Semarang memiliki laju penurunan tanah tertinggi kedua di dunia. Jenis tanah, beban bangunan, dan penggunaan air tanah dalam dikatakan ahli, jadi sumber penyebab utama.
Air laut Jawa pasang dua kali setahun, Desember-Januari dan April-Mei. Tapi rob Semarang pada 23 Mei 2022 datang tak seperti biasa. Tinggi banjir hampir dua meter merendam permukiman paling padat di pesisir ibu kota Jawa Tengah itu hingga pelabuhan Tanjung Mas melumpuhkan aktivitas ekonomi.
Bahkan di Tanjung Mas, Bandar Harjo, dan Kemijen—permukiman yang tak jauh dari pelabuhan—air rob tak surut setelah dua hari. Saat itu, sebanyak 13.500 karyawan dan buruh pabrik di 19 perusahaan tak bisa bekerja. Sepeda motor tenggelam. Pagar pembatas dengan laut di kawasan industri jebol hingga air seperti bah menyerbu daratan.
Di Tambak Lorok, penduduk yang punya rumah dua lantai bertahan di lantai atas. Mereka yang rumahnya terendam mengungsi ke masjid atau tempat lebih tinggi. “Sudah lama rob tak setinggi itu,” kata Marzuki, 33 tahun, nelayan di Tambak Lorok, Kelurahan Tanjung Mas. Tinggal di RT 06 RW 16 kampung nelayan yang tanahnya sudah diuruk, Marzuki beruntung, banjir rob tidak masuk ke rumahnya.
Lain cerita bagi Alfiyah, tetangga Marzuki yang rumahnya terpisah 200 meter. “Barang-barang habis semua,” kata Ketua RT 05 RW 16 ini pada Juli lalu. “Kulkas, mesin cuci, rusak semua.” Setelah puncak banjir pun setiap hari air masuk ke bagian rumahnya yang belum ditinggikan. “Setiap hari begini,” kata Alfiyah, 52 tahun, sembari membersihkan ikan dan mempersiapkan makan siang di teras depan, satu-satunya bagian rumahnya yang kering.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menyebut banjir rob Semarang pada 23 Mei 2022 ini karena laut pasang akibat bulan purnama yang berdekatan dengan perigee, istilah untuk fenomena alam ketika jarak bulan dan bumi berada pada titik terdekat. Ketika purnama dan perigee bergabung, ia membuat air laut pasang lebih tinggi.
Direktur Observatorium Bosscha Premana W. Premadi meragukan dugaan BMKG tersebut. Menurut dia, perigee—jika pun ada—terjadi sesaat. Sementara banjir rob Semarang rutin datang dua tahun sekali. Lagi pula, katanya, perigean spring tide, paling tinggi 8-10 sentimeter. “Kalau sampai 1,5 meter pasti ada pengaruh lain. Mungkin persoalan gelombang yang memang tinggi atau penurunan tanah,” katanya.
Dugaan Permana masuk akal. Laju penurunan tanah di Semarang terbilang masif. Penelitian Pei-Chin Wu, Meng Wei, dan Steven D’Hondt (2022) menyimpulkan Semarang sebagai kota dengan laju penurunan tanah tertinggi kedua di dunia sebesar 3,96 sentimeter per tahun. Laju penurunan tanah Semarang hanya kalah oleh Kota Tianjin di Cina yang turun 5,22 sentimeter. Adapun Jakarta menjadi kota ketiga dengan penurunan tanah sebesar 3,44 sentimeter per tahun.
Penelitian yang dipublikasikan pada 16 April 2022 di jurnal Geophysical Research Letter Volume 49 Issue 7 ini mengamati 99 kota pesisir menggunakan Radar Apertur Sintetis Interferometrik (InSAR). Hasilnya, sepertiga kota pesisir di dunia mengalami penurunan tanah yang lebih cepat dari pada naiknya permukaan laut.
Kepala Laboratorium Geodesi Institut Teknologi Bandung Heri Andreas malah memberikan angka lebih fantastis. Menurut perhitungannya, penurunan tanah di Tambak Lorok, Jalan Kaligawe, dan Kecamatan Genuk mencapai 10-15 sentimeter per tahun. Penyebabnya, kata Heri yang sudah meneliti kawasan pantai utara Jawa selama 14 tahun, karena faktor jenis tanah pesisir Semarang, beban bangunan, dan penggunaan air tanah dalam.
Daratan Semarang terbentuk karena proses vulkanologi Gunung Ungaran. Peta Geologi menunjukkan kota ini terbentuk dari formasi batu konglomerat dan breksi vulkanik, serta batuan muda yang terbentuk dari endapan material alluvium atau alluvial seperti lempung hingga pasir. Formasi tanah alluvial di bawah Semarang berada di kawasan pesisir, dari Kecamatan Tugu hingga Genuk.
Komposisi tanah alluvial biasanya belum terkonsolidasi dengan baik sehingga mudah terkikis air. Jenis tanah ini yang membuat pertumbuhan garis pantai Semarang yang cukup tinggi dari tahun 1847 hingga 1991.
Jika menghitung deskripsi Van Bemellen dalam The Geology of Indonesia (1949) dan citra satelit landsat, pertumbuhan garis pantai sejak 1847 hingga 1940 mencapai 581 meter. Sementara pada tahun 1940 hingga 1992 sebesar 303 meter. Artinya, garis pantai Semarang merangsek hampir satu kilometer dalam setengah abad.
Tanah alluvial yang rentan kian ambles karena di atasnya berdiri bangunan-bangunan berat. Pelabuhan Tanjung Emas yang terus ditumbuhi pabrik, tempat bongkar muat peti kemas, serta makin padatnya permukiman membuat tanah alluvial kian ambyar.
Pelabuhan yang berdiri pada abad ke-16 ini dulu dikenal dengan nama pelabuhan Semarang. PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) mulai mengelola pelabuhan ini pada 1985. Delapan tahun kemudian, PT Lamicitra mengelola sebagian arealnya sebagai kawasan berikat.
Kepadatan penduduk di permukiman juga berkontribusi mempercepat laju penurunan tanah. Pada 1905 penduduk Semarang hanya 96.000 jiwa, tumbuh 14 kali lipat pada 2005 menjadi 1.435.800 jiwa. Pertambahan penduduk tertinggi terjadi pada 1970-1980.
Faktor ketiga adalah pengambilan air tanah dalam yang membuat tanah di bawah Semarang makin labil. Ketika air tanah diambil secara berlebihan, akuifer akan tertekan dan bisa menyebabkan terjadinya penurunan muka tanah. Penurunan muka tanah inilah yang diduga berkontribusi terhadap naiknya banjir rob.
Tanah di pesisir Semarang kian terdesak, karena setelah turun, rob menghajarnya. Tanah yang sudah turun itu pun kehilangan daya tampung dan berubah menjadi cekungan. Genangan pun semakin dalam dan semakin sulit dialirkan ke laut. Itu sebabnya rob Semarang pada 23 Mei tak kunjung surut bahkan setelah sebulan.
Amrta Institute for Water Literacy — organisasi yang fokus membangun kesadaran masyarakat tentang pengelolaan air, keberlangsungan, dan hak publik — pernah menggelar penelitian pada 2020 yang hasilnya menyebutkan sebanyak 79,7% penduduk Semarang memakai air tanah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dari jumlah itu, sebanyak 48,6% memakai air tanah dalam (ATDm), dan 31,1% menggunakan air tanah dangkal (ATDl).
Meski studi ini diambil saat pandemi Covid-19—di mana hanya penduduk kelas ekonomi menengah-bawah yang bersedia menjadi sampel—penelitian ini bisa mengilustrasikan masifnya penggunaan air tanah dalam di Semarang. Semarang sejak dulu sulit memperoleh air permukaan yang bersih. Birokrasi yang berbelit membuat penggunaan air tanah permukaan menjadi rebutan bahkan tak bertuan.
Dinas Pekerjaan Umum Kota Semarang menyebutkan ada 45 sungai yang melintas Semarang dari selatan hingga Laut Jawa. Sebanyak 16 sungai berada dalam kewenangan kota dan tujuh sungai dalam kewenangan Balai Besar di bawah Kementerian PUPR. Tapi 22 sungai justru tak bertuan atau tak jelas siapa pengaturnya.
Kondisi dan kualitas sungai-sungai ini juga sangat bergantung pada daerah aliran sungai (DAS) di hulu yang sebagian besar pengelolaannya bukan di bawah Pemerintah Kota Semarang. Pencemaran air dan banyaknya sampah di badan sungai membuat air yang melintasi kota harus diolah terlebih dahulu agar layak minum.
Direktur Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Moedal, Yudi Indardo bahkan berseloroh siapa saja yang bisa mengelola air di Semarang, ia akan bisa mengelola air di seluruh Indonesia. Sulitnya mengelola air Semarang, kata dia, karena kota ini memiliki topografi yang unik. Bagian selatan merupakan dataran tinggi berbukit-bukit, sementara di utara kota merupakan dataran yang lebih rendah.
Menurut Yudi, untuk mengalirkan air dari mata air di selatan tidak bisa hanya mengandalkan gaya gravitasi, karena kontur tanahnya naik turun. Setelah air yang melalui pipa dialirkan ke bawah ia mesti didorong naik ke bukit lalu ditarik lagi menuruninya. Jika pompa-pompa itu tak memiliki tekanan cukup, pasokan air akan terganggu.
Meski begitu, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengatakan luas banjir di Kota Semarang terus berkurang dari tahun ke tahun. Pada 2012, katanya, wilayah Semarang yang rentan terendam banjir mencapai 41,6%. Pada 2020, luasnya tinggal 3,71%.
Wilayah yang rentan itu termasuk yang terendam banjir 23 Mei 2022, seperti Kelurahan Bandar Harjo, Kelurahan Kemijen, dan Kawasan Tambak Lorok di Tanjung Emas. Menurut Hendrar banjir rob akan berhenti jika jalan tol Semarang-Demak dan Semarang-Kendal beroperasi. “Jalan tol ini juga berfungsi sebagai tanggul,” kata. Jalan tol Semarang-Demak diperkirakan rampung pada akhir 2022, sementara jalan tol Semarang-Kendal masih studi kelayakan.
Jalan tol sebenarnya bukan solusi menahan rob Semarang. Pembuatan tanggul di bawah jalan itu yang bisa meredamnya. Namun, anggaran tanggul terpisah dari anggaran jalan tol. Artinya, meski jalan tol sudah berdiri, rob terus mengancam hingga tanggulnya berdiri. Masalahnya, jika tanggul laut berdiri pun ia tak cukup melindungi warga pesisir.
“Tanggul tidak bisa mengurangi laju penurunan tanah,” kata Nila Ardhianie, Direktur Amrta Water Institute.
Hendrar mengatakan Kementerian Pekerjaan Umum menggelontorkan Rp 300 miliar untuk membangun sabuk laut (seabelt) dalam sistem polder di Tambak Lorok. Proyek ditargetkan selesai pada 2023. Sabuk laut berupa tanggul dari sheet pile atau dinding beton vertikal yang berfungsi menahan tanah agar tak terbawa arus.
Menurut Hendrar Prihadi, membangun sabuk laut sebenarnya pilihan terakhir. Dia berhitung ongkosnya akan jauh lebih murah jika penduduk mau pindah. “Kalau penduduk mau relokasi, saya bangunkan rumahnya,” kata dia. Gunung Pati dan Mijen sudah ia siapkan menampung penduduk pesisir Semarang. Menurut Hendrar, relokasi lebih murah. “Karena sabuk laut itu perlu pemeliharaan.”
Wilayah yang terancam tenggelam tak hanya Tambak Lorok. Di Kecamatan Semarang Utara, Semarang Timur, hingga Genuk, rumah-rumah tua tampak lebih rendah dari jalan yang terus ditinggikan. Menurut Heri Andreas, pesisir utara Jawa Tengah—Pekalongan, Semarang, dan Demak—dalam kondisi kritis.
Dalam perhitungan Heri, pada 2050 wilayah Pekalongan akan tinggal separuh, sementara Semarang dari Mangkang, Tanjung Mas, Kemijen, hingga Genuk akan hilang ditelan laut. Demak mungkin yang paling parah. Di Kecamatan Sayung saat ini sudah dua dusun yang ditinggalkan penduduknya karena tenggelam.
Dampak banjir rob di Tambak Lorok, Semarang
Pemerintah Jawa Tengah bukannya tak paham dengan faktor-faktor pemicu dan penyebab rob Semarang. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan pemerintah berupaya melindungi penduduk dari banjir rob dan penurunan air tanah dengan menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 3/2018 tentang pengelolaan air tanah. “Sebenarnya lebih banyak yang dilarang, tapi sisi penegakan hukum masih perlu ditingkatkan,” kata politikus PDI Perjuangan ini.
Ganjar menekankan bahwa larangan penggunaan air tanah harus diimbangi dengan suplai air bersih. Wali Kota Hendrar Prihadi mengatakan suplai air bersih dari PDAM Tirta Moedal memang tidak cukup. Tapi sejak waduk Jatibarang dan Sistem Pengolahan Air Minum (SPAM) Semarang Barat beroperasi pada 2021, pasokan air melimpah.
Masalahnya, tak semua penduduk terjangkau pipa PDAM. Saat ini, kata Yudi, PDAM baru melayani 176.000 sambungan pelanggan aktif untuk konsumsi domestik atau 60% dari penduduk Kota Semarang. Sambungan pipa pelanggan domestik ditargetkan naik 10.000 sambungan setiap tahun.
Peningkatan dan kestabilan suplai air PDAM juga belum tentu disambut baik oleh industri maupun penduduk. Di Tambak Lorok, misalnya, sebagian besar penduduk menolak memakai air PDAM. Alasannya beragam, dari mulai bau, tidak bagus buat dijadikan es, sampai kekhawatiran soal suplai air yang stabil.
Untuk memaksa penduduk beralih memakai air PDAM dari air tanah, pemerintah kota sudah menerapkan pajak air tanah sejak 2011. Nilainya 20%—angka tertinggi untuk pajak air tanah, dari nilai perolehan air (NPA). Masalahnya NPA yang ditentukan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah hampir sama dengan tarif air minum PDAM Tirta Moedal Semarang.
Menurut Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 54/2018, NPA provinsi untuk golongan niaga dan industri besar Rp 10.900-13.400 per meter kubik. Sementara tarif air minum PDAM Tirta Moedal yang mengacu Peraturan Wali Kota Semarang Nomor 31/2019 untuk golongan niaga daniIndustri Rp 11.000-20.000. Artinya, pengusaha hanya perlu menambah 20% untuk memakai air tanah dalam ketimbang memakai air PDAM. Akibatnya, pemerintah kesulitan menggeser kebiasaan industri memakai air PDAM.
Yudi sudah mengajukan usulan kenaikan NPA kepada Wali Kota Hendrar Prihadi untuk diajukan ke Gubernur Jawa Tengah. Angka NPA Semarang meniru Jakarta yang 8,1 kali dari tarif air minum untuk wilayah dalam jangkauan PAM. Dengan begitu, pajak air tanah di Jakarta bisa 1,62 kali lebih tinggi dari tarif per meter kubik air PAM Jaya. Di daerah-daerah yang belum terlayani PAM Jaya, pemerintah Jakarta menerapkan NPA di atas 5 kali tarif air minum.
Untuk niaga kecil misalnya, NPA di Jakarta berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 86/2012 berkisar Rp 49.582-55.415 untuk lokasi yang berada di dalam jangkauan PAM Jaya. Sehingga, pengguna air tanah di golongan ini harus membayar pajak Rp 9.916-11.083 per meter kubik. Angka ini jauh lebih mahal ketimbang jika mereka menggunakan air PAM Jaya dengan tarif Rp 3.550-7.450 per meter kubik.
Bahkan jika wilayah industri mereka tidak terjangkau PAM Jaya, pajak air tanah dalam tidak lebih rendah dari tarif air PAM Jaya, yaitu 20% dari NPA sebesar Rp 32.083- 37.916 yaitu Rp 6.416-7.583 per meter kubik. Aturan-aturan ini mendorong konversi penggunaan air tanah dalam menjadi air PAM Jaya.
Dampak penerapan kebijakan fiskal dalam pemakaian air tanah dalam lumayan mengerem laju penurunan tanah di Ibu Kota. Laju penurunan tanah pada 2015-2020 lebih lambat, seperti dikonfirmasi penelitian Pei-Chin Wu, Meng Wei, dan Steven D’Hondt (2022), dibanding 2007-2010.
Jika memang pemakaian air tanah penyebab utama penurunan tanah dan rob Semarang, mengapa pemerintah tak melarang saja penyedotan air tanah dalam? Menurut Hendrar Prihadi, urusan air tanah diatur oleh pemerintah provinsi. “Kami hanya user,” kata politikus PDI Perjuangan ini. “Bagi kami yang asyik kalau pemakaian air tanah tak berizin, langsung kami tutup.”
Liputan ini didukung oleh Internews’ Earth Journalism Network melalui program Story Grant 2022 Asia-Pasifik dan pertama kali terbit di Forest Digest dengan judul ‘Apa Penyebab Banjir Rob Semarang’ edisi Juli-September 2022.