Sejak panel surya terpasang di masjid mereka, lebih dari 100 warga kini dapat beribadah di bawah cahaya energi dari sumber terbarukan.

Kebutuhan energi terbarukan khususnya yang bersumber dari tenaga surya atau panel surya kian mendesak, di tengah energi kotor yang bersumber dari PLTU batubara ataupun fosil. Manfaat energi surya ini pun sudah dirasakan warga sekitar masjid Pondok Pesantren Al Ma’hadul Islami PP Yami di Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.

Sejak panel surya berkapasitas 4.700 WP terpasang di masjid mereka, lebih dari 100 warga kini dapat beribadah di bawah cahaya energi yang dihasilkan dari sumber terbarukan, dikutip dari laman Enter Nusantara yang diakses Minggu, 26 November 2023.

Program Sedekah Energi tidak hanya memenuhi 100% kebutuhan listrik masjid, namun juga membantu penerangan dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah dan jalan di sekitar masjid.

Selain itu, tujuh rumah warga akan mendapatkan subsidi aliran listrik dari panel surya masjid, dan pompa air yang telah terbengkalai akan kembali menyala sehingga dapat membantu pengairan kebun di sekitar masjid dan milik warga, termasuk milik komunitas perempuan tani.

“Sedekah Energi adalah gerakan yang diinisiasi oleh MOSAIC yang menggalang kepedulian masyarakat untuk bersama memakmurkan masjid melalui penyediaan energi bersih terbarukan. MOSAIC adalah Muslims for Shared Actions on Climate Impact atau Kolaborasi Umat Islam untuk Dampak Iklim. MOSAIC merupakan inisiator dari Kongres Umat Islam untuk Indonesia Lestari yang telah diinisiasi sejak 2021. Kongres tersebut menghasilkan tujuh poin risalah untuk mencapai Indonesia Lestari,” demikian keterangan resmi Enter Nusantara.

Masjid Pondok Pesantren Al Ma’hadul Islami PP Yami, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, memanfaatkan panel surya. (Enter Nusantara)
Masjid Pondok Pesantren Al Ma’hadul Islami PP Yami, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, memanfaatkan panel surya. (Enter Nusantara)

Panel surya dibutuhkan semua warga

Kebutuhan energi listrik bersumber dari panel surya kian mendesak. Greenpeace pernah melakukan survei pada tahun 2020 bahwa lebih dari 80% warga Jakarta ingin memasang panel surya di rumahnya.

Dengan tingginya keinginan masyarakat yang ingin memasang panel surya (PLTS atap), harusnya bisa menjadi landasan bagi pemerintah agar membuat payung hukum yang lebih serius untuk mendukung penerapan energi terbarukan di masyarakat.

Yohanes Sumaryo dari Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) mengatakan salah satu daya tarik dalam memasang PLTS atap adalah adanya ketentuan net metering. Namun pemerintah mewacanakan untuk menghapus ketentuan net metering ini pada revisi Permen ESDM 26/2021 tersebut.

“​​Net metering itu bentuk insentif pemerintah agar masyarakat umum tertarik memasang PLTS atap yang harganya relatif masih mahal dibanding biaya langganan listrik PLN. Dengan net metering koefisien perbandingan ekspor-impor menjadi 1:1 maka tingkat pengembalian modal atau payback period pemasangan PLTS atap bisa berkisar antara 4-5 tahun,” jelasnya.

Lebih lanjut Yohanes menjelaskan ketiadaan net metering akan menyurutkan minat calon pelanggan untuk memasang PLTS atap.

“Dengan revisi Permen ESDM No. 26/2021  di mana ekspor listrik ke grid PLN ditiadakan, maka orang yang mau memasang PLTS atap terpaksa harus membeli baterai penyimpan energi yang cukup mahal dan membuat tingkat pengembalian modal lebih lama, menjadi 9-10 tahun. Ini menyebabkan banyak orang yang mengurungkan niatnya memasang PLTS atap,” ungkapnya.

Menurut Suriadi Darmoko, Pengkampanye 350 Indonesia, PLTS atap ini selain dapat menggalang partisipasi publik juga merupakan jalan pintas mengejar target bauran energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan.

“Kita membayangkan bagaimana publik bisa berpartisipasi dalam transisi energi, sehingga ke depan independent power producer (IPP) itu bukan lagi terbatas pada perusahaan skala besar, tapi juga bisa melibatkan rumah tangga sampai BUMDES atau pemerintah daerah melalui PLTS Atap. Semua orang mengkontribusikan atapnya untuk memanen listrik dari energi surya, tanpa perlu pengadaan lahan. Pemerintah harus ambil peran serius melalui kebijakan yang konsisten dan publik bisa dapat kepastian kebijakan dan kemudahan untuk berpartisipasi,” paparnya.

Reka Maharwati dari Enter Nusantara, transisi energi selain memastikan sumber energinya beralih dari fosil ke energi terbarukan juga penting memastikan ada diversifikasi kepemilikan. Ketersediaan komitmen pendanaan transisi energi saat ini seharusnya digunakan oleh negara melalui BUMN untuk membangun sistem ketenagalistrikan di mana masyarakat bisa beramai-ramai terlibat dalam transisi energi.

“Selama ini orang muda selalu diberikan motivasi untuk menjadi agent of change, namun kebijakan yang dihadirkan oleh pemerintah belum juga mendengar aspirasi orang muda yang ingin mendorong perubahan ke arah yang lebih baik untuk generasi mendatang. Transisi energi yang bersih dan berkeadilan bisa mulai diwujudkan dengan segera melaksanakan Permen ESDM No 26/ 2021 tanpa revisi,” ujar Reka Maharwati.

Negara-negara di seluruh dunia dimandatkan untuk meninggalkan penggunaan bahan bakar fosil sebelum 2030, jika ingin menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1,5oC dan menjaga dari bencana iklim permanen. Sementara pemanfaatan energi terbarukan dalam bauran energi nasional hingga akhir 2022 masih berkisar di angka 12%.

Gerakan masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Demokrasi Energi telah mendesak pemerintah untuk membatalkan revisi peraturan menteri tersebut, mempertahankan ketentuan yang sudah mengakomodir aspirasi pelanggan pada Permen ESDM 26/2021, segera menerbitkan Permen ESDM 26/2021, serta meminta PLN untuk serius menjalankan mandat transisi energi dengan mengeluarkan regulasi yang berpihak pada akses keadilan energi untuk rakyat.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.