Erminarti Sabelau (35) warga Dusun Bungo Rayo, Desa Sinaka, Kecamatan Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai mendayung sampan menyeberangi Sungai Tattanen. Ia membawa anak laki-lakinya yang baru berumur tiga tahun. Di dalam sampan itu tersusun enam jeriken kapasitas 5 liter berisi air.

Ia merapatkan perahunya ke tangga semen di pinggir sungai, tempat biasanya warga menambatkan perahu. Di atas tangga itu sudah ada jeriken besar miliknya. Ia memindahkan air dari keenam jeriken kecil di perahu ke jeriken besar. Tiga kali ia bolak-balik melakukan itu.

Sehari itu dua kali Erminarti mengambil air. Ia mesti berperahu sejauh 200 meter dari perkampungan Dusun Bungo Rayo kemudian dilanjutkan berjalan kaki sejauh 200 meter. “Kami sudah mengambil air seperti ini sejak Agustus lalu, sejak banjir melanda kampung kami yang menyebabkan saluran air Pamsimas tidak lagi mengalir ke rumah-rumah,” kata Erminarti pada 28 Oktober 2023.

Pamsimas (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat) merupakan program nasional untuk penyediaan air minum di perkampungan. Bak penampungan air pamsimas di Dusun Bungo Rayo berada di seberang Sungai Tattanen Sumber airnya dari hulu sungai yang dialirkan dengan paralon. Dari bak itu air dialirkan dengan pipa ke perkampungan.

Banjir di Agustus 2023 menghancurkan bak penampungan air itu sehingga pipa ke rumah-rumah tak lagi mengalirkan air. Tinggal paralon dekat bak yang mengalirkan air dan warga mengambil air ke sana. Namun jika hujan turun, warga lebih memilih menampung air hujan untuk sumber air minum.

“Ditambah lagi dengan kondisi musim kemarau saat ini, kami harus mengambil air ke tempat penampungan air Pamsimas, setelah banjir,” ujar Erminarti.

Biasanya Eminarti mengambil air untuk keperluan air minum dan memasak pada pagi dan sore. Sekali mengambil air ia membawa enam atau delapan jeriken. Lalu jeriken-jeriken kecil itu disalin ke jeriken besar ukuran 30 liter di pinggir sungai dekat kampung.

“Nanti dilanjutkan membawa dengan gerobak, berat juga, tapi kalau ada suami saya biasanya dia yang mengangkut, sekarang dia sedang ke ladang,” katanya.

Di tempat Erminarti menyandarkan sampannya, tiga perempuan sedang mencuci pakaian dan peralatan dapur. Salah satunya Rami Juwita (32). Ia sedang mencuci piring dan peralatan memasak. Rami bercerita mengambil air untuk minum dan memasak juga dengan sampan ke seberang sungai.

“Kadang jam 6 pagi saya ke sana ambil lima jeriken dan sore sekitar jam 4 saya juga ke sana. Kalau air sungai di sini tidak bagus dipakai, karena bercampur air laut dan banyak yang buang kotoran. Di sini hanya dipakai untuk mencuci dan mandi,” ujarnya.

Kondisi serupa dialami warga Dusun Koritbuah dimana sebagian warga merupakan pindahan dari Dusun Sinaka, Desa Sinaka di Pulau Simatapi setelah gempa dan tsunami 2010.  Pada 2012 mereka dipindahkan pemerintah ke daerah Koritbuah yang terletak di perbukitan. Saat musim kemarau kondisi sumur-sumur masyarakat setempat mengering. Karena kesulitan air, ada warga yang sampai membuat sumur tiga unit. Itulah yang dilakukan Martina (49).

Ia memiliki satu sumur untuk mandi, satu lagi untuk mencuci piring, dan yang agak jernih airnya untuk kebutuhan minum. Ketiga sumur terletak di belakang rumahnya di tanah yang lebih rendah. “Di sini ada air sungai satu kilometer dari rumah saya, ke sana harus berjalan kaki menurun,” katanya.

Ada tiga lokasi di pinggir Sungai Koritbuah itu yang digunakan warga. Satu lokasi di bagian hulu, bagian tengah, dan bagian taggurat (hilir ). Sialnya, kata Martina, saat ia dan penduduk di bagian tengah hendak mengambil air untuk minum ternyata warga di bagian hulu sudah memakai untuk mencuci piring atau membersihkan ikan.

“Kami di bagian bawahnya sudah mendapatkan air kotor sehingga kami jadi korban,” katanya pada 23 Oktober 2023.

Martina bercerita sudah tidak kuat lagi mengambil air ke sungai karena harus menempuh jarak jauh dan tanjakan.

Dampak penebangan hutan

Kekeringan juga melanda Dusun Sinaka. Warganya harus bolak-balik dari rumah ke sungai untuk mengambil air bersih.

Kepala Dusun Sinaka, Anto Saogo mengatakan desanya pernah mengalami kemarau panjang selama delapan bulan pada 1998. Namun saat itu air tidak sesulit kemarau pada tahun ini.  Anto mengaitkan sulitnya air dengan aktivitas penebangan hutan perusahaan kayu yang mengantongi Izin Pemanfaatan Kayu pada 2002 di Dusun Sinaka.

“Dampak penebangan hutan baru terasa saat ini, saat kemarau air jadi sangat sulit,” ujarnya.

Kesulitan air bersih juga dihadapi warga di Pulau Pagai Utara, kecamatan yang hanya dipisah selat selebar 800 meter dari Pulau Pagai Selatan.

“Musim kemarau sekarang semakin sulit mendapat air, sumur yang ada sudah kering, bahkan saya untuk cuci muka pagi hari saja pakai air kemasan dan malam hari mandi di sungai,” kata Gabriel Sakeru, Camat Pagai Utara, 29 November lalu.

Menurut Gabriel, sejak awal September hujan tidak pernah turun dan semua sumur warga mengering. Akibatnya sekitar 300 KK warga Desa Saumanganya mengandalkan air minum dari Sungai Bat Toktuk yang berjarak tiga kilometer dari permukiman.

Penebangan sudah dilakukan sejak 50 tahun lalu sampai sekarang, akhirnya hutannya sudah tidak punya kayu sehingga tanah tidak bisa menyimpan air hujan

Gabriel Sakeru, Camat Pagai Utara

Setiap hari, kata Gabriel, orang sibuk mencari air itu seperti pergi ke ladang. Para perempuan membawa cucian, pulangnya membawa air dan di sungai itu juga tempat mandi seluruh warga, dari pagi hingga malam di sungai itu selalu ada orang.

Penyebab sulitnya air yang terjadi di Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan, menurut Gabriel Sakeru, erat kaitannya dengan banyaknya hutan yang hilang akibat penebangan kayu oleh perusahaan pemilik konsesi.

“Penebangan sudah dilakukan sejak 50 tahun lalu sampai sekarang, akhirnya hutannya sudah tidak punya kayu sehingga tanah tidak bisa menyimpan air hujan,” katanya.

Ade Edward, ahli geologi yang pernah menjadi ketua IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia) Daerah Sumatera Barat mengatakan Mentawai sebagai kepulauan kecil sangat rentan terhadap perubahan akibat eksploitasi hutan. Berkurangnya sumber air bisa semakin cepat jika deforestasi terus terjadi, sebab hilangnya tutupan hutan yang seharusnya melindungi bantalan air menyebabkan berkurangnya resapan air.

“Pulau-pulau kecil seperti di Kepulauan Mentawai memiliki kemampuan menyimpan air tanah yang lebih rendah, sumber air tawarnya terbatas, apabila hutan terbuka keberadaan air tawar akan habis, dampaknya akan kekeringan saat kemarau,” kata Ade Edward.

Saat ini di Pagai Selatan dan Pagai Utara terdapat perpanjangan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kayu Pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) PT Minas Pagai Lumber (PT MPL) seluas 78.000 hektare yang dikeluarkan Menteri Kehutanan pada 18 Juli 2013. Izin tersebut baru akan berakhir pada 2056.

Sebelumnya, PT MPL telah beroperasi melakukan penebangan hutan di Pagai Utara dan Pagai Selatan sejak mengantongi izin HPH dari Menteri Pertanian pada 13 April 1971.

Menurut Gabriel perusahaan kayu itu telah banyak menebang pohon, tetapi tidak pernah menanam pohon pengganti di hutan yang telah ditebang. “Pohon di bantaran sungai juga ditebang, padahal sesuai aturan 50 meter kiri-kanan sungai tidak boleh ditebang dan itu tidak pernah ditanami kembali, akibatnya air sungai menyusut jauh saat kemarau seperti sekarang,” katanya.

Undang-Undang No.18/2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (pasal 13) menegaskan tidak boleh ada penebangan pohon dalam jarak 5 meter dari pinggir anak sungai jarak 100 meter dari pinggir sungai.

Bencana banjir dan kekeringan

Pada 25 Agustus lalu, banjir besar melanda Dusun Matobat dan Dusun Bungo Rayo di Desa Sinaka serta Dusun Kinumbuk di Desa Bulasat, Pulau Pagai Selatan. Banjir yang terjadi setelah beberapa jam hujan menghantam sawah seluas 24 ha dan ladang pisang yang menjadi andalan perekonomian masyarakat.

Banjir menggenangi ladang warga dan jalan selama tiga hari. Ini banjir paling besar di Dusun Matobat sejak dusun itu didirikan. Di beberapa tempat di lokasi yang rendah ketinggian banjir mencapai 2,5 meter, menyebabkan pondok-pondok di ladang tenggelam.

“Kebun pisang dan keladi yang saya tanam rusak semua, hancur diterjang banjir, lumpurnya juga tebal, saya biarkan saja, saya tidak sanggup membersihkannya,” kata Anita (45) yang ditemui di ladangnya pada 1 September lalu, seminggu setelah banjir.

Warga meyakini banjir itu dampak dari aktivitas penebangan kayu PT. MPL di hutan Dusun Matobat sejak tahun lalu. Kepala Dusun Matobat Tarsan Saleleubaja mengatakan sejak dusun itu berdiri pada 1964 belum pernah terjadi banjir.

“Baru kali ini banjir besar, sawah kena, pondok kena, ladang kena, ini karena penebangan kayu yang dilakukan perusahaan banyak di tepi sungai, juga lebih luas sehingga air langsung masuk dan permukiman menjadi banjir. Banjir terjadi karena banyak lahan yang dibuka dan ditebang perusahaan, di bantaran sungai juga ada pohon yang ditebang,” katanya ketika kami temui pada 26 Agustus lalu.

Saat kemarau datang pada pertengahan September 2023, sungai-sungai di Pagai Selatan banyak yang kering. Salah satunya adalah air terjun Matobat di Dusun Matobat, Desa Sinaka, yang menjadi sumber air pamsimas untuk Dusun Matobat dan Dusun Bungo Rayo, juga untuk persawahan masyarakat.

Pantauan kami pada awal September, air terjun Matobat masih mengalir. Dari empat anak sungai yang masing-masing dua di samping kiri dan dua di samping kanan air terjun itu, dua di antaranya sudah kering.

Kawasan air terjun Matobat masuk ke dalam wilayah RKT (Rencana Kerja Tahunan) PT MPL pada 2023. Bekas tebangan pohon terlihat di bantaran sungai. Juga tampak lima tunggul pohon bekas tebangan dengan diameter 1,5 meter hingga 2 meter. Pohon yang ditebang itu hanya berjarak 5 meter dari sungai di bawah air terjun Matobat. Pohon-pohon di hulu Sungai Tatanen yang menjadi sumber air terjun itu juga telah ditebang.

Ketika kami melihat lagi ke lokasi pada 3 November 2023, air terjun Matobat sudah kering. Dua anak sungai lainnya yang pada September lalu masih memiliki air, juga kering.

Pemerintah Desa Sinaka pernah berusaha menyelamatkan kawasan Air Terjun Matobat itu dari rencana tebangan PT MPL dengan menjadikannya kawasan wisata desa. Pada 2021 Desa Sinaka mengucurkan dana Rp250 juta untuk menata lokasi wisata dengan membuat gapura, pondok istirahat, beberapa rumah kayu di atas pohon, toilet, dan jalan setapak.

Target kegiatan itu agar anak muda Desa Sinaka bisa mengelola kawasan Air Terjun Matobat untuk mendapatkan penghasilan. Namun rencana itu tidak berjalan sesuai harapan dan semua fasilitas tersebut terbengkalai, tak lagi terawat.

Kepala Desa Sinaka, Tarsan Samaloisa mengungkapkan, meski wilayah kerja PT MPL berada di desanya, namun pemerintah Desa Sinaka tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan analisis dampak lingkungan (amdal). Ia mengaku secara prosedural telah mengadukan soal banjir kepada Camat Pagai Selatan.

“Bahkan camat menjadi saksi hidup yang melihat kondisi banjir, kita berharap informasi itu disampaikan ke kabupaten. Banjir itu telah merugikan masyarakat ratusan juta rupiah, karena sudah merusak persawahan masyarakat, menyebabkan mereka gagal panen,” ujarnya.

Mengkhawatirkan kerusakan hutan

Data dinas kehutanan Provinsi Sumatera Barat pada 2021 menunjukkan pohon yang sudah ditebang PT MPL sebanyak 1.284 batang atau 5.458, 66 kubik. Pada 2022 penebangan pohon sebanyak 621 batang pohon atau 2.795,52 kubik.

Untuk penebangan 2023 belum ada data, tapi dari pantauan kami pada awal September lalu, ribuan kubik kayu dimuat di atas kapal ponton dan tumpukan besar kayu di logpond PT MPL di Dusun Aban Baga siap diangkut keluar Mentawai.

Kami berusaha menghubungi manager PT MPL Bil Kusna pada 29 November dan pada 4 Desember 2023 untuk mengkonfirmasi terkait kegiatan perusahaannya di Dusun Matobat. Namun ia tidak mengangkat telepon. Pertanyaan yang diajukan melalui pesan WhatsApp juga tidak ia respons.

Ketika ditanya mengenai penebangan pohon yang dilakukan PT MPL di tepi Sungai Matobat dan kekeringan sungai, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat Yozarwardi mengatakan dinasnya hanya memiliki sedikit kewenangan yang diberikan pusat.

Yang memiliki kewenangan pengawasan adalah BPHL (Balai Pengelolaan Hutan Lestari) Wilayah III Pekanbaru UPT (unit pelaksana teknis) Kementerian KLHK. 

“BPHL Pekanbaru ini yang memantau, bukan kita. Kewenangan menindak mereka (PT.MPL) tidak ada pada kita, jadi kalau ada informasi pelanggaran nanti akan saya laporkan ke BPHL. Selain HPH di hutan produksi, penebangan hutan di Pulau Pagai Selatan juga terjadi di kawasan hutan alam pada Areal Penggunaan Lain (APL),” ungkapnya.

Penebangan besar-besaran ini berlangsung karena BPHL Wilayah III di Pekanbaru terus mengeluarkan izin penebangan di hutan alam di Areal Penggunaan Lain yang dimiliki masyarakat melalui izin hak akses SIPUHH (Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan) di Kepulauan Mentawai kepada masyarakat Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT).

Sepanjang 2021-2023 sudah ada 34 izin akses SIPUHH yang dikeluarkan BPHL Wilayah III untuk masyarakat pemilik tanah di Kepulauan Mentawai.

Pemilik tanah kemudian melakukan perjanjian dengan investor untuk melakukan penebangan di APL dan mereka hanya menerima pembayaran sebesar Rp70 ribu untuk setiap kubik kayu.

Masing-masing izin berlaku untk lahan seluas 50 hektare dan masa berlaku 1 tahun. Izin ini juga dapat diperpanjang.

Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat SIPUHH tahun 2023 terbanyak berada di Pulau Sipora ada 7 PHAT dengan jumlah pohon yang ditebang sebanyak  15.1777 batang atau 24.444,35 kubik. Kemudian Pagai Selatan dengan 1 PHAT dengan jumlah pohon yang ditebang sebanyak 1.066 batang atau 5.494,46 kubik.

Penebangan hutan di Kepulauan Mentawai saat ini semakin mengkhawatirkan, dampaknya sangat besar terhadap lingkungan.

Yosep Sarogdok, Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Mentawai

Kepala Seksi Perencanaan BPHL Wilayah III Pekanbaru Ruslan Hamid yang diwawancarai pada Juli 2023 mengatakan BPHL Wilayah III telah memberikan hak SIPUHH kepada masyarakat PHAT di Kabupaten Kepulauan Mentawai sejak dua tahun.. Ia menambahkan pemilik PHAT tersebut sudah memenuhi persyaratan.

“Kawasan APL itu bukan ranah kami, tetapi karena di atas tanah itu ada tegakan hutan yang tumbuh alami, maka diperlukan akses SIPUHH untuk pemilik lahan yang akan mengelola kayunya, agar hak-hak negara bisa dipungut dari situ. Di hutannya itu ada potensi yang harus dia bayar ke negara setiap menumbangkan kayu,” kata Ruslan yang dihubungi melalui telepon pada 24 Juli 2023.

Yozawardi mengaku  resah melihat banyak penebangan yang dilakukan di kawasan APL di Kepulauan Mentawai dan berharap  agar kebijakan pemberian hak akses SIPUHH di kawasan APL itu dievaluasi.

“Saya juga resah, kalau  seperti ini  terjadi hancur hutan Indonesia yang ada di APL. Pemiliknya tidak ikut menanam, sekarang dia menebang, dengan dalih PHAT (Pemegang Hak Atas Tanah). Pemegang hak atas tanah kan orang setempat, bekerja sama dengan investor,” kata Yozarwardi.

“Karena kami tidak punya kewenangan apa-apa, tentu kami hanya bisa menyarankan agar dievaluasi kebijakan itu, saya sudah menyurati Dirjen di KLHK.”

Dampak lingkungan

Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai Rifai Lubis mengatakan pemerintah harus melakukan evaluasi kehadiran kegiatan pemanfaatan kayu di Mentawai karena menimbulkan dampak lingkungan yang harus ditanggung masyarakat.

“Intervensi sekecil apapun terhadap hutannya pasti berdampak terhadap lingkungan, jadi hutan Mentawai itu seharusnya tidak dieksploitasi,” kata Rifai, 23 November 2023

Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Mentawai Yosep Sarogdok juga meminta pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat meninjau kembali izin-izin penebangan hutan di Kepulauan Mentawai, baik di hutan produksi maupun di hutan APL.

“Penebangan hutan di Kepulauan Mentawai saat ini semakin mengkhawatirkan, dampaknya sangat besar terhadap lingkungan. Contohnya, sekarang warga di Mentawai semuanya sedang krisis air karena tidak turun hujan, sumur kering, air sungai menyusut,” kata Yosep yang ditemui pada 5 Oktober 2023.

Penjabat Bupati Kepulauan Mentawai Fernando Jongguran Simanjuntak yang dikonfirmasi di Tuapeijat pada Kamis, 5 Oktober 2023, berjanji akan mendalami masalah dampak penebangan hutan di Kepulauan Mentawai tersebut.

“Nanti kalau saya sudah mendalami bersama jajaran, kita akan membuat sikap resmi tentang hal ini,” kata Fernando.


Liputan ini dihasilkan dari dukungan Earth Journalism Network, terbit pertama kali di MentawaiKita dan Uggla.id pada 8 Januari 2024.


Baca juga:

About the writer

Rus Akbar Saleleubaja

Rus Akbar Saleleubaja has been a journalist since 2003 with Tabloid Puailiggoubat (now mentawaikita.com), focusing on indigenous peoples and environment in Mentawai. He also occassionally reporting for...

Febrianti

Febrianti is a journalist who lives in Padang, West Sumatra. Currently, Febrianti is a contributor for Tempo in West Sumatra and the Editor-in-Chief of an online environmental and travel site, Jurnalistravel.Com....

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.