Peraturan Bupati tahun 2018 tentang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Berbasis Masyarakat Adat ditujukan untuk memberdayakan masyarakat adat dalam mempertahankan hak-hak mereka, selain memperjuangkan pekerjaan konservasi lingkungan. Namun masih diperlukan peninjauan ulang beberapa peraturan di tingkat propinsi dan pusat agar Perbup ini dapat berfungsi dengan baik.
Oleh Jekson Simanjuntak
Wakatobi, SULAWESI TENGGARA. Sebagai sebuah kabupaten kepulauan yang memiliki lingkungan karang dan perairan yang terkenal masih asri serta keanekaragaman hayati laut yang kaya, Wakatobi merupakan salah satu daerah yang aktif melibatkan masyarakat hukum adat setempat dalam usaha pelestarian lingkungan.
Sejumlah wartawan yang mengunjungi Wakatobi baru baru ini dengan didampingi staf dari Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) yang sudah mendampingi Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Wakatobi sejak 2014, jelas menyaksikan keindahan perairan ini. Langit yang cerah serta laut biru menyapa rombongan 20 orang yang menumpang kapal menuju Pulau Tomia, sekitar dua jam perjalanan dari Pulau Wangi-Wangi, pusat pemerintahan kabupaten Wakatobi.
“Disini kesadaran masyarakat sudah baik, sehingga tidak membuang sampah ke laut. Itu juga karena peran hukum adat yang masih dipatuhi masyarakat,” La Ode Arifudin, Stakeholders Engagement Coordinator YKAN mengatakan dalam perjalanan itu. Dan memang, tidak nampak sampah plastik mengotori perairan sepanjang perjalanan.
YKAN, organisasi dibawah payung lembaga The Nature Conservancy (TNC), berkeyakinan bahwa masyarakat adat menjadi benteng terakhir dalam menyadarkan masyarakat tentang pentingnya pengelolaan sumberdaya alam yang lestari. YKAN juga merupakan salah satu motor penggerak dibalik keluarnya Peraturan Bupati (Perbup) di tahun 2018 tentang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Berbasis Masyarakat Adat.
“Pada prinsipnya, kami ingin melihat masyarakatnya sejahtera, kemudian juga alamnya terjaga,” ujar Ketua Pelaksana Interim YKAN Herlina Hartanto.
Herlina juga memastikan keluarnya perbub tentang pelibatan masyarakat adat, sebagian besar dikarenakan adanya desakan dan kesadaran masyarakat setempat sendiri.
“Munculnya perbup tentang masyarakat adat merupakan proses yang alami. Yang memang diinisiasi oleh mitra sendiri, dalam hal ini masyarakat adat dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi,”ungkap Herlina.
Sementara bagi La Ode Saidin, Lakina Barata Kahedupa (ketua masyarakat adat di Pulau Kaledupa) sangat menghargai dikeluarkan nya perbup tentang masyarakat adat. Ini semakin menguatkan peran lembaga adat yang dipimpinnya.
“Saya berikan contoh salah satu hasil kerja TNC selama ini, yang betul-betul kami sangat merasakan adalah keluarnya peraturan bupati tentang pengakuan Barata Kahedupa di Wakatobi”, ujar La Ode Saidin.
Saat ditemui dikantornya, Bupati Wakatobi H. Arhawi mengatakan bahwa pemerintah kabupaten sangat menghormati dan menghargai kearifan lokal, terutama masyarakat hukum adat, dalam upaya mereka menjaga lingkungan.
Pemerintah Kabupaten Wakatobi menyadari, bahwa tanpa pelibatan komunitas adat, usaha konservasi tidak akan membuahkan hasil. Selain itu, wilayah yang luas memang membutuhkan pelibatan semua pihak.
“Di seluruh Kabupaten Wakatobi ini ada beberapa komunitas adat. Di Wanci misalnya, ada Kadie Wanse, Kadie Mandati, Kadie Kapota dan Kadie Liya. Mereka ini sangat dihormati oleh masyarakat. Kita melibatkan mereka untuk menjaga laut,” ujar Arhawi.
Gali kearifan lokal Kaledupa
Konservasi kawasan Wakatobi seluas 1,39 juta hektar yang telah ditetapkan sebagai Taman Nasional sejak 1996, tidak bisa dilepaskan dari partisipasi komunitas setempat, terutama masyarakat hukum adatnya, serta pemerintah setempat.
Dalam membentuk dan menguatkan kelembagaan masyarakat di Wakatobi, YKAN berkolaborasi dengan sejumlah lembaga lainnya, seperti Yayasan Telapak saat menelusuri jejak aturan adat, dan Yascita, NGO lokal yang peduli terhadap pemetaan wilayah adat di Wakatobi.
Sebelumnya, ditahun 2007, TNC juga terlibat dalam program rehabilitasi terumbu karang bersama WWF melalui proyek World Bank’s Coral Reef Rehabilitation and Management Program-Coral Triangle Initiative (COREMAP CTI) untuk memetakan keragaman wilayah hayati seluas 1,39 hektar laut yang juga melibatkan masyarakat adat.
“Waktu periode joint program TNC-WWF sekitar 2005-2012, kegiatannya banyak terkait monitoring sumber daya, community outreach, hinga peningkatan kapasitas personil BTNW,” jelas Ayub Pollii, petugas Balai Taman Nasional Wakatobi (BTNW) yang sering diundang dalam kegiatan TNC.
Bagi Arifudin, kerja-kerja itu menjadi modal awal yang kuat. “Itu landasan awal kami. Kami mencoba menggali kembali kearifan lokal melalui masyarakat hukum adat, pada tahun 2015,” ujar Arifudin.
Sementara, penelusuran jejak adat yang dilakukan oleh YKAN menghasilkan beberapa rekomendasi, termasuk perlunya merevitalisasi aturan adat beberapa wilayah adat, seperti Limbo Tombuluruha di Bharata Kahedupa, sebutan bagi Pulau Kaledupa.
Pada tahun 2017, YKAN lalu bermitra dengan Forum Kahedupa Taudani (Forkani), membantu merevitalisasi aturan adat di Limbo Tombuluruha.
“Aturan itu disambut baik pemerintah desa. Mereka lalu bekerjasama secara adat dengan Limbo Tombuluruha untuk melakukan monitoring/pengawasan lingkungan berbasis adat,” ungkap Arifudin.
Ketua Forkani, La Beloro, menyebut pendekatannya dalam penguatan hukum adat di Kaledupa berbasis konservasi. Usaha ini dimulai pasca pertemuan besar TNC-WWF pada tahun 2004, yang melibatkan semua pemangku kepentingan di Wakatobi.
Setelah sukses dengan program revisi zonasi laut bagi nelayan Wakatobi di tahun 2017, penguatan kelembagaan adat kembali dibahas dan berlanjut hingga 2019, ketika Forkani menyerukan pelibatan masyarakat hukum adat dalam forum konservasi yang dihadiri berbagai kalangan.
“Jika bicara konservasi, nenek moyang kami telah memikirkan itu, walaupun judulnya bukan konservasi. Bagaimana kami memperlakukan alam, bagaimana kami mendapatkan ikan besar, bagaimana pada saat hajatan, masih punya ikan yang mudah ditangkap, itu dibangun sistemnya”, ujar La Beloro.
Dalam perkembangannya, hukum adat di Kaledupa mendapatkan dukungan dana desa untuk memonitor sumberdaya laut, seperti patroli dan pengawasan bank ikan. Inisiatif itu kemudian memunculkan kesadaran diperlukannya payung hukum bagi pelibatan masyarakat adat dalam pengelolaan lingkungan.
“Pilihannya Perbup. Harapannya, payung hukum tersebut juga melindungi masyarakat adat di pulau lain di Wakatobi,” kata La Beloro.
Sambil menunggu perbub ditanda tangani, pemetaan wilayah adat terus dilakukan. Selain menemukan sembilan wilayah adat di pulau Kaledupa, pemetaan juga dilakukan di Pulau Tomia yang letaknya berseberangan dan yang kemudian diketahui memiliki tiga wilayah adat.
“Sempat ada tantangan dari atasan kami, mengapa masyarakat adat di Tomia tidak didata sekalian? Kami merasa tertantang lalu kami petakan wilayah dan hukum adat disana,” papar Arifudin, dengan menambahkan bahwa pemetaan sekaligus di dua pulau tersebut diharapkan dapat menghindari kecemburuan antara masyarakat disana.
Pendataan yang berlangsung kurang lebih satu tahun itu juga sekaligus mencari persamaan diantara wilayah adat yang ada.
“Inisiatif itu kemudian berlanjut menjadi draft yang diajukan sebagai perbup. Pembahasannya berawal di tingkatan pulau (Kaledupa dan Tomia), lalu dibawa ke Kabupaten,” ungkap Arifudin. Sementara di Kaledupa YKAN bekerjasama dengan Forkani, di Tomia bekerja bersama dengan Komunto (Komunitas Nelayan Tomia.)
Pada tanggal 3 Desember 2018, Arhawi menandatangani Peraturan Bupati tentang Masyarakat Hukum Adat dengan nomor 44 untuk Bharata Kahaedupa (Kaledupa) dan nomor 45 untuk Kawati di Pulau Tomia.
Herlina menyebut penguatan hukum adat di kedua pulau itu membutuhkan waktu panjang dan banyak menghadapi tantangan, salah satu diantaranya dikarenakan tidak lagi homogennya masyarakat, dengan banyaknya pendatang yang kemudian menetap.
Untungnya, proses penguatan masyarakat adat dilakukan secara swadaya oleh masyarakat sendiri, sehingga resistensinya tidak besar.
“Jika masyarakat adat yang memimpin proses itu, maka lebih mudah untuk menemukan dan menyelesaikan masalahnya, jika ada potensi konflik,” katanya.
Hasil pendataaan budaya yang dilaukan YKAN menemukan beberapa hal menarik, seperti tradisi lisan, adat istiadat, ritus, hingga pengetahuan tradisional.
Hukum adat masih diperlukan
Pemerintah Kabupaten Wakatobi menghadapi permasalahan wewenang dalam penegakan hukum. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan bahwa penerapan sanksi bagi pelaku ilegal fishing dan perusak ekosistem laut, berada diluar kewenangan Pemkab Wakatobi dan Taman Nasional.
“Sehingga ketika ada orang berbuat sesuatu di dalam kawasan (taman nasional), kadang kita cuma melihat saja, karena tidak punya kewenangan untuk menindak,” ujar Arhawi saat ditemui kantornya.
Pemerintah kabupaten juga tidak memiliki kewenangan untuk pengelolaan laut, di mana untuk jarak 0–4 mil kewenangannya ada di kabupaten/kota, sementara 4-12 km dikelola oleh provinsi, dan 12 mil ke atas kewenangannya ada di pemerintah pusat.
“Kebijakan ini telah menghapus kewenangan kabupaten/kota. Akibatnya kita merubah nomenklatur, sehingga yang tersisa hanya Dinas Perikanan, sementara Dinas Kelautan ditiadakan” kata Arhawi.
Kebijakan itu memiliki banyak kelemahan, ditambah lagi tidak ditopang anggaran yang memadai.
“Sehingga, harapan pemerintah, bahwa, otonomi daerah bisa memaksimalkan potensi daerah, agar memiliki kemandirian, menjadi sia-sia. Padahal kita punya potensi, tapi tidak punya kewenangan untuk memaksimalkannya,” keluh Arhawi.
Kendati demikian, menurut Arhawi, kebijakan itu akan tetap dijalankan karena merupakan amanah UU.
Ditariknya kewenangan pengawasan ke tangan pemerintah provinsi dan pusat, menjadi momentum yang baik bagi masyarakat adat untuk tampil. Masyarakat adat melalui peraturan bupati menjanjikan harapan baru dalam pengelolaan kawasan pesisir dan laut berbasis kearifan lokal.
“Ini semacam bentuk eksistensi masyarakat hukum adat. Kolaborasi ini penting untuk menjaga lingkungan di kawasan Taman Nasional Wakatobi,” kata Arhawi.
Fakta juga membuktikan bahwa hukum adat masih memegang peran penting dalam kehidupan masyarakat Wakatobi, diluar hukum negara yang ada.
“Masyarakat sangat hati-hati, karena ada sanksi adat yang didapat jika kedapatan melanggar,” kata Arhawi, dengan menambahkan bahwa sangsi sosial menanti para pelanggar.
Sepanjang pengamatan Ekuatorial, ada beberapa larangan adat yang harus dipatuhi oleh masyarakat setempat, seperti tidak mengambil ikan di bank ikan kecuali di waktu-waktu yang ditentukan. Kebijakan ini berlaku di Tomia. Sementara di Kaledupa, ada larangan mengambil gurita di musim-musim tertentu, termasuk juga melarang pengambilan ikan di lokasi yang telah disepakatai bersama.
Jika larangan itu dilanggar, para tetua, misalnya, tidak akan mau menghadiri hajatan bila yang mengadakannya tidak menuruti keputusan adat, demikian ujar Arhawi.
Hal yang sama juga terjadi jika ada yang meninggal. “Kalau tidak menghormati adat, maka tidak akan diselenggarakan jenazahnya secara Islam. Itu pentingnya mengapa masyarakat tunduk pada hukum adat,” ujarnya.
Sementara bagi Arifudin, selalu ada celah yang bisa dimanfaatkan hukum adat, ketika ada hal yang belum diatur di hukum negara.
“Contohnya, masyarakat lebih patuh dan lebih takut kepada aturan adat, ketimbang hukum positif (negara). Karena itu kita ingin hukum adat mampu mendukung hukum positif,” ujar Arifudin.
Hukum adat dukung hukum negara
Sejak tahun 1970-an, sistem hukum adat di Indonesia mulai melemah, seiring dengan menguatnya hukum negara.
YKAN menilai kehadiran hukum adat seharusnya mampu bersinergi memperkuat hukum negara, ujar Arifudin, dengan menambahkan bahwa dalam banyak hal, hukum adat dan hukum negara saling mengisi.
“Contoh kecil misalnya, di hukum negara ada larangan pengambilan Kima (kerang raksasa), di hukum adat juga demikian,” ujarnya. Jika diperhatikan lebih seksama lagi, hukum adat merupakan perwujudan dari konservasi.
Ia mencontohkan dikeramatkanya suatu tempat misalnya, memungkinkan menjaga kawasan tersebut tetap lestari.
“Masyarakat adat menganggapnya keramat, tapi Itulah konsep konservasi yang turun temurun. Dalam hal kepatuhan, saya melihatnya masyarakat tak berani melanggarnya,” ungkap Arifudin.
Sementara bagi Herlina, hukum adat yang diwariskan dari generasi ke generasi memiliki kearifannya sendiri dan akan terus berevolusi serta beradaptasi mengikuti zaman.
“Adat itu tidak statis. Dia ada sekarang karena kemampuan, baik masyarakat adat ataupun adat sendiri telah beradaptasi sesuai waktu, melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan,” papar Herlina.
Untuk Wakatobi, Herlina menyebut masyarakat masih mematuhi aturan adat, karena hal itu menjadi bagian dari identitas mereka. Sehingga akan lebih bijaksana jika menggunakan sesuatu yang sudah bisa diterima secara luas oleh masyarakat.
Contohnya untuk mengatur dan mengelola sumberdaya alam secara lestari.
“Kita dengar sendiri, pamali-pamali lebih ditakuti oleh warga dibanding peraturan yang lain, menurut saya memang harus seperti itu,” ujar Herlina.
Penguatan hukum adat
Saat ini, peraturan bupati terkait pelibatan masyarakat adat belum efektif dalam membangun eksistensi hukum adat. Karena itu perlu terus membangun rasa percaya diri dan penguatan perangkat adat, khususnya terkait tugas pokok dan fungsinya.
Di sisi lainnya, juga diperlukan regenerasi orang orang yang menguasai hukum adat dan dapat mengemban tugas sebagai perangkat adat.
“Ketika sudah ada Perbup sebagai payung hukum, kita juga perlu melakukan sejumlah tahapan sebelum benar-benar menerapkan aturan adat. Misalnya membangun kapasitas sumberdaya manusia, melakukan sosialisasi tentang tugas pokok dan fungsi, termasuk sosialisasi aturan-aturan yang ada di perbup ini”, ungkap Arifudin.
Agar perbup dapat berjalan optimal, Herlina menggaris bawahi perlunya menjalin kerjasama dengan banyak pihak, termasuk Taman Nasional Wakatobi, karena pengelolaan sumberdaya alam memiliki dimensi yang sangat kompleks.
“Tidak mungkin ada satu lembaga menjadi superman atau superwomen, bisa menyelesaikan masalah itu sendiri. Itu tidak mungkin. Oleh karena itu harus koordinasi, sinergi itu keharusan,” ujar Herlina
Ia juga mengingatkan bahwa masih perlu dilakukan kajian ilmiah yang lebih mendalam terkait kearifan lokal untuk membuktikan bahwa hukum adat tidak bertentangan, namun sebaliknya mendukung penerapan kebijakan pemerintah.
“Data-data ilmiah dari suatu kajian dan kearifan lokal di suatu daerah seringkali klop, karena basis keduanya sebetulnya sama,” kata Herlina. Pada hakikatnya, kearifan lokal, seperti juga penelitian ilmiah, didasarkan atas pengamatan, ujarnya.
Menurutnya, pengalaman YKAN di lapangan menunjukkan informasi yang diperoleh dari pendekatan ilmiah seringkali sangat membantu, baik warga maupun pemerintah daerah.
“Ketika kami mempresentasikan data-data ilmiah, masyarakat dan pemerintah setempat menerimanya. Inilah nilai lebih yang kami bawa dalam upaya melestarikan alam,” ujarnya.
Sementara bagi Arifudin yang telah terlibat sejak lama dalam pendampingan masyarakat, kearifan lokal tidak bertentangan dengan kegiatan konservasi, hanya saja mungkin ada beberapa perkembangan yang perlu ditinjau kembali. Ia mencontohkan kecenderungan masyarakat untuk modifikasi alat tangkap.
“Jika dibiarkan, menurut kami akan mengarah kepada over eksploitasi. Mengapa kita tidak kembali kepada alat tangkap yang ramah lingkungan dan itu cenderung bisa mempertahankan sumberdaya alam kita”, ungkapnya.
Karena itu, Arifudin meyakini pendampingan perlu dilakukan, walaupun memakan waktu lama, untuk mengetahui aspirasi masyarakat dan berbagai permasalahan terkait lingkungan yang dapat diselesaikan.
“Kalau tantangannya adalah wilayah adat yang luas, maka hukum adat harus dipatuhi bersama. Karena dengan berlalunya waktu, biasanya makin kompleks persoalan yang dihadapi masyarakat. Dan masyarakat hukum adat harus siap degan itu”, ujar Arifudin.
Evaluasi hukum adat
Masyarakat Hukum Adat (MHA) memiliki hak kelola terhadap sumber daya alam, karena mereka telah tinggal di sebuah kawasan cukup lama, dengan kearifan yang diturunkan secara turun temurun. Namun bukan berarti masyarakat hukum adat tidak butuh evaluasi.
Program YKAN yang selama ini memang belum sampai pada tahap evaluasi di Wakatobi, mengingat proses penguatan hukum adat baru saja dimulai.
“Setelah wilayah adatnya disepakati, yang dilakukan selanjutnya adalah penguatan kelembagaan. Nanti jika lembaga adatnya sudah kuat, maka kita akan melakukan evaluasi,” ujar Herlina.
YKAN meyakini bahwa pengelolaan taman nasional memerlukan sumberdaya manusia dan dana yang sangat besar.
“Karena itu, jika memang masyarakat dengan hukum adatnya bisa membantu pengelolaan kawasan, mengapa tidak? Malah bagus dan harus didukung”, ujar Herlina.
Sementara itu Herlina tidak berani berspekulasi mengenai kemungkinan penguatan Peraturan Bupati (Perbup) ditingkatkan menjadi Peraturan Daerah (Perda) dan mengatatkan bahwa YKAN akan selalu berusaha mengoptimalkan peraturan yang sudah ada.
“Kita lihat saja dalam perjalanannya nanti. Jika memang perbub dirasa kurang, kita bisa mendorong dibentuknya Perda (Peraturan Daerah),” katanya.
Namun pengalaman YKAN selama ini menunjukkan jika nantinya masyarakat adat merasa Perda diperlukan untuk melindungi sumberdaya alam, maka prosesnya akan bergulir secara alami.
“Kami jarang secara ujug-ujug datang mengajukan usulan peraturan ke pemerintah setempat. Biasanya prosesnya bottom up, itu yang kami lakukan. Jika dirasa cukup untuk sementara, maka kami bisa melakukan yang lain lagi,” pungkas Herlina.
Herlina menilai masih banyak pekerjaan rumah yang juga harus diselesaikan. Ketimbang berkutat dengan aturan baru, yang tidak bisa dilaksanakan, bekerja sesuai aturan yang telah ada menjadi pilihan terbaik.