Membaca debat perdana calon wakil presiden: ekonomi ekstraktif memicu kerusakan lingkungan dan krisis iklim.

Walhi menilai cawapes gagal memahami bahaya corak ekonomi ekstraktif. (Foto: Detik via Walhi)
Walhi menilai cawapes gagal memahami bahaya corak ekonomi ekstraktif. (Foto: Detik via Walhi)

Debat putaran pertama calon Wakil Presiden Jumat, 22 Desember 2023 lalu menunjukkan bahwa pilihan ekonomi Indonesia ke depan tampaknya masih akan tetap berkutat pada model ekonomi ekstraktif yang akan semakin menambah beban kerusakan lingkungan dan kerentanan menghadapi krisis iklim.

Pada debat yang mengusung berbagai topik mulai dari ekonomi, keuangan, pajak, infrastruktur hingga perkotaan tersebut, ketiga kandidat memiliki kesamaan perspektif untuk mendorong penguatan infrastruktur melalui Proyek Strategis Nasional (PSN), perluasan kawasan perkotaan, dan pelonggaran regulasi demi kemudahan investasi sebagai jalan mencapai pertumbuhan ekonomi.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dalam keterangan resmi yang diakses Jumat, 5 Januari 2024 menilai ketiga cawapres gagal menunjukkan problem-problem nyata dari ekonomi ekstraktif yang selama puluhan tahun dipraktekkan di Indonesia dan alih-alih menghasilkan perbaikan ekonomi, namun justru semakin memperparah ketimpangan ekonomi dan memperburuk kualitas lingkungan hidup.

“Fakta menunjukkan bahwa model ekonomi ekstraktif telah menyebabkan krisis iklim akibat tingginya lepasan emisi ke atmosfer, konflik sosial, perampasan ruang hidup rakyat dan melipatgandakan bencana ekologis yang mengancam ekonomi dan keselamatan rakyat, serta menyempitnya ruang demokrasi dengan tingginya kriminalisasi terhadap rakyat yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya,” ungkap Walhi.

Selama dua puluh tahun terakhir, dalam catatan Walhi, emisi sektor energi di Indonesia telah meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan permintaan energi. Dengan 600 juta ton CO2 dari sektor energi pada tahun 2021, Indonesia adalah penghasil emisi terbesar kesembilan di dunia.

Menurut Walhi, hilirisasi pertambangan mineral kritis seperti nikel juga menyebabkan deforestasi hingga 25.000 hektare dalam 20 tahun terakhir dan akan terus meningkat mengingat pemberian luas konsesi pertambangan nikel di dalam kawasan hutan mencapai 765.237 hektare yang diperkirakan akan menambah 83 juta ton emisi CO2.

“Ekonomi yang didukung paket kebijakan pro ekstraktivisme ini juga menyebabkan menyempitnya ruang-ruang demokrasi, UU Minerba misalnya telah digunakan untuk menyeret setidaknya 58 orang ke dalam proses hukum sepanjang 2019-2022 hanya karena penolakan mereka terhadap aktivitas pertambangan,” lanjut Walhi.

Bahaya ekonomi ekstraktif luput dalam debat cawapres

Sama seperti debat calon Presiden sebelumnya pada tema hukum, ada beberapa hal penting yang luput dibahas pada debat tema ekonomi para calon Wakil Presiden ini. Hal krusial terkait bagaimana APBN dan anggaran negara lainnya (cth: BUMN) dipergunakan dan dari mana sumber pendanaannya.

Walhi menilai, ugal-ugalan penggunaan APBN dan sumber pendanaan dari utang yang cukup besar mengancam kesehatan fiskal dan dapat membuat Indonesia masuk dalam jebakan utang yang lebih dalam. Pembiayaan di luar APBN lainnya seperti pada BUMN yang seringkali menjadi beban keuangan yang harus ditanggung oleh negara perlu jadi perhatian publik. Banyak BUMN yang kemudian membuat negara mengeluarkan uang besar untuk menanganinya.

“Para kandidat Wakil Presiden juga tidak memberi kejelasan arah pembangunan ekonomi rendah karbon sebagaimana sering dikutip dalam program-program negara. Menariknya lagi penggunaan Carbon Capture Storage (CCS) yang sempat diungkap dalam sesi tanya jawab menunjukkan bahwa para calon wapres ini belum memahami bahwa teknologi ini hanya solusi palsu dalam mengatasi pemanasan global dan krisis iklim,” papar Walhi.

“Bahkan Badan Energi Internasional menyebut “Sejarah CCUS sebagian besarnya adalah harapan yang tidak terpenuhi. Bergantung pada teknologi gagal yang justru memperpanjang umur penggunaan energi fosil adalah langkah mundur kita untuk mengatasi pemanasan global dan perubahan iklim,” kata Walhi.

Walhi mendorong perubahan signifikan ekonomi Indonesia dari corak ekstraktif menuju ekonomi regeneratif sebagaimana yang kami tuangkan pada Ekonomi Nusantara. Praktik Ekonomi Nusantara memiliki empat nilai pengikat: (1) hubungan sejarah; (2) hubungan dengan lanskap ekologis; (3) praktik ekonomi yang tidak destruktif; dan (4) memiliki dimensi pemulihan kondisi sosial-ekologis.

Hal yang harus didorong adalah semangat swakelola, berelasi baik dengan alam, komunalisme, dan praktik skala kecil adalah kekuatan utama ekonomi di masyarakat. Praktik ekonomi yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat adat dan masyarakat lokal ini sesungguhnya begitu berbeda dari praktik ekonomi ekstraktif yang selama ini berjalan.

“Pemilihan pada ekonomi ekstraktif di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, hanya akan berakhir pada perluasan krisis sosial-ekologis dan peningkatan kerentanan menghadapi krisis iklim,” tegas Walhi.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.