Kekeringan melanda sebagian wilayah Indonesia. Perubahan iklim menambah penderitaan petani miskin dan menyisakan sedikit saja yang sanggup bertahan di sawah. Mereka beradaptasi dengan memanen kabut.

Semarang, JAWA TENGAH. Sepanjang sore tangan Kasilah menganyam jaring. Tepinya robek, sudah aus dimakan waktu. Ia harus cepat menutup sudut jaring itu, jika tidak, bulir padinya yang mulai menguning akan disantap burung. Tahun ini musim kering terlalu panjang dan tanah sawahnya mulai retak, tapi semua itu tak membuat perempuan ini patah semangat. Hanya pada dua are sawah miliknya itulah, nenek berusia 64 tahun dan bercucu 12 ini menggantungkan hidup.

Rembang petang di bulan September yang panas, tetap memberinya harapan sampai panen tiba di akhir bulan, walaupun kerepotan oleh hama wereng, tenggerek, dan burung yang jadi musuhnya sepanjang hari. “ Sawah ini harus diurus, karena hasilnya untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari,”katanya.

Tetapi Kasilah tahu, hasil panennya semakin tak bisa diandalkan memberi makan sekeluarga. Pasalnya, padi yang tumbuh bagus dan gemuk seringkali berakhir meranggas karena kekurangan air atau habis disantap hama. Hujan yang dinantinya pun tak kunjung turun.

“Kalau tidak dijaga bisa habis semua. Panen tetap bisa, tapi tidak seperti dulu, dapat 10 karung sudah untung karena banyak yang gabuk (kosong). Yang mentes (bernas) hanya sedikit, padahal modal beli jaring saja bisa sampai satu juta,” tuturnya. Selama musim kering ini, air untuk sawahnya hanya berasal dari saluran irigasi yang dialiri air limbah rumah tangga dari kompleks perumahan tak jauh dari situ.

“Sejak beberapa tahun terakhir hujan jarang turun di bulan Juli atau Agustus, padahal dahulu kami masih mendapat hujan di pertengahan tahun,” katanya.

Sawah Kasilah adalah satu dari ribuan petak sawah yang mengering. Di desa tetangganya di Meteseh, di Semarang, Jawa Tengah, sawah-sawah sudah lama dibiarkan mangkrak pemiliknya. Semak merambat di hamparan sawah. Tak ada lagi yang berharap hujan. “Pemiliknya sudah nggak pernah ke sini, sawahnya tidak pernah ditengok lagi,” ujar Karjo,34, warga Desa Meteseh.

Di dekat Desa Meteseh, yaitu di Kampung Deliksari dan Kalialang, Semarang, mata air Sendang Gayam yang selama ini biasanya dapat mencukupi kebutuhan 900 rumah, sekarang tidak bisa lagi. Debit airnya terus menyusut.

Dampak perubahan iklim

“Alirannya kecil jadi harus bergiliran dan hanya boleh mengambil dua pikul per minggu. Itu pun harus jalan dua kilometer melintasi bukit. Kalau droping air lewat truk tangki dari pemerintah, itu kan hanya sementara,” kata Marsudi, warga Deliksari.

Untuk memenuhi suplai air bersih, pemerintah setempat mengirimkan truk air, membangun instalasi persediaan air, dan pembuatan sumur untuk mengurangi wilayah-wilayah terdampak kekeringan. Badan Penanggulangan Bencana Semarang memang telah menyiapkan 3.000 tangki air bersih, menyusul bertambahnya wilayah yang mengalami kekeringan.

Untuk urusan pasokan air, Kepala Seksi Ekploitasi Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air, Arus Horizon, mengakui debit air di sejumlah bendungan besar di wilayahnya menurun khususnya Waduk Kedungombo yang selama ini mengairi lahan pertanian di Grobogan, Demak, Pati, Kudus, hingga Jepara.

Bahkan, diperkirakan air yang ada tidak dapat mencukupi kebutuhan musim tanam awal November mendatang. Padahal tahun lalu, Kedungombo surplus. “Kedungombo perlu penanganan khusus karena penguapan tinggi akibat cuaca ekstrim. Ketinggian air terus menurun. Sebenarnya sekitar lima juta meter kubik air di situ sudah menguap,” paparnya.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jawa Tengah memprediksi suhu udara pada September hingga Oktober 2014 sangat ekstrem. Analisis itu berhubungan erat dengan posisi matahari berada tepat pada garis edar di Katulistiwa pada bulan September-Oktober.

Posisi terdekat dengan matahari ini menyebabkan negara-negara di katulistiwa seperti Indonesia akan mendapatkan intensitas penyinaran terbanyak dan terkuat, yang berakibat pada naiknya suhu di permukaan bumi. Tambahan pula, hembusan angin muson timur dari Australia yang bersifat tandus, kering, dan panas.

“Dalam situasi seperti ini, suhu panas bisa mencapai ekstrem hingga 35-40°C,” kata Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG stasiun pemantauan Semarang, Reni Kraningtyas. “Kami katakan ekstrem karena suhu sudah mencapai 35°Celcius ke atas,” katanya.

Menurutnya, pengaruh El Nino terhadap kekeringan di Jawa Tengah pada tahun 2014 ini kurang signifikan, karena kondisi laut Jawa yang sama-sama hangat dan mudah memunculkan awan. Akibatnya, hujan sesekali turun di beberapa wilayah Jawa Tengah namun dengan intensitas tidak normal.

Tetapi, dampak perubahan iklim global yang membuat musim hujan tidak dapat lagi diramalkan, padahal 20-10 tahun lalu di Semarang para petani selalu mampu mengatur waktu menanam dan panen karena musim yang tak banyak bergeser.

“ Dulu pergeseran awal musim panas atau musim hujan paling lama satu minggu, jadi kami bisa mengatur waktu tanam dengan sumber air dari irigasi,” kata beberapa petani di beberapa desa yang didatangi Ekuatorial, “Tetapi sekarang bergesernya jauh sekali dan persediaan air irigasi sudah habis.”

Darurat kekeringan

Semarang adalah satu dari 12 kabupaten kota di Jawa Tengah yang sudah menetapkan status darurat bencana kekeringan. “Hampir 60 persen dari 35 kabupaten-kota di Jawa Tengah rawan kekeringan. Itu yang terparah dari 24 kabupaten kota rawan kekeringan di Jateng akibat kemarau panjang,” ujar Direktur Penanganan Darurat Bencana, J. Tambunan di Semarang .

Kepala Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Jawa Tengah, Siti Narwanti mengatakan sampai Agustus lalu sedikitnya 9.691 ha lahan pertanian padi di 20 kabupaten/kota mengalami kekeringan dan 319 ha puso. Jika diakumulasikan dari Januari hingga pertengahan Agustus ini, kekeringan mencapai 118.081 ha dan 10.700 ha puso.

Sementara itu, BMKG Stasiun Klimatologi Semarang memprediksi musim kemarau terjadi hingga bulan November mendatang dengan suhu mencapai 34 derajat celcius. Sebagian besar terjadi di wilayah pantura timur seperti Rembang, Pati, Blora, Demak, Semarang. “Mundurnya musim kemarau disebabkan El Nino kategori lemah yang mengakibatkan kemarau basah. Hujan baru mulai turun pada minggu ketiga November nanti,” kata Reni Kraningtyas dari BMKG Jawa Tengah.

Informasi tak sampai

Sejak beberapa tahun terakhir, BMKG Semarang telah memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk menyebarluaskan informasi tentang cuaca dan iklim. Mereka memakai media radio untuk merilis informasi setiap jam. Ada juga informasi tanpa jeda (real time) yang bisa diakses masyarakat melalui laman BMKG, ditambah pesan singkat melalui aplikasi WhatsApp (WA) dan telegram yang juga digunakan untuk mendapatkan informasi cuaca terbaru.

Namun sayangnya, seperti diungkapkan sendiri oleh Sukarno yang staf komunikasi BMKG, “Masyarakat umum atau petani juga bisa mendaftar untuk kebutuhannya, namun sepertinya belum ada yang daftar.”

Para petani seperti Kasilah, Karjo, atau Masudi memang belum mendengar jika pemerintah melalui BMKG menyediakan informasi terbaru berkaitan dengan cuaca di daerah mereka. Tidak ada juga penyuluh pertanian atau berita yang sampai kepada mereka tentang penggunaan SMS untuk informasi cuaca itu. Tambahan pula, dari hasil reportase Ekuatorial para petani itu sangat jarang membawa atau memakai telepon genggam, sehingga kehadiran para penyuluh pertanian atau petugas lainnya masih dirasakan penting.

Memanen kabut

Meskipun informasi iklim tak sampai ke telinga petani, namun selalu ada harapan di tengah kerontang tanah dan gemeretak batang padi yang tersengat panas. Pertengahan tahun 2013 lalu, sembari melakukan tugas pengabdian masyarakat di Dusun Ngoho, Kecamatan Sumowono, Semarang, empat mahasiswa dari Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gajahmada (UGM), menemukan jalan keluar.

“Penduduk di dataran tinggi dan berkabut ini menghadapi krisis air. Kami tergerak untuk mencari solusi bagi mereka,” kata Aditya, salah satu mahasiswa.

Saat itu, banyak warga Ngoho sudah enggan mengurus lahan pertanian dan dibiarkan bero (tidak ditanami), karena tidak ada pasokan air. Lahan pertanian ditinggalkan sementara hingga musim hujan tiba. Para petani pun beralih pekerjaan sebagai buruh musiman di kota-kota terdekat.

Dari enam sumur resapan yang ada di desa itu, yang dalamnya 25-45 meter, hanya dua yang masih berair. Bahkan sumur artesis bantuan Badan Geologi Jawa Tengah sedalam 185 m, tidak mampu memenuhi kebutuhan air dari 350 kepala keluarga di Ngoho.

Pipa saluran air yang menghubungkan sumber air sumur resapan dengan rumah warga tak lagi terisi. Sebagian warga iuran membeli tangki air untuk konsumsi, sedangkan untuk mencuci dan mandi, mereka pergi ke sungai di Sumowono dan Bandungan dengan menyewa mobil bak terbuka. Tambahan lagi, air dari dataran tinggi itu mengalir ke dataran lebih rendah karena pengaruh gravitasi.

Rupanya solusi yang dikatakan Aditya ada di dusun itu sendiri. “Ternyata potensi kabut di daerah ini cukup tinggi dan bisa dimanfaatkan. Setahun kemudian kami implementasikan teknologi pemanenan kabut,” kata Puji Utomo yang anggota Tim PKM Proyek Pengembangan Teknologi Pemanenan Kabut dari UGM. Dengan menggunakan dana hibah penelitian tak lebih dari Rp 9 juta dari Direktorat Pendidikan Tinggi, mereka memulai proyek itu.

Puji mengungkapkan, teknologi pemanen kabut atau fog harvesting dikembangkan dengan menggunakan peralatan sederhana. Untuk menangkap dan mengumpulkan air dalam kabut hanya dibutuhkan paranet, talang, tiang pemancang, pipa, selang, dan jeriken.

“Kami uji coba dengan paranet berukuran 1×1 meter dan di bawahnya dipasang talang untuk menampung air yang turun dari paranet. Dengan parameter ketinggian dan arah angin, paranet dapat memanen kabut 2,74 liter hingga 10 liter per hari.”

Dia menambahkan, dalam kondisi ideal dengan asumsi tingkat efisiensi 80 persen, ketersediaan air dari hasil pemanenan kabut ukuran 1 meter persegi, dapat mencapai 8 liter/hari. Ukuran 16 m persegi bisa menampung 102,4 liter/hari. Sebenarnya, fog harvesting juga bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan air rumah tangga yang diperkirakan sebesar 10 liter per orang per hari serta kebutuhan air untuk memasak sebesar 20 liter per orang per hari.

“Selain pengamatan, potensi air diprediksi dengan menghitung data metereologi, kandungan titik air, luas jaring pengumpul, kecepatan angin dan durasi kabut. Kami bisa modifikasi arah angin dan bahan jaring pengumpul karena faktor yang lain bergantung pada kondisi cuaca dan lingkungan sekitar,” imbuhnya.

“Kami pasang instalasi pemanen kabut dengan bentang delapan meter dengan pemasangan huruf L agar tangkapan kabut bertambah,” papar Vianita Meiranti Yogamitria, anggota tim lainnya.

Semua bahan seperti paranet yaitu jaring dari bahan plastik polipropilen, besi batangan (hollow), talang, drum, pipa paralon, selang, kawat, semen, kerikil dan pasir, hanya membutuhkan dana sekitar Rp 400 ribu dan dikembangkan lebih sederhana dan ekonomis dengan mengganti bahan baku yang bisa didapat di daerah sekitarnya.

Penduduk hanya perlu membeli paranet Rp 10 ribu per meter, paralon, selang air dan talang, sedangkan besi hollow bisa diganti dengan bambu sebagai tiang penyangga dan dipendam beberapa puluh sentimeter saja di dalam tanah. Bingkai paranet juga dibuat dari bambu.

“Kami menyesuaikan dengan ketersediaan bahan lokal dan dana agar mudah diaplikasikan. Sebisa mungkin bahan mudah didapat tetapi hasilnya optimal. hanya perlu menyesuaikan efisiensi dari jaring pengumpul,” kata Vianita.

Bahan yang digunakan tentu saja berpengaruh pada air yang dihasilkan, khususnya jaring pengumpulnya karena tiap bahan menghasilkan volume air yang berbeda. Misalnya diganti dengan ijuk pohon aren yang banyak tumbuh di Dusun Ngoho. Penggunaan bahan fiber juga pernah diujicobakan untuk mengekstraksi air dari kabut.

Alat panen ini bisa bekerja secara manual. Hanya dengan menjaring awan stratokumulus, si awan pembawa jutaan butiran titik air yang terbawa arah angin ke permukaan pegunungan dan sekitarnya, hingga menempel ke lapisan jaring. Dengan prinsip gravitasi, butiran air yang tertangkap jaring akan jatuh ke talang, lalu dialirkan melalui paralon yang ditampung di jeriken.

“Kabut itu awan lembap pada permukaan bumi yang mengandung jutaan butiran air yang sangat kecil dan melayang di udara,” ujar Vianita, “Makanya alat ini bisa mengondensasi kabut jadi air.”

Panen kabut ini kemudian dikombinasikan dengan sistem irigasi tetes di lahan pertanian agar penggunaan air kabut lebih efektif. Pengaliran airnya juga menggunakan prinsip gravitasi. “Kami gunakan alat irigasi tetes dengan menambahkan selang dan infus tanaman sehingga air langsung meresap ke tanah. Investasinya juga sangat terjangkau untuk petani,” kata Puji Utomo.

Cuaca berperan penting dalam mengaplikasikan teknologi inovatif fog harvesting yang masih relatif tradisional dan sederhana. Namun, air yang dihasilkan masing-masing alat berbeda. Tergantung dari durasi kabut, kandungan titik air pada kabut, arah dan kecepatan angin, serta efisiensi dari jaring pengumpul. Kelembapan dan temperatur juga memengaruhi hasil.

“Ketika musim kemarau kami tidak bisa menanam, tapi dengan bantuan alat pemanen kabut ini kekurangan air dapat diatasi dan kami bisa panen. Bagian utama alat pemanen itu adalah paranet atau jala plastik yang memilki rongga cukup kecil, yang akan memerangkap kabut yang berbentuk gas itu, lalu mengubahnya menjadi air.

Di Desa Kemitir, paranet sepanjang 8 meter dan selebar 1 meter itu dibagi dua masing-masing 4 meter lalu dibentangkan pada ketinggian 2-3 meter di atas tanah, dengan penyanggu bambu. Sepanjang malam dan subuh, air yang terperangkap di jala itu akan menetes dan ditampung dalam sebuah pipa atau bambu yang terbuka bagian atasnya, lalu dari dalam penampung akan mengalir lewat selang plastik ke dalam ember besar.

Alat pemanen kabut (fog harvesting) yang dipasang di punggung perbukitan Sumowono yang memiliki ketinggian 1.500 meter dari permukaan laut. Dusun terluar dari Kabupaten Semarang yang berada di dataran tinggi Ungaran dan berbatasan dengan Kabupaten Temanggung ini memang diselimuti kabut sepanjang tahun.

Hampir setiap pagi, awan yang membawa butiran air itu muncul, juga saat kemarau. Namun kabut menyusut jika hujan mulai turun. “Penangkap kabut ini lebih lebih cocok dipakai ketika kemarau panjang,” katanya.

Di Indonesia, teknologi menangkap kabut baru dimulai di Dusun Ngoho, Semarang. “Tetapi di beberapa negara, teknologi itu sudah berkembang. Itupun berbeda-beda sesuai dengan potensi kabut, ketinggian wilayah, dan kecepatan angin,”papar Aditya Rizky Taufani, salah satu penggagas fog harvesting di desa itu.

Untuk tanaman di dataran rendah, air dari kabut ini dapat dikombinasikan dengan irigasi tetes dengan menggunakan ember berukuran besar yang ditaruh di sebuah menara air. Dengan gaya gravitasi, air akan mengalir ke bawah dan volume air yang keluar dapat diatur dan disebarkan ke sebanyak mungkin kepada tanaman yang ingin diberi air.

Ternyata setiap alat panen kabut di desa Kemitir mampu menangkap kabut dan menghasilkan 25 liter air per hari untuk keperluan pertanian. “Ini teknologi sederhana tetapi sangat membantu karena potensi kabut di sini sangat tinggi meski di siang hari,” kata Puji Utomo.

Pertolongan dari kabut itu sudah mulai memperlihatkan hasilnya. “Saya sudah memetik cabai di lahan ini sebanyak delapan kali,” ujar Utomo, petani sayur dari Desa Ngoho, sambil menyiangi tanaman cabai yang siap petik. Seribu batang tanaman cabai yang sudah berumur enam bulan itu semestinya diganti dengan tanaman baru.

“Saya siram tanaman saya dengan air kabut setiap hari,”ungkap lelaki yang juga menjabat sebagai Kepala Desa Kemitir sambil menunjuk paranet dengan penyangga bambu di pinggir tanah pertaniannya. Tiap pagi ia mendapatkan sekitar 20- 25 liter air dari panen kabut, dan itu cukup mengairi kebunnya.

Musim kemarau panjang membuat harga cabai melonjak sampai Rp 24 ribu per kg. Kenaikan ini membuat Utomo semakin telaten merawat kebunnya. Hari itu, ia tak jadi memetik cabainya setelah melihat banyak buahnya masih hijau, tetapi ia yakin tanaman yang sudah menghasilkan puluhan kuintal itu masih bisa panen sekali lagi. “Airnya cukup, jadi saya yakin bisa panen,” katanya.

Kecamatan Sumowono memang salah satu pemasok cabai terbesar di Kabupaten Semarang, dengan luas areal penanaman cabai hampir 600 ha, dan mampu memproduksi 35 ribu meter kubik cabai tiap tahun. Pada musim kemarau seperti ini, hasil panen ternyata tetap memuaskan meski empat bulan terakhir ini tak turun hujan, karena tercukupi oleh air dari panen kabut.*

*Liputan dilakukan bersama dengan IGG Maha Adi.

About the writer

Before becoming a freelance journalist, Noni worked as a correspondent for Radio Deutsche Welle Germany, Radio News Agency (KBR), Suara Merdeka Daily, News Anchor and Producer of Radio Elshinta. Noni is...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.