Debat Cawapres 2024 membahas masalah krisis iklim. Greenpeace Indonesia menyesalkan tidak adanya komitmen terukur untuk penyelesaian masalah ini.
Debat calon wakil presiden (Cawapres) Pemilu 2024 dengan tema pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa telah terselenggara pada Minggu kemarin. Greenpeace Indonesia menyesalkan tidak adanya komitmen yang komprehensif, jelas, dan terukur untuk mengatasi masalah krisis iklim.
Greenpeace Indonesia menilai, para cawapres gagal mengidentifikasi penyebab utama masalah krisis iklim, yaitu alih fungsi lahan dan sektor energi dengan masifnya penggunaan batu bara.
“Kita menyaksikan bahwa ekonomi ekstraktif masih menjadi watak dalam visi para pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Cawapres 02 Gibran Rakabuming Raka menggaungkan ekonomi ekstraktif lewat isu nikel dan hilirisasi, sedangkan cawapres 01 Muhaimin Iskandar dan cawapres 03 Mahfud Md. juga tak tegas menyatakan komitmen mereka untuk keluar dari pola-pola yang sama,” ucap Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia, dikutip dari keterangan resmi, Kamis, 25 Januari 2024.
Watak ekonomi ekstraktif pemerintah selama ini telah memicu banyak masalah, mulai dari ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan tanah yang melahirkan pelbagai konflik agraria; merampas hak-hak masyarakat adat, masyarakat lokal, hingga masyarakat pesisir; merusak hutan dan lahan gambut; mencemari lingkungan; membuat Indonesia menjadi salah satu negara emiter besar karena ketergantungan pada industri batu bara; sekaligus memperparah krisis iklim.
Dalam isu reforma agraria, para cawapres tidak membahas penyelesaian konflik-konflik agraria akibat proyek-proyek strategis nasional (PSN). Cawapres 02 dan 03 misalnya, hanya terbatas membahas rencana sertifikasi dan redistribusi lahan tanpa menyentuh akar masalah. Data Konsorsium Pembaruan Agraria mengungkap ada 42 konflik agraria akibat PSN pada 2023, melonjak eskalasinya dibanding tahun sebelumnya. Konflik ini meliputi 516.409 hektare lahan dan berdampak terhadap lebih dari 85 ribu keluarga.
Ketiga cawapres juga berjanji melindungi masyarakat adat dan wilayah adat, termasuk dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat. Janji semacam ini selalu disampaikan dari pemilu ke pemilu, tetapi keengganan politik dari presiden terpilih dan partai politik pendukungnya selama ini menggambarkan bahwa mengakui dan melindungi masyarakat adat tak lebih dari sekadar retorika. Tanpa mencabut Undang-Undang Cipta Kerja dan menghentikan PSN yang merampas wilayah masyarakat adat, janji itu cuma akan jadi omong kosong saja.
Ruang hidup masyarakat adat terus tergerus akibat pembukaan lahan dan deforestasi. Pernyataan cawapres 01 tentang reforestasi untuk mengatasi deforestasi jelas tak menjawab persoalan. Kerusakan hutan akibat deforestasi, termasuk seperti yang terjadi di food estate Gunung Mas Kalimantan Tengah, tak bisa serta-merta dibereskan dengan melakukan penanaman kembali. Pemulihan hutan yang rusak dengan cara reforestasi memang harus dilakukan. Namun, yang paling krusial sebenarnya adalah menghentikan deforestasi.
Masalah krisis iklim dan deforestasi
Merujuk data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sepanjang 2015-2022, angka deforestasi mencapai 3,1 juta hektare. Deforestasi terencana juga mengancam hutan alam Papua yang kini tersisa 34 juta hektare (per 2022). Sepanjang 1992-2019, ada 72 surat keputusan pelepasan kawasan hutan di Tanah Papua yang dibuat Menteri Kehutanan.
Total pelepasan kawasan hutan ini seluas 1,5 juta hektare dan 1,1, juta hektare di antaranya masih berupa hutan alam dan gambut. Selain itu, kebakaran hutan dan lahan gambut juga masih terjadi saban tahunnya. Pada 2023 saja, angka kebakaran lahan dan hutan mencapai 1,16 juta hektare, tap sayangnya luput dari pembahasan debat cawapres.
Mereka juga tidak menyinggung masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, yang tempat tinggalnya rentan tenggelam karena kenaikan muka air laut.
“Perspektif para kandidat dalam isu lingkungan hidup dan sumber daya alam masih bias darat. Memang ada yang menyinggung tentang masyarakat pesisir dan nelayan, tapi mereka tidak menjabarkan bagaimana agenda mitigasi dan adaptasi iklim bersama warga yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil–yang makin terjepit dampak dari masalah krisis iklim.
Fakta lainnya, keanekaragaman hayati laut Indonesia juga terancam dengan praktik ekonomi ekstraktif dan tekanan pembangunan berbasis darat. Padahal Indonesia telah berkomitmen untuk melindungi 30 persen kawasan dan keanekaragaman hayati laut kita pada 2030,” kata Khalisah Khalid, Ketua Kelompok Kerja Politik Greenpeace Indonesia.