Posted inArtikel / COP28

COP28: Menanti realisasi pendanaan dampak krisis iklim

COP 28 di Dubai diharapkan menghasilkan keputusan monumental baru terkait pendanaan yang bisa segera diimplementasikan untuk mencapai keadilan iklim.

Cuaca ekstrem dan krisis terkait iklim semakin mengkhawatirkan. Negara-negara maju yang dulu mengeksploitasi alam kini mengakselerasi perubahan iklim dengan didorong untuk memberi pendanaan iklim ke negara-negara berkembang, terutama di negara kepulauan. Namun, ada kekhawatiran permintaan itu tidak terealisasi maksimal dalam waktu dekat.

Sejak 2015, hampir seluruh negara di dunia, anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), bersepakat untuk menekan ambang batas kenaikan suhu iklim 1,5 derajat celsius, yang tercatat terjadi pada masa pra-industri 1850-1900, sampai 2027. Namun, tahun 2023, data Program Lingkungan PBB mencatat bahwa 86 negara telah bersuhu tinggi melebihi ambang batas itu, rata-rata naik 1,8 derajat celsius (Kompas, 22/11/2023).

Fenomena ini dipastikan menambah dampak lingkungan, dari kerusakan lingkungan hingga bencana alam, yang bisa berdampak sementara hingga permanen. Ironinya, selama lebih dari tiga dekade, isu kehilangan dan kerusakan (loss and damage) selalu muncul dalam negosiasi perubahan iklim PBB.

Momentum di 2015 yang ditandai munculnya Perjanjian Paris menyepakati pentingnya keuangan yang mengedepankan prinsip keadilan dan bertanggung jawab untuk mencapai tujuan iklim dunia. Kemudian, baru di 2022, untuk pertama kalinya negara-negara dalam Kesepakatan Konferensi para Pihak tentang Perubahan Iklim (Conference of the Parties to the Convention/COP) Ke-27, di Mesir, membahas mekanisme pendanaan untuk membantu negara-negara rentan.

Penting bagi kita menjalankan upaya untuk terus mencari keadilan iklim dan membantu negara-negara berkembang, yang menyumbang emisi paling sedikit, tetapi menanggung dampak paling kejam dari perubahan iklim, untuk tidak hanya bertahan hidup tetapi juga bertransisi menuju perekonomian yang lebih berkelanjutan melalui jalur transisi yang adil.

Sameh Shoukry, Presiden COP27

Baca juga: Komitmen pasangan capres terhadap krisis iklim masih tanda tanya

Awal November 2023, sebanyak 24 anggota komite PBB yang bertugas merancang dana tersebut mengadakan pertemuan. Kegiatan itu ditujukan untuk menghindari kebuntuan di COP 28 yang akan segera diselenggarakan di Dubai, Uni Emirat Arab, mulai 30 November 2023.

Namun, dikutip dari Reuters, Rabu (29/11/2023), pertemuan itu justru membuka pertanyaan baru yang sulit tentang siapa yang akan mendanai dan seberapa cepat dana tersebut akan dibayarkan. Pertemuan itu juga masih terhenti pada kesepakatan, Bank Dunia menjadi rumah sementara bagi turunnya dana kehilangan dan kerusakan tersebut.

Uni Eropa bisa dibilang menjadi kelompok negara yang siap berkomitmen memberikan sumber besar pada pendanaan iklim dan menginvestasikan energi bersih terbesar ke negara-negara miskin. Utusan Iklim untuk Jerman, Jennifer Morgan, misalnya, mengatakan dalam sebuah postingan di media sosial X bahwa mereka sedang berupaya memberikan kontribusinya.

Sementara itu, negara maju lainnya, seperti Amerika Serikat, punya kecenderungan untuk menghindari pendanaan tersebut sebagai suatu kewajiban.

Bagaimanapun, COP 28 yang akan dibuka esok tetap diharapkan bisa memberi terobosan atas kesepakatan monumental yang telah dibuat sebelumnya.

Kita berharap Indonesia ikut mendorong pendanaan loss and damage ini, selain dana lain. Ini penting terutama untuk adaptasi. Kalau untuk mitigasi, sudah banyak yang beredar untuk bisa didapatkan. Dana adaptasi penting untuk mempercepat pemulihan hutan, memantau kondisi ekosistem, mengakui masyarakat adat dan lokal.

Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan

Presiden COP27 dan Menteri Luar Negeri Mesir, Sameh Shoukry, mengatakan, pada COP sebelumnya di Sharm el-Sheikh, para pemimpin membahas beberapa inisiatif untuk membantu seluruh negara yang ikut serta mencapai tujuan tersebut, serta membantu negara-negara berkembang dalam menyesuaikan perekonomian mereka.

Baca juga: Loss and damage, jalan buntu Artikel 6, dan makna COP27 bagi Indonesia

”Penting bagi kita menjalankan upaya untuk terus mencari keadilan iklim dan membantu negara-negara berkembang, yang menyumbang emisi paling sedikit, tetapi menanggung dampak paling kejam dari perubahan iklim, untuk tidak hanya bertahan hidup tetapi juga bertransisi menuju perekonomian yang lebih berkelanjutan melalui jalur transisi yang adil,” ungkapnya dalam rilis pada Selasa (14/11/2023).

Isu ini juga penting bagi Indonesia, yang ikut menderita akibat dampak perubahan iklim sekaligus berkontribusi cukup besar dalam mengemisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, saat memberikan bekal persiapan delegasi Republik Indonesia dalam perundingan COP28 Dubai, Agustus lalu, mengatakan, Indonesia menargetkan hasil yang ambisius pada kehilangan dan kerusakan, serta pendanaan terkait aspek tersebut.

Harapan ini juga dituturkan organisasi sosial di dalam negeri yang turut menanti perkembangan ini. Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad mengatakan, mekanisme pendanaan tersebut, termasuk kriteria negara yang perlu mendapatkan bantuan, harus disepakati secara spesifik untuk menghentikan berabagai macam kerusakan dan kehilangan.

”Kita berharap Indonesia ikut mendorong pendanaan loss and damage ini, selain dana lain. Ini penting terutama untuk adaptasi. Kalau untuk mitigasi, sudah banyak yang beredar untuk bisa didapatkan. Dana adaptasi penting untuk mempercepat pemulihan hutan, memantau kondisi ekosistem, mengakui masyarakat adat dan lokal, dan lain sebagainya,” jelasnya, Selasa (28/11/2023).

Studi terbaru menyebut, dunia membutuhkan 10 triliun dollar AS setiap tahun antara 2030 dan 2050 untuk menghindari dampak buruk dari perubahan iklim. Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) mengatakan, dana global cukup untuk menutup kesenjangan investasi ini. Namun, masih ada hambatan untuk mengarahkan modal tersebut ke aksi iklim.

Artinya, tantangan kini bukan sekedar menggalang dana tambahan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, tetapi bagaimana menyelaraskan komitmen bersama untuk melakukan aksi iklim. Komitmen terbaru yang lebih cerah sangat dinanti di COP28.


Liputan ini diproduksi sebagai bagian dari Climate Change Media Partnership 2023, sebuah beasiswa jurnalisme yang diselenggarakan oleh Earth Journalism Network Internews dan Stanley Center for Peace and Security. Liputan ini pertama kali terbit di Kompas pada tanggal 29 November 2023.

About the writer

Florence Armein is the Indonesia Content Coordinator for EJN's Asia-Pacific project where she manages Ekuatorial, a GeoJournalism site that uses geographic data and news stories to cover climate change...

Erika Kurnia is a dynamic journalist based in Jakarta, with more than five years of experience in online and daily newspaper media. She is experienced in writing about health, economic and metropolitan...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.