Ledakan ubur-ubur di laut bukan pertanda baik, menandakan ada ketidakseimbangan dalam ekosistem laut. Upaya rehabilitasi perlu dilakukan dari hulu.

KAWANAN ubur-ubur ikut merayakan Idulfitri tahun ini dengan memenuhi Pantai Mayangan di Probolinggo, Jawa Timur. Laporan media menyebut jumlah kawanan ubur-ubur itu mencapai jutaan ekor. 

Namun, kehadiran ubur-ubur tidak disambut dengan sukacita. Pantai Mayangan sepi, bukan hanya dari pengunjung tetapi juga para nelayan yang sehari-hari mencari kerang dan reket atau udang pantai yang biasanya menjadi bahan baku terasi. 

“Agak susah menembak ikan karena pandangan mata tertutup ubur-ubur. Padahal kan ikan muncul saat pasang, tapi saat itu juga ubur-ubur sedang banyak-banyaknya,” kata Solihin (27), salah satu miteng atau nelayan tembak tombak dari Kecamatan Leces, Probolinggo. 

Solihin mengaku ia bisa berenang hingga kedalaman 8-10 meter tanpa alat bantu pernapasan untuk menembak ikan. Akan tetapi, kemampuannya menjadi sia-sia karena kehadiran ubur-ubur yang menutup permukaan air.

Hari itu, Solihin mengaku hanya bisa menangkap beberapa ikan saja, jauh berbeda dari waktu-waktu tanpa ubur-ubur di pantai.

“Saya dapat dua ekor ikan baronang, ini sejenis ikan karang pemakan lumut dan harusnya banyak saat musim angin barat seperti ini. Ini pulang saja, karena susah ada ubur-ubur,” kata Hendro Wahyudi (38), miteng lain menimpali. 

Sementara, para pencari kerang dan reket mengakali dengan menunggu waktu air surut di sore hari, ketika ubur-ubur ikut terbawa ke tengah laut. 

Keberadaan ubur-ubur di Pantai Mayangan bukan baru sekali. Warga mencatat biasanya mereka muncul satu tahun sekali dengan durasi hingga satu bulan.

Pantai Mayangan, atau sejatinya adalah teluk di antara urugan dari reklamasi proyek perluasan Pelabuhan Tanjung Tembaga Mayangan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur pada tahun 2000, memiliki kandungan garam yang tinggi. Lokasi itu kerap menjadi tujuan pengunjung untuk wisata ‘kungkum’ atau berendam karena diyakini bisa menyembuhkan berbagai penyakit seperti pengapuran hingga asam urat.

Baca juga: Menguji kandungan logam berat air sungai Jakarta

Tidak mungkin berlayar

Serbuan ubur-ubur juga memaksa nelayan meliburkan kapal-kapal mereka. 

Maryudi (48), salah satu nelayan, mengatakan bukan hanya sulit untuk berlayar tetapi jaring yang menjadi alat tangkapnya juga hanya akan dipenuhi oleh ubur-ubur. 

Maryudi mengaku ia memiliki dua buah perahu penangkap ikan, dan dua-duanya menganggur selama kemunculan ubur-ubur. Dari satu perahu, ia bisa mendapatkan penghasilan antara Rp100.000-150.000 per hari. Satu perahunya dioperasikan oleh rekannya dengan sistem bagi hasil.

“Dengan muncul ubur-ubur ini, satu-satunya cara agar tetap bisa bekerja kami beralih menjaring kerang, itu pun harus menunggu laut benar-benar surut dan ubur-ubur sudah kembali agak ke tengah laut,” kata Maryudi, saat dihubungi pada 5 Oktober 2023. 

Menurut Maryudi penghasilannya menurun drastis menjadi Rp10.000-15.000 per hari karena jeda surut hingga setidaknya ubur-ubur sudah tidak terlalu banyak biasanya sangat pendek. 

Data Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur tahun 2020 menyebut jumlah kapal perikanan yang bersandar di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Mayangan mencapai 549 unit yang terdiri dari kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan. Kapal-kapal memiliki ukuran kecil hingga besar mulai dibawah 5 GT (gross tonnage) hingga di atas 30 GT.

Maryudi yang juga Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Perikanan mengatakan tidak banyak yang bisa dilakukan nelayan dengan kapal kecil seperti dirinya ketika fenomena ubur-ubur terjadi. 

“Empat hari ini juga ada ubur-ubur lagi, namun tidak dalam skala besar seperti awal musim kemarau kemarin (April – Mei). Jadi kami masih bisa melaut,” tambahnya. 

Kapal kecil dengan jaring seperti miliknya biasanya melaut tidak lebih dari satu mil dari bibir pantai dengan ikan tangkapan belanak, bandeng laut, dan udang.

Mohamad (74), Ketua Kelompok Nelayan Pesisir Utara mengatakan hal yang sama, ia dan anggota kelompoknya tidak bisa melaut selama ubur-ubur memenuhi Mayangan. 

Masalahnya kemudian, beralih mencari kerang juga tidak mudah, karena menurutnya dalam satu bulan mencari kerang hanya bisa dilakukan sebanyak delapan kali, tergantung surut air laut. Udang reket juga hanya muncul musiman saat air pantai jernih. 

“Di wilayah saya saja ada 20 perahu lebih, kami nelayan pancing dengan kapal ukuran 12 meter bermesin 16 PK yang bisa menampung sampai enam orang,” kata Mohamad. 

Saat musim sedang baik, mereka memancing ikan krese dan putihan, dengan kemampuan 4-5 kg per orang. Pendapatan kumulatif mereka sekitar Rp720.000 – Rp900.000 per hari yang dibagi untuk enam orang anggota.

“Rombongan ubur-ubur itu menutupi laut sehingga kapal kecil tidak bisa melintas, kalaupun saya memancing di pinggir juga sulit mendapatkan ikan,” keluh warga Kelurahan Mayangan, Kecamatan Mayangan, Kota Probolinggo ini. 

“Kami tidak tahu apa penyebab ubur-ubur ini, mungkin karena perubahan iklim.” 

Ubur-ubur dan ketidakseimbangan laut

Fenomena kehadiran ubur-ubur di pantai juga bukan hanya terjadi di Probolinggo. Pada Oktober 2018, di Teluk Jakarta, juga muncul fenomena serupa. Menariknya, kemunculan ubur-ubur di Teluk Jakarta terjadi menjelang akhir musim kemarau, sedangkan di Probolinggo terjadi pada akhir musim penghujan. Kendati demikian, pola nyaris selalu berulang setiap tahunnya.

Mochamad Ramdan Firdaus, staf Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (kini BRIN) pada 2020, mengatakan terdapat empat penyebab terjadi ledakan populasi ubur-ubur, yakni penangkapan ikan yang berlebih, perubahan iklim, dinamika oseanografi, dan eutrofikasi. 

Eutrofikasi adalah kondisi ketika terjadi peningkatan kesuburan yang berlebihan yang mengakibatkan peningkatan kandungan klorofil, ditambah kadar garam yang tinggi di laut. 

Eutrofikasi juga menyebabkan pertumbuhan fitoplankton yang disukai oleh ubur-ubur. Sementara ledakan populasi fitoplankton meningkatkan peluang terjadinya kondisi anoxic (keadaan tanpa oksigen) yang tidak dapat ditolerir oleh kebanyakan organisme lain, namun ubur-ubur tetap bisa bertahan.

Sejumlah penelitian menemukan bahwa ubur-ubur telah ada sejak setengah miliar tahun lalu, bahkan sebelum era Dinosaurus. Berbeda dengan hewan laut lain yang menderita akibat pencemaran laut dan perubahan iklim global, ubur-ubur justru mengalami peningkatan populasi yang signifikan. Semakin tinggi tingkat pencemaran laut, semakin subur mereka berkembang.

Tanpa darah dan otak, ubur-ubur dapat bertahan dengan sedikit oksigen. Begitu ubur-ubur mengambil alih, kebiasaan mereka dalam mengkonsumsi larva ikan membuat sulit bagi spesies lain untuk mengkolonisasi kawasan tersebut, bahkan setelah kadar oksigen kembali normal. 

Widodo Setiyo Pranowo, peneliti ahli utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA) BRIN, mengatakan ubur-ubur biasanya menyukai suhu laut antara 24-31 derajat Celsius. Begitu juga dengan kadar garamnya, berkisar 30-35 PSU. 

Ia mencatat kadar garam di Teluk Jakarta berkisar 30-32 PSU, sementara Selat Madura sekitar 32-34 PSU. Kadar garam di Teluk Jakarta yang lebih rendah mengartikan bahwa lebih banyak pasokan air tawar yang berasal dari darat. 

Air tawar yang mengalir ke Teluk Jakarta berasal dari 13 sungai yang bermuara di wilayah tersebut. Sementara, Selat Madura memiliki jumlah muara sungai yang jauh lebih sedikit. Salah satu muara sungai yang secara signifikan memberikan pasokan air tawar di Selat Madura adalah Sungai Porong, yang kalau ditarik ke atas berhulu ke Sungai Brantas.

“Sungai-sungai yang bermuara di laut, selain membawa air tawar dari darat juga membawa nutrient atau zat hara (klorofil). Zat hara ini sangat berguna bagi fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang. Apabila zat hara semakin banyak maka fitoplankton juga akan semakin banyak,” kata Widodo.

Nanik Retno Bawono dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya di Malang mengatakan perlu ada analisis lebih dalam untuk melihat apakah pencemaran Sungai Brantas menjadi salah satu penyebab ledakan populasi ubur-ubur.

“Bahan pencemar yang masuk di laut itu input sumber utama paling banyak dari aliran sungai. Kalau menurut saya, jadi selain dari atmosfer ataupun dari laut, yang perlu dianalisis itu adalah sumber utama asupan yang masuk dari aliran sungai yang bermuara ke dalam laut tersebut. Itu kemungkinan yang bisa menyebabkan booming ubur-ubur,” kata Nanik di kantornya, awal Juli. 

Ia mengatakan ubur-ubur dan pertumbuhan fitoplankton memiliki keterkaitan yang erat dengan konsentrasi nitrat dan fosfat di perairan laut. Ketersediaan yang tinggi dari nutrisi seperti nitrat dan fosfat dapat menyebabkan eutrofikasi.

Ketika kondisi eutrofikasi terjadi, populasi ubur-ubur dapat meledak karena makanan mereka fitoplankton melimpah. Oleh karena itu, mengawasi dan mengelola konsentrasi nitrat dan fosfat di perairan laut adalah penting untuk mengendalikan pertumbuhan berlebihan ubur-ubur dan menjaga keseimbangan ekosistem laut.

Sumber pencemaran Sungai Brantas

Nanik bersama mahasiswanya saat ini tengah meneliti pencemaran Sungai Brantas yang diduga berasal dari kandungan mikroplastik. Penelitian yang ia namakan Miber atau Microplastic in Brantas River ini menelusuri kandungan mikroplastik dari hulu ke hilir, termasuk di kota-kota yang dilalui Brantas seperti Batu, Malang, Mojokerto, dan Surabaya. 

Penelitian ini bertujuan untuk memahami sejauh mana mikroplastik tersebar dan bagaimana pencemaran ini memengaruhi ekosistem sungai dan laut. Salah satu dugaan penyebarannya berasal dari pupuk. 

Menurut Nanik, beberapa jenis pupuk mengandung mikroplastik dalam bentuk mikro pelet yang memang ditambahkan untuk meningkatkan efisiensi aplikasi pupuk.

“Namun, perlu diingat bahwa penggunaan mikroplastik dalam pupuk juga menimbulkan kekhawatiran terkait dampak lingkungan dan kesehatan. Partikel mikroplastik ini dapat mencemari tanah dan air tanah, serta memiliki potensi untuk masuk ke dalam rantai makanan melalui tanaman dan hewan” kata Ninik.

Adi Setiawan, dosen Budidaya Pertanian Universitas Brawijaya, mengatakan bahwa penggunaan pupuk di wilayah Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri dan Mojokerto memang sangat tinggi. 

Adi menjelaskan, potensi pupuk atau urea ikut terlarut ke sungai bisa mencapai 60 persen. “Jika rata-rata kebutuhan urea/za per hektar per musim tanam padi mencapai 300 kg, dan terlarut hingga 60 persen, tentu ini sangat besar jika terakumulasi,” kata Adi, pada awal September 2023.

Data Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Brantas Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun 2022, menyebut total lahan persawahan di sepanjang Wilayah Sungai (WS) Brantas mencapai 382.074 hektar. 

Sungai Brantas mendapatkan status Strategis Nasional, atau dengan kata lain dikelola langsung oleh Kementerian PUPR. Luas Wilayah Sungai (WS) Brantas mencapai 14.103 kilometer persegi atau mencapai 29,42% dari luas Provinsi Jawa Timur. WS Brantas memiliki 220 daerah aliran sungai (DAS), dengan luas DAS Brantas adalah yang terbesar yakni mencapai 11.888 km². 

“Nah bisa jadi fenomena melimpahnya plankton ini tidak hanya dari Sungai Brantas, karena aliran Sungai Bengawan Solo yang melewati Lamongan dan Gresik yang lebih banyak menggunakan urea dengan ditebar langsung ke lahan tambak ikan. Kalau ini benar-benar dilarutkan di air,” kata Adi.

Baca juga: Jejak logam berat di sungai Jakarta

Pengawasan Brantas dan peran komunitas

Inisiatif untuk mengawasi kualitas air Sungai Brantas salah satunya muncul dalam bentuk program Brantasae, sebuah portal untuk menampung pelaporan kualitas air yang melibatkan komunitas dan relawan. 

Proyek ini adalah kerjasama Universitas Brawijaya dengan Department of Water Management Delft University of Technology (TUDelft) dan Hanzehogeschool Groningen dari Belanda.

Reza Pramana, staff peneliti Water Resources Management TUDelft, mengatakan Brantasae merupakan upaya untuk memperluas partisipasi masyarakat, selain juga bisa menjadi wadah kolaborasi dengan individu atau organisasi lain yang memiliki perhatian serupa. 

”Salah satu langkahnya adalah dengan lebih memperluas akses informasi tentang pengairan. Ini bisa dilakukan dengan mengakses sumber daya dan inisiatif yang ada,” kata Reza, Juni lalu.

Selain membangun website, TUDelft juga mendistribusikan peralatan untuk para relawan mengecek kualitas air di Sungai Brantas.

“Di Belanda dulu juga ada masalah sampah di mana-mana, mereka kalau nggak salah butuh waktu 30 tahun untuk mengatasinya,” ungkap Reza, seraya menambahkan pihaknya optimistis bahwa perubahan bisa terjadi meski membutuhkan proses yang panjang.

Selain upaya komunitas, peran pemerintah juga penting dalam pengawasan pencemaran Sungai Brantas. 

Azis, Deputi Eksternal dan Kemitraan ECOTON, lembaga konservasi yang berfokus pada kebersihan sungai, mengaku pihaknya kecewa pada Pemerintah Kota Kediri akibat minimnya keterlibatan mereka pada upaya pelestarian lingkungan. 

“Kami seperti dibiarkan sendiri, padahal kami beberapa kali membantu membuatkan program di Kota Kediri bekerja sama dengan DLH membuat pilot project Zero Waste City di Kelurahan Tempurejo,” kata Azis saat ditemui, pertengahan Juni lalu. 

“Tidak ada tindak lanjut dan mereka inginnya hanya terima bersih.”

Baca cerita ini selengkapnya disni.


Laporan ini didukung oleh Internews’ Earth Journalism Network dan pertama kali terbit di Project Multatuli pada tanggal 17 November 2023 dengan judul ‘Serbuan ubur-ubudr di Pantai Probolinggo: Tanda bahaya perubahan iklim dan pencemaran sungai’. Ekuatorial merepublikasikan tulisan ini dibawah lisensi Creative Commons.
About the writer

Dwi Arief Priyono

Arief Priyono, an Indonesian documentary photographer, studied photography at the Antara School of Journalism and worked at ANTARA from 2007 to 2012. He later became a freelance photojournalist. His project...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.