disebut DAS-CORTA Amcross ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar siap-siaga serta menjadi tangguh menghadapi risiko bencana. Kegiatan yang dilakukan di antaranya menyusun Peraturan Desa (Perdes) tentang rencana pengurangan risiko bencana (PRB), pelatihan mengenai peringatan dini dan aksi dini, serta membentuk Forum Daerah Aliran Sungai (DAS).

Ketua PMI Kabupaten Manggarai Ronny Kaunang mengatakan, kegiatan ini melibatkan masyarakat di lima kelurahan/desa di Kecamatan Reok. “Kelima kelurahan/desa itu adalah Kelurahan Mata Air, Kelurahan Baru, Kelurahan Reo, Desa Bajak, dan Desa Salama,” papar Ronny.

Ronny menambahkan, salah satu bentuk kegiatan program adalah menjalankan kampanye edukasi tentang kesiap-siagaan dan PRB banjir dan longsor. Ini ditujukan kepada sejumlah komponen masyarakat seperti kalangan sekolah, komunitas tani, keluarga, dan tokoh masyarakat.

“Selain meningkatkan kesadaran masyarakat, kampanye juga bertujuan untuk melihat adanya perubahan perilaku masyarakat berkaitan dengan kesiap-siagaan dan pengurangan risiko,” ujarnya.

Pemahaman Risiko Bencana Masyarakat di Kabupaten Manggarai

Sumber: Project Baseline Report (ARC and PMI)

Demi kelancaran program, PMI Pusat dan Amcrossjugaturun ke lapangan untuk melakukan assessment.PMIKabupaten Manggarai menerima program tersebut dengan sepenuh hati. Akhirnya, disepakati program dilaksanakan di Kecamatan Reok, karena berkaitan dengan DAS.

“Apalagi lagi kawasan ini sering dilanda banjir dan longsor. Jadi dengan pertimbangan itu semua, disepakati dilaksanakan di Reok. Dengan beberapa kegiatan pelengkap lainnya,” ia menegaskan.

Relawan tim siaga bencana berbasis masyarakat

Kepala Program PMI Kabupaten Manggarai Tommy Hikmat mengatakan, Program DAS-CORTA mengarah pada tiga hal penting. Pertama, penguatan kapasitas masyarakat tentang kebencanaan. Kedua, tentang pengembangan mata pencaharian masyarakat (livelihood). Ketiga, berkaitan dengan nature base solution.

“Jadi teman-teman relawan bersama dengan masyarakat membibitkan tanaman kayu. Tanaman ini digunakan untuk menguatkan lingkungan di lokasi-lokasi rawan,” jelasnya.

Selain itu, PMI Kabupaten Manggarai beserta aparat pemerintahan dan warga membentuk Tim Siaga Bencana Berbasis Masyarakat (SIBAT). Setelah terbentuk, PMI kemudian makin intens memberikan pelatihan terkait PRB dan livelihood.

“Kami fokuskan pelatihannya pada pemberdayaan masyarakat. Di sini mereka dikuatkan tentang manajemen kebencanaan. Mereka menggali masalah di desa mereka berkaitan dengan bencana,” kata Tommy.

Warga Kelurahan Mata Air, Kecamatan Reok bernama Yakob mengaku terbantu dengan kampanye dan sosialiasi PMI. Ia juga merasa senang dengan terbentuknya SIBAT di kelurahannya.

“Kami mendukung program-progam PMI dan SIBAT. Dan kami juga siap membantu mereka jika dibutuhkan. Karena kami sadar bahwa tempat tinggal kami ini memang rawan bencana,” tuturnya.

Tommy mengaku lega dan bersyukur dengan respons masyarakat Kecamatan Reok yang cukup baik dalam menyambut program ini. Ia juga meminta SIBAT dan warga agar memberikan umpan balik terhadap kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di lapangan.

SIBAT pun merespons dengan mengirimkan informasi dan dokumentasi kegiatan mereka. Bahkan, relawan juga menyertakan foto, notulensi, dan daftar hadir dalam tiap kegiatan mereka.

“Dengan begitu, kami bisa memantau aktivitas mereka. Dari situ pula kami dapat memberikan umpan balik atau solusi yang dibutuhkan jika ada masalah,” tandas Tommy.

Dampak program

Program DAS-CORTA di Kecamatan Reok bisa dikatakan cukup berhasil. Jika dihitung dengan persentase, angkanya mencapai 80 persen. Warga juga sudah mulai mempraktikkan teori-teori kesiap-siagaan PRB berdasarkan pelatihan yang mereka dapatkan.

Berdasarkan data yang dikumpulkan PMI, terdapat dua lokasi yang dapat dijadikan percontohan, yakni Kelurahan Mata Air dan Kelurahan Reo. Kedua kelurahan ini relatif progresif dalam hal pengelolaan sampah dan tata kelola partisipasi masyarakat. Misalnya, melalui pembuatan eco-enzyme baik secara individu maupun kolektif. Demikian pula dengan PRB yang berkaitan dengan penanaman bibit pohon dan mangrove, serta pemasangan alat sistem peringatan dini.

Ronny menyebut, masyarakat kini sudah memiliki pemahaman akan perubahan iklim. Mereka juga merasakan dampak nyata dari perubahan iklim. Satu hal yang paling dirasakan adalah mengenai pergeseran musim hujan dan musim kering.

“Hal ini berdampak pada masyarakat yang berprofesi sebagai petani, karena pergeseran musim tersebut memengaruhi siklus tanam,” terangnya.

Preferensi mitigasi responden Kabupaten Manggarai

Baseline Report (ARC and PMI)

Ronny juga menegaskan bahwa program PMI Pusat dan Amcross diterima warga dengan baik dan tidak sia-sia. Pihaknya mengaku senang dengan adanya program di Reok ini.

“Pengorbanan teman-teman dari PMI Pusat Amcross tidak sia-sia. Walaupun nanti pada saat terakhir penilaian hanya mendapat 70 atau 80 persen, ya itu kenyataan yang harus kita terima. Tapi yang jelas, semangat SIBAT dan warga saya lihat memang tinggi,” ungkapnya.

Dari sisi sosial, peran SIBAT diperlukan selain untuk edukasi bencana, tapi juga untuk mempererat dialog dan koordinasi. Dalam praktiknya, SIBAT memerlukan alat peraga dan media edukasi yang inklusif agar lebih memudahkan penyampaian materi. Hal ini bisa  berbentuk gambaran visual seperti poster atau baliho. Bila disajikan dengan media audio visual seperti video atau animasi, masyarakat akan lebih mudah mencerna.

Di lain pihak, Tommy Hikmat sebagai Kepala Program PMI Manggarai mengakui, memang ada Tim Siaga Bencana Berbasis Masyarakat atau SIBAT yang belum banyak berkolaborasi dalam kegiatan warga. Namun begitu, mereka masih berpeluang besar dalam menyampaikan sosialisasi edukasi PRB dan adaptasi perubahan iklim melalui kegiatan rutin kelompok. Misalnya, melalui kegiatan Posyandu atau keagamaan.

“Ini akan memberikan dampak positif bahwa SIBAT selalu hadir di tengah masyarakat. Sehingga kepercayaan masyarakat terhadap SIBAT bisa lebih tinggi lagi,” ujarnya.

Dalam catatan PMI Kabupaten Manggarai, terdapat empat jenis informasi yang diperlukan oleh masyarakat terkait PRB. Pertama, bagaimana cara melindungi diri dan keluarga pada saat bencana. Kedua, bagaimana mencegah kerugian harta benda akibat bencana. Ketiga, bagaimana mengenali risiko bencana. Keempat, bagaimana cara mengurangi risiko bencana.

“Selama ini upaya pengurangan risiko bencana masih bersifat sporadis. Masyarakat belum memahami bagaimana mengamankan harta benda dari bencana,” tandas Tommy.

Inilah pekerjaan rumah yang akan diselesaikan oleh PMI Manggarai beserta seluruh Tim Siaga Bencana Berbasis Masyarakat di Kecamatan Reok. Dengan begitu, secara perlahan namun pasti, warga makin paham tentang pentingnya PRB. Mereka pun akan tersadarkan, bahwa petaka yang mengintai dalam senyap tak sekadar isapan jempol belaka. [Chairul Akhmad]

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.