Negara-negara maju harus berpartisipasi mengatasi cekaknya anggaran transisi energi, serta memahami yang ditawarkan negara berkembang.

Upaya pengurangan emisi gas rumah kaca harus dipercepat. Mengingat, pada September 2023, suhu bumi telah mencapai 1,75 derajat celsius dibanding masa pra-industri.

Negara-negara maju harus berpartisipasi mengatasi cekaknya anggaran transisi energi, serta memahami pendekatan-pendekatan yang ditawarkan negara berkembang, termasuk Indonesia. Penilaian itu terungkap dalam seminar bertajuk “Pendanaan Berkelanjutan untuk Transisi Energi”, yang diselenggarakan Environment Institute di Jakarta, Jumat (6/10/23).

Di Indonesia sendiri, seturut pasal 12 ayat 4, Undang-Undang 28 tahun 2022 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023, Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik di bidang infrastruktur energi terbarukan dipatok pada angka Rp88 miliar.

Angka yang jauh jika dibandingkan dengan kalkulasi Kementerian Keuangan, yang menyebut program transisi energi di Indonesia membutuhkan biaya sebesar Rp4000 triliun, hingga tahun 2030.

Joko Tri Haryanto, Direktur Utama Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) mengakui, target transisi energi tidak akan bisa dicapai hanya dengan mengandalkan pendanaan publik, semacam APBN dan APBD. Sebab, pemerintah masih harus mengalokasikan pendanaan untuk sektor-sektor lainnya.

Kondisi ini tidak hanya dialami Indonesia, tetapi juga negara-negara berkembang lainnya. Atas dasar itu, menurutnya, dukungan negara-negara maju pada program transisi energi di Indonesia mesti mengedepankan aspek keadilan dan inklusifitas.

“Yang namanya (dana) perubahan iklim itu adalah global public goods, jangan hanya dibebankan kepada negara berkembang,” terang Joko.

Dia mengingatkan titik tekan sebatas pada narasi transisi energi merupakan cara pandang yang bias ‘barat’. Sebab, berbeda dengan negara berkembang, negara-negara maju dinilainya tidak lagi terbeban dengan program-program pengembangan sumber daya manusia, serta masalah kemiskinan.

Karena itu, kata Joko, dalam sejumlah kesepakatan internasional, termasuk kemitraan transisi energi berkeadilan (JETP), Pemerintah Indonesia berani menawarkan skema pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Sambil, meminta negara-negara maju, juga sektor swasta yang terlibat, untuk memahami pendekatan tersebut.

Matiinnya (PLTU) pelan-pelan, tidak saat ini juga, tapi dikunci dengan banyak karakter teknis. Caranya, lihat semua konsesi. Misalnya ada konsesi 30 tahun, ditawari pensiun cepat. Dipotong 10 tahun, tapi ada kompensasi. Kemudian, paling akhir tahun 2040,” terangnya, dengan menambahkan bahwa pemensiunan PLTU secara bertahap merupakan kebutuhan pembangunan.

Ratna Juwita Sari, Anggota Komisi VII DPR RI menilai, adanya kegamangan dalam program transisi energi. Selain disebabkan minimnya pendanaan di negara berkembang, hal itu disebabkan tidak tegasnya negara-negara maju dalam mengatasi masalah iklim.

Karena, meski telah menyatakan komitmen mengendalikan emisi, pembangunan berbagai industri oleh negara maju di luar kawasan mereka, disebutnya berpotensi meningkatkan emisi karbon di negara-negara seperti Indonesia.

“Kita seperti di ‘PHP’ oleh negara-negara besar. Padahal negara-negara seperti AS, Jepang, China, dan lain sebagainya, berlomba-lomba membersihkan udara mereka,” terangnya.

Namun, di saat bersamaan, sebut Ratna, negara-negara berkembang juga membutuhkan dukungan finansial untuk membiayai pembangunan, mengoptimalkan program transisi energi, serta mencapai target iklim masing-masing.

Harus dipercepat

Seturut temuan terbaru dari Organisasi Meteorologi Dunia, upaya pengurangan emisi gas rumah kaca harus dipercepat. Mengingat, pada September 2023, suhu bumi telah mencapai 1,75 derajat celsius dibanding masa pra-industri.

“Perkiraan organisasi meteorologi dunia, kita akan tembus 1,5 derajat dalam 5 tahun ke depan. Tidak ada pilihan lain, kita harus mempercepat upaya mengurangi emisi gas rumah kaca,” terang Mahawan Karuniasa, CEO Environmental Institute.

Ditambah lagi, berdasarkan ringkasan eksekutif PBB berjudul “Too Little, Too Slow: Climate adaptation failure puts world at risk”, emisi global yang seharusnya dibatasi pada angka 33 GtCO2e, diperkirakan akan mencapai 53 GtCO2e pada tahun 2030,  seturut skenario kebijakan saat ini.

“Tekornya 20 GtCO2e. Itulah yang jadi masalah. Kita dengan negara maju harus seimbang. Itu harus dibagi-bagi negara maju berapa, negara berkembang berapa. Harus adil,” tambah Mahawan.

Selain itu, lanjutnya, pada tahun 2023, PBB pertama kali melakukan global stocktake untuk menghitung upaya pengurangan emisi di seluruh dunia. Hasilnya, upaya pengurangan emisi global diketahui belum selaras dengan Perjanjian Paris.

Catatan-catatan tadi dianggap menjadi bukti bahwa, agenda emisi nol bersih (NZE) akan sulit dicapai bila kontribusi negara maju masih minim dan tidak didasari prisnip berkeadilan. “Itu (1,5 derajat) akan tembus, karena upaya global masih kurang,” terang Mahawan.

Mahawan menambahkan, kerja sama yang berkeadilan dalam program transisi energi harus dilakukan secara rasional dan saling memahami, dengan memperhatikan tahapan-tahapan yang sudah ditetapkan di masing-masing negara, khususnya negara berkembang. Hal itu, dinilainya seturut dengan prinsip common but differentiated responsibility.

“Terlalu cepat matiin (PLTU) tidak bisa. Terlalu lama juga tidak bisa, karena cost kita akan lebih banyak. Jadi cari jalan tengah,” ujarnya.

Mahawan meyakini, kesiapan finansial dapat membuat negara maju mempercepat agenda transisi energinya, pada rentang tahun 2030 atau 2040. Meski negara-negara berkembang juga dapat melakukan upaya serupa, namun kecil kemungkinan melampaui atau menyamai target yang dicapai negara-negara maju.


About the writer

Themmy Doaly

Themmy Doaly has been working as Mongabay-Indonesia contributor for North Sulawesi region since 2013. While in the last nine years he has also been writing for a number of news sites in Indonesia, including...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.