Gundukan batuan gamping di Kecamatan Kerek, Kabupaten Gresik itu menjadi perhatian ilmuwan dari Pusat Penelitian Geoteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pada batuan berukuran 50 meter kali 50 meter dengan kedalaman delapan meter, mereka menyuntikkan gas karbon dioksida (CO2).

Mereka sedang uji coba menerapkan teknologi karbonasi untuk menyerap gas karbon pada lokasi yang berdekatan pabrik Semen Indonesia di Gresik, Jawa Timur. “Potensi karbon yang terserap hingga mencapai 12,5 persen dari berat batuan gamping,” kata Kepala Tim Peneliti Geoteknologi LIPI, Anggoro T. Mursito kepada pers 11 September 2014 di Bogor.

Menurut Anggoro, teknologi itu membuat CO2 mengalami reaksi dan karbon akan tersimpan di dalam batuan gamping secara permanen. Memang, karbonasi terjadi bila karbon dioksida larut dalam air atau aqueous solution. Dalam bahasa lain, air dan gas karbon dioksida bereaksi untuk membentuk asam karbonat.

Penelitian di Gresik iklim merupakan salah satu bagian riset untuk mengembangkan teknologi alternatif penyerap karbon. Upaya ini masuk dalam kerangka mitigasi perubahan iklim yang disebabkan meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Salah satu gas itu adalah karbon dioksida.

Anggoro mengklaim LIPI berhasil mengembangkan beberapa teknologi untuk menyerap karbon. Lembaganya mengembangkan tiga cara, yaitu hanya mengalirkan gas karbon dioksida, memampatkan CO2 dengan bantuan suhu, dan yang terakhir dengan cara memampatkan dan menyedot kembali CO2.

Karbonasi merupakan teknologi yang dipakai menyerap karbon. Mereka juga menggunakan mineral clay dengan unsur sodium dan magnesium. “Dengan clay, efisiensi menyerap karbonnya sampai 1-11% dengan bantuan aktivator,” ujarnya.

Teknologi lainnya yaitu menggunakan limbah abu tandan kosong kelapa sawit. Limbah ini berasal dari pembangkit listrik tenaga uap biomassa yang memakai tandan kelapa sawit.

Menurut Anggoro, abu ini memiliki potensi menyerap CO2 hingga 25% pada suhu ruang. Penelitian menggunakan clay dan tandan kelapa sawit masih sebatas uji laboratorium. Anggoro menjelaskan penelitian dengan skala lebih besar dan lebih terperinci direncanakan dilakukan tahun depan. Itupun tergantung ada atau tidaknya dana, yang hingga saat ini belum jelas.

Budi Setiawan mengatakan riset ini bisa dijadikan salah satu skenario alternatif penurunan gas rumah kaca di Indonesia. “Sampai saat ini semua skenario berasal dari sektor kehutanan,” ujar Budi yang bertugas di Sekretariat RAN API (Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim) Bappenas.

Dia mengatakan jika hasil penelitian ini terbukti benar mampu secara potensial menyerap karbon, lembaganya akan memasukkan teknologi ini dalam skenario penurunan gas karbon. Sebelumnya Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas-gas rumah kaca sebesar 26 persen secara mandiri, dan sebesar 41 persen bila mendapat bantuan internasional. Januar Hakam.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.