Koalisi masyarakat sipil untuk Energi Bersih mengkritisi rencana revisi target energi terbarukan yang turun menjadi 17-19% pada 2025, sebagaimana tertuang dalam draf revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN). Merekapun mendesak pemerintah untuk mengevaluasi kegagalan mencapai target bauran energi baru dan terbarukan.

Sebelumnya, seperti tertulis dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014, pemerintah menargetkan 23% energi baru dan terbarukan pada tahun 2025, serta 31% pada tahun 2050.

Bahkan, dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP), yang disusun Sekretariat Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP), merekomendasikan peta jalan on-grid yang meliputi 44% pangsa pembangkit energi terbarukan pada tahun 2030.

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi Institute of Essential Services Reform (IESR) menuturkan, alih-alih menurunkan target, pemerintah seharusnya mengevaluasi faktor penyebab kegagalan pencapaian target investasi energi terbarukan selama ini.

Sebab, menurut dia, aspek ekonomi tidak lagi menjadi hambatan dalam pengembangannya. Deon mencontohkan, harga listrik energi terbarukan, terutama surya dan angin, beserta biaya integrasinya, sudah bisa bersaing dengan PLTU yang mendapat insentif harga batu bara US$70 (Rp1,1 juta) per ton.

“Jadi, masalahnya bukan di keekonomian energi terbarukan, tapi proses pengembangan dan pengadaannya. Ini yang perlu diperbaiki dengan cepat,” jelasnya, Senin (29/1/24).

Deon mengatakan, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, PLN sebenarnya sudah berencana membangun energi terbarukan 20,9 gigawatt (GW), namun realisasinya masih lambat. Untuk itu, kata Deon, PLN perlu mengubah proses pengadaannya menjadi lebih masif, berkala, dan transparan.

“Selain itu, pemerintah juga perlu mendukung dan membuka peluang bagi sektor industri, komersial, dan masyarakat untuk berkontribusi mengembangkan energi terbarukan,” kata Deon.

Arif Adiputro, Divisi Kajian Indonesian Parliamentary Center (IPC) mengatakan, pemerintah perlu membuat kebijakan yang berpihak pada energi terbarukan, seperti insentif fiskal dan non-fiskal. Insentif itu, menurutnya, dapat mengurangi biaya pengembangannya.

“Selain itu, DPR dan DPD perlu mengkritisi dan mengajukan hak angket kepada pemerintah terkait revisi target bauran energi terbarukan yang tidak selaras dengan komitmen ratifikasi UU Paris Agreement,” ujarnya.

Dampak penurunan target

Rencana revisi target bauran energi terbarukan dikhawatirkan menghambat upaya pengembangan energi terbarukan. Serta, bertentangan dengan komitmen netral karbon 2060 dan komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca 29-31%.

“Sebab, untuk mencapai kedua target tersebut, Indonesia seharusnya meningkatkan target bauran energi terbarukan menjadi 45% pada 2030,” kata Arif.

Verena Puspawardani, Direktur Program Koaksi Indonesia menyebut, risiko lain dari pengurangan target bauran energi bersih adalah berkurangnya potensi pekerjaan hijau (green jobs).

Pemerintah juga perlu mendukung dan membuka peluang bagi sektor industri, komersial, dan masyarakat untuk berkontribusi mengembangkan energi terbarukan

Deon Arinaldo, IESR

Jika pemerintah konsisten dengan target 23% pada 2025 dan meningkat menjadi 31% pada 2050, dia memperkirakan, prospek ketersediaan lapangan kerja bidang teknik energi bersih dan terbarukan dapat mencapai 432 ribu pada 2030.

Potensi lapangan kerja ini tercatat 10 kali lipat dari 2019 dan melebihi jumlah tenaga kerja di sektor energi fosil pada saat ini.

“Ketika target ini diturunkan, maka prospek penciptaan green jobs dari sektor energi terbarukan akan ikut menurun,” tutur Verena.

Padahal, dia menambahkan, potensi green jobs yang meningkat akan berkontribusi pada investasi untuk pengembangan industri hijau, menjawab kebutuhan pekerjaan di masa depan, dan dukungan masyarakat pada energi terbarukan. 

Solusi palsu

Menurut koalisi masyarakat sipil, selain menurunkan target ET, draf revisi KEN juga tetap ngotot memasukkan sejumlah solusi palsu dan semu dalam strategi transisi energi.

Mereka merinci, solusi palsu itu terdiri dari pemanfaatan biodiesel berbasis sawit hingga menyentuh campuran 60% (B60), pemasangan teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS) di seluruh pembangkit listrik berbasis fosil, hingga pengoperasian pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) 250 megawatt.

Grita Anindarini, Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menuturkan bahwa revisi PP tentang KEN ini seharusnya dijadikan peluang untuk memastikan target bauran energi nasional sejalan dengan target iklim yang aman.

Karenanya, bagi dia, revisi yang disusun seharusnya menetapkan target ketat pengakhiran ketergantungan pada energi fosil dan mengutamakan pengembangan energi terbarukan. 

“Memasukkan PLTN membawa risiko besar terhadap perlindungan hak hidup maupun hak atas kesehatan,” ujar Grita.

Draf revisi KEN sebenarnya menargetkan energi terbarukan hingga 52-54% pada 2050, jauh lebih tinggi dari target saat ini 31%. Namun, koalisi masyarakat sipil menilai, Pemerintah Indonesia perlu mengubah kebijakan dan strateginya dengan benar-benar mendorong pengembangan energi terbarukan.


Baca juga:

About the writer

Themmy Doaly

Themmy Doaly has been working as Mongabay-Indonesia contributor for North Sulawesi region since 2013. While in the last nine years he has also been writing for a number of news sites in Indonesia, including...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.