Posted inArtikel / Program SIEJ

SIEJ ajak jurnalis Maluku Utara lindungi burung paruh bengkok

Burung paruh bengkok di Maluku Utara menghadapi sejumlah ancaman, termasuk perburuan untuk diperdagangkan.

Jurnalis dan konten kreator di Maluku Utara harus memperkuat wawasan tentang keanekaragaman hayati (kehati), khususnya burung paruh bengkok (Psittaculidae). Sebab, kekayaan alam di daerah tersebut terus menghadapi sejumlah ancaman, salah satunya perburuan untuk diperdagangkan.

Secara historis, penangkapan burung di Maluku Utara untuk diperdagangkan telah tercatat sejak 1991. Frank Lambert, peneliti asal Inggris mengkalkulasi, saat itu, terdapat 17 ribu burung yang ditangkap dalam satu tahun di Maluku Utara.

Kemudian, pada tahun 2018, berdasarkan monitoring di 40 desa di provinsi itu, Burung Indonesia –organisasi konservasi burung dan habitatnya di Indonesia– masih mendapati penangkapan paruh bengkok untuk diperdagangkan. Jumlahnya mencapai 9.630 ekor.

Atas dasar itu, Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (The Society of Indonesian Environmental Journalists/SIEJ) bekerja sama dengan Burung Indonesia menggelar Lokakarya “Pengarusutamaan Narasi Pelestarian Biodiversitas bagi Jurnalis dan Konten Kreator di Maluku Utara melalui Platform Media Sosial”, di Balai Taman Nasional Aketajawe-Lolobata, Halmahera, Maluku Utara, Sabtu (16/12/2023).

Ikram Salim, koordinator SIEJ simpul Maluku Utara mengatakan, jurnalis dan konten krerator harus terlibat dalam upaya melestarikan kehati, karena Maluku Utara adalah habitat bagi 9 jenis burung paruh bengkok, yakni kakatua putih (Cacatua alba), nuri bayan (Moluccan eclectus), kastuari ternate (Lorius garrulus), nuri kalung-ungu (Eos squamata), nuri pipi-merah (Geoffroyus geoffroyl), betet-kelapa paruh-besar (Tanygnathus megalorynchos), perkici dagu-merah (Charmosyna placentis), serindit maluku (Loriculus amabilis), dan nuri-raja ambon (Alisterus amboinensis).

Namun, sejumlah laporan menyatakan burung-burung itu kerap ditangkap di sejumlah titik, termasuk Morotai, Halmahera, Tidore, Bacan Kasiruta, Obi dan pulau-pulau kecil lainnya, untuk dijual ke berbagai tempat.

“Melalui lokakarya ini kami berharap, jurnalis dan konten kreator di Maluku Utara juga ikut menarasikan isu kehati sebagai bagian dari kekayaan alam di Maluku Utara,” kata Ikram.

Keterlibatan jurnalis dalam perlindungan kehati semakin penting karena keterbatasan lembaga dan aparat dalam melakukan pengawasan, baik di dalam maupun di luar hutan. Taman Nasional Aketajawe-Lolobata, yang luasnya 165.700 hektare, misalnya, hanya diawasi 39 tenaga pengamanan hutan –24 personil Polhut, 1 PPNS dan 14 Masyarakat Mitra Polhut.

Di luar kawasan, masalahnya tak kalah berat. Ada banyak pintu untuk meloloskan burung-burung dari hutan-hutan lokal. Setidaknya tercatat ada 9 bandar udara dan 24 pelabuhan laut di Maluku Utara. Apalagi, daerah ini berbatasan langsung dengan tiga negara, yakni Filipina, Australia, dan Timor Leste.

“Lokakarya ini ditujukan untuk memperkuat wawasan jurnalis, jurnalis warga dan konten kreator tentang kondisi keanekaragaman hayati di Maluku Utara. Serta, memaksimalkan penggunaan platform media sosial untuk memberitakan isu maupun topik tersebut,” terang Ikram.

Mahmud Ichi, atau Michi, wartawan senior yang menjadi pemateri lokakarya itu menambahkan, jurnalis di Maluku Utara sebenarnya memiliki banyak sumber daya yang dapat dikembangkan. Dari sisi sumber daya jurnalistik, lanjut Michi, berdasarkan survei Dewan Pers pada tahun 2022 terdapat 47 media dan 250 jurnalis yang tersebar di Ternate. Menurutnya, jumlah itu merupakan indikator yang dapat menopang pengarusutamaan isu-isu kehati.

Ditambah lagi, dalam beberapa tahun belakangan terjadi peningkatan angka pemberitaan kehati di provinsi kepulauan itu. Meskipun, kata Michi, jenis pemberitaan yang dipublikasi masih didominasi kasus yang tidak berhubungan langsung tapi punya dampak pada kehati.

“Sebelumnya, pada tahun 2014, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Maluku Utara pernah lakukan riset di 7 media cetak. Trennya menunjukkan ketertarikan teman-teman menulis isu lingkungan termasuk minim. Waktu itu didominasi pemberitaan politik hampir 70%, kemudian hukum dan kriminal sekitar 25%,” terangnya.

Bagi Michi, komitmen jurnalis dalam memberitakan isu-isu Kehati merupakan tanggung jawab, bukan hanya untuk generasi hari ini, tetapi juga generasi di masa depan. “Jadi menulis isu lingkungan dan kehati bukan satu-dua tahun. Tapi itu warisan,” ujarnya.

“Semoga apa yang kita inginkan, mengarusutamakan narasi pelestarian biodiversitas bisa tercapai. Maluku Utara sangat kaya, punya kehati yang belum banyak dieksplorasi. Tugas kita mengangkat itu,” tambah Michi.

Kehati di Maluku Utara

Benny Aladin, Koordinator Kepulauan Maluku Burung Indonesia menjelaskan, Maluku Utara memiliki 350 jenis burung, yang berdasarkan karakter bioekologisnya menjadi rumah bagi 40 jenis endemik di Kepulauan Halmahera dan 12 jenis endemik di Kepulauan Sula-Taliabu.

Keunikan Maluku Utara juga terlihat dari sebaran paruh bengkok, di mana dari 27 jenis paruh bengkok, 9 di antaranya terdapat di daerah ini. Namun, menurut Benny, dari 9 jenis paruh bengkok, terdapat 4 jenis yang paling sering diperdagangkan, yakni kakatua putih, kastuari ternate, nuri bayan maluku, dan nuri kalung ungu.

Hingga saat ini, di Maluku Utara, terdapat kurang-lebih 45 ribu ekor kakatua, sekitar 200 ribu kasturi, 81 ribu nuri kalung-ungu dan 31 ribuan burung nuri bayan.

“Apakah ini banyak?” tanya Benny, “Pertama kali dihitung [pada tahun 1992], ada 131 ribu ekor kakatua di Maluku Utara. 2019 tersisa 45 ribu. Jadi ada 65% hilang dalam 27 tahun. Ya, setahun hampir 3% hilang.”

Karena itu, dia menilai, kolaborasi berbagai pihak merupakan langkah penting untuk menyelamatkan paruh bengkok dari kepunahan. Upaya itu bukan hanya menjadi tugas pemerintah, peneliti dan praktisi konservasi, tetapi juga jurnalis di Maluku Utara.

“Diperlukan lebih banyak konstituen-konstituen konservasi. Bukan hanya orang biologi, kehutanan seperti kami. Kami juga membutuhkan rekan-rekan jurnalis, rekan-rekan konten kreator, yang bisa mengambil satu peran kunci,” ujar Benny.

Faat Rudianto, Kepala Taman Nasional Aketajawe-Lolobata (TNAL) menerangkan, TNAL memiliki potensi kehati yang terdiri dari 237 jenis flora, 162 jenis fauna, 13 jenis mamalia, 14 jenis reptil dan 104 jenis burung. Di mana burung bidadari halmahera (Semioptera wallacii) menjadi flagship species atau spesies ikon kawasan tersebut.

“Salah satu di antara 9 jenis paruh bengkok tambah 1 jenis flagship ini tidak ditemukan lagi di TNAL itu jadi ukuran kami gagal mengelola TNAL,” ujarnya.

Menurut Faat, berbagai pihak harus berupaya mengatasi ancaman terhadap paruh bengkok di Maluku Utara, di antaranya perburuan untuk perdagangan, hingga alih fungsi kawasan hutan. Pihaknya sendiri telah berupaya membangun Suaka Paruh Bengkok yang memiliki fungsi rehabilitasi, edukasi dan rekreasi. Sambil, terus mengupayakan edukasi dan kampanye perlindungan paruh bengkok di Maluku Utara.

Faat berharap, kegiatan lokakarya jurnalis lingkungan ini dapat memberi referensi terkait penyelamatan paruh bengkok dan Kehati di daerah tersebut. Dia juga mengajak jurnalis terlibat dalam aksi-aksi konservasi lewat pemberitaan di media masing-masing.

“Konservasi tidak bisa sendiri. Pegawai kami sedikit, sehingga kami membutuhkan teman-teman termasuk jurnalis, untuk memberikan informasi dan edukasi, supaya masyarakat mau sadar untuk sama-sama menjaga kelestaraian Kehati di Maluku Utara.”

Yunita Kaunar, peserta dari Kalesang.id menilai, lokakarya yang diselenggarakan SIEJ dan Burung Indonesia itu memberinya semangat untuk mengawal kasus-kasus lingkungan, khususnya satwa endemik di Maluku Utara. Dia berharap kegiatan serupa dapat dilaksanakan kembali agar menjadi perhatian jurnalis, serta melibatkan diri dalam upaya menekan perburuan paruh bengkok di Maluku Utara.

“Melalui kegiatan ini kami tahu, perburuan satwa liar ini juga jadi perhatian jurnalis untuk sama-sama menyuarakan pada masyarakat. Supaya tidak terjadi perburuan massal,” ujarnya.

Syahril Helmi, peserta lainnya, menambahkan, jurnalis punya peran penting dalam pelestarian paruh bengkok. Menurutnya, peran itu dapat dilakukan melalui pemberitaan yang edukatif pada masyarakat.

“Saat ini di Maluku Utara terdapat berbagai pertambangan yang masuk, otomatis hutan akan habis dan habitat satwa liar ini akan punah. Kemudian, masyarakat yang hobi memelihara burung perlu diedukasi dan disosialisasi agar melepasliarkan burung-burung tersebut. ini peran penting jurnalis,” katanya.

Lokakarya “Pengarusutamaan Narasi Pelestarian Biodiversitas bagi Jurnalis dan Konten Kreator di Maluku Utara melalui Platform Media Sosial” dihadiri 20 jurnalis dan konten kreator dari Maluku Utara.

Setelah kegiatan tersebut, peserta diajak mengunjungi Suaka Paruh Bengkok dan lokasi program Burung Indonesia di desa Kosa, Kota Tidore Kepulauan.


Baca juga:

About the writer

Themmy Doaly

Themmy Doaly has been working as Mongabay-Indonesia contributor for North Sulawesi region since 2013. While in the last nine years he has also been writing for a number of news sites in Indonesia, including...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.