Sebagai provinsi kepulauan, kawasan daratan Maluku Utara begitu kecil. Hanya 21% wilayah provinsi tersebut merupakan daratan sedangkan sisanya, 79%, adalah perairan atau lautan.

Karena kecil itulah, dalam catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Maluku Utara, seharusnya pemerintah tidak membebani dengan menumpukkan beragam izin usaha, apalagi usaha yang notabene dapat menimbulkan daya rusak layaknya tambang.

Faktanya, Walhi mencatat, sudah lebih dari 2 juta haktare lahan di daratan telah dicaplok korporasi, yakni mereka pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) atau perusahaan kayu bulat.

Ada juga industri monokultur sawit dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) baik itu emas, nikel, biji besi serta pasir besi.

“Walhasil rakyat Maluku Utara hidup dalam bayang-bayang kehancuran ekologi. Hutan sebagai kesatuan ekosistem kehidupan dan dipercaya sebagai perisai bencana ekologis telah gundul menyisahkan kubangan, pemicu kehilangan hutan adalah tambang, sawit, dan industri kayu,” catat Walhi, diakses Minggu (28/10/2023).

Menurut Walhi, korporasi tidak akan membabat hutan apabila tidak ada “stempel legal” yang diberikan pemerintah.

Di sisi lain kehancuran di sektor darat erat hubungannya dengan laut yang terancam limbah tambang. Hal ini membuat nelayan semakin sulit, belum lagi diperparah dengan krisis iklim  yang membuat desa-desa pesisir terancam tenggelam seiring waktu.

maluku utara
Aksi menolak kerusakan lingkungan Maluku Utara. (Walhi Maluku Utara)

Maluku Utara di kepung korporasi

Di selatan Maluku Utara, Rakyat di Obi terus menyaksikan setiap waktu tegakan-tegakan pohon ditumbangkan dan tanahnya dikeruk oleh korporasi.

Di Gane, semenanjung selatan pulau Halmahera, hamparan hutan primer bahkan Wilayah Kelola Rakyat harus kolaps dibabat habis kemudian ditukar dengan satu jenis tanaman sawit.

Tidak luput di tengah hingga timur pulau Halmahera pohon tumbang tanpa jeda mengikuti pengerukan tanah yang begitu massif dilakukan oleh puluhan korporasi nikel. Puluhan tambang nikel itu kemudian menyuplai material tanahnya ke perusahaan asal Tiongkok.

Alih-alih mendatangkan kesejahteraan, kehadiran korporasi justru nestapa bagi rakyat dan lingkungan hidup.

Fakta di lapangan memperlihatkan, sungai tersedimentasi oleh tambang, berubah warna sepanjang waktu, burung-burung kehilangan rumahnya, banjir menjadi langganan, bahkan orang miskin terus menjamur.

Badan Pusat statistik (BPS) Maluku Utara merilis sepanjang tiga tahun terakhir (2018-2021) Halmahera Tengah dan Halmahera Timur mengoleksi orang miskin terbanyak di Maluku Utara dengan persentase tiap tahunnya tidak kurang dari 21 ribu jiwa.

“Itu artinya kebijakan mendatangkan investasi merupakan langkah fatal yang sudah dilakukan pemerintah, namun tidak kunjung diakui lantas mencabut izin usahanya kemudian mengembalikan kepada rakyat. Justru sebaliknya servis terhadap korporasi adalah paling utama ketimbang urusan rakyat,” ungkap Walhi.

Padahal operasi korporasi-korporasi tambang tersebut hanya membuat kota-kota di China, Eropa, dan Amerika menjadi hijau dan ramah terhadap lingkungan.

“Sementara Maluku Utara harus menanggung kerusakan yang tiada pulih,” ungkap Walhi.


Baca juga:

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.