Apa yang diambil dari alam, maka pengguna jasa lingkungan harus membayar kepada masyarakat dimana sumber alamnya diambil. Salah satu mekanisme dalam menjaga mata air Umbulan di Jawa Timur.

PASURUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) Rejoso yang mengikuti alur sungai Rejoso sepanjang 22 kilometer di Jawa Timur dan luasnya 62.773 hektar, jauh lebih kecil dari DAS Brantas di propinsi yang sama yang luasnya mencapai 1.188.564,63 hektar, namun DAS Rejoso memiliki sumber mata air dengan debit terbesar di Pulau Jawa, yaitu Mata Air Umbulan.

“Cadangan Air Tanah (CAT) Umbulan sebagian besar ada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Rejoso,” kata Pitono Nugroho, sekretaris Forum Peduli DAS Rejoso.

Para pemangku kepentingan, mulai dari LSM, perusahaan, pemerintah, akademisi, dan masyarakat, merintis gerakan Rejoso Kita untuk menyelamatkan DAS ini pada tahun 2016. Gerakan ini merupakan kolaborasi multipihak yang mengusahakan pelestarian DAS Rejoso melalui kegiatan percontohan berbasis penelitian antara lain konservasi lahan, penanaman pohon dengan sistem agroforestri, dan pertanian berkelanjutan.

Tekanan ekologi terhadap DAS Rejoso beragam bentuknya, mulai dari tutupan lahan yang berubah, sistem pertanian yang mempercepat laju sedimentasi, hingga penambangan galian C (batu dan pasir) di Pasrepan dan Blumbang yang kedalamannya sudah mencapai 25m.

Sementara itu di kawasan hilir, peningkatan pengeboran baik bagi pembuatan sumur artesis warga maupun penggunaan air untuk industri juga semakin meningkat.

“Berdasarkan dugaan kami tim Rejoso Kita, potensi investasi (penjualan dan pembelian barang dan jasa) di DAS ini mencapai 5 triliun dari beberapa perusahaan,” kata Pitono dalam sebuah presentasinya di Workshop Pengendalian Kerusakan Perairan Darat melalui Public Private Partnership dan Imbal Jasa Lingkungan, September 2019 di Malang, Jawa Timur.

Selain Aqua Keboncandi, ada Meta, Nestle, Mayora, Pocari Sweat, Medco Energy, Air Santri, pabrik gula dan Samsung yang memanfaatkan air tanah di DAS Rejoso.

Untuk saat ini belum ada data yang terkumpul oleh Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL), mengenai jumlah keseluruhan penyerapan air oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Belum lagi proyek air minum dari PDAM Surabaya yang mengambil air dari mata air Umbulan dengan debit yang mencapai hingga 4000lt/detik.

Pengukuran debit air di sumur artesis warga yang dilakukan Alix Toulier, peneliti dari Universite de Monpellier, Perancis, bersama mitra dan warga. Sumber: Titik Kartitiani.

Sebagai langkah awal, tim Rejoso Kita memetakan lokasi berikut permasalahannya. Menurut Pitono, DAS Rejoso dibagi menjadi 3 wilayah yaitu hulu, tengah dan hilir (upstream, midstream, dan downstream.)

Wilayah hulu dan tengah menargetkan peningkatan kerapatan pohon dan peningkatan laju infiltrasi tanah. Sedangkan wilayah hilir terfokus pada pengelolaan penggunaan air.

Wilayah hulu meliputi Tosari (Wonokitri, Sedaeng) dan Puspo (Keduwung, Pusung Malang). Wilayah tengah terdiri dari Pasrepan 1 (Galih, Klakah, Petung), Pasrepan 2 (Ampelsari, Tempuran), dan Lumbang (Karangjati, Watulumbung). Sementara wilayah hilir meliputi Grati (Rebalas, Kalipang, Plososari), Winongan (Jeladri, Sruwi), dan Gondangwetan (Keboncandi, Tenggilis Rejo, Medalan).

Di hulu dan tengah misalnya, Aqua membayar Imbal Jasa Lingkungan (IJL) kepada masyarakat yang mempertahankan tutupan lahan mereka melalui mekanisme kelompok tani.

“Kami membayarkan dalam 3 termin,” kata Hari Wicaksono, Stakeholder Relation Manager Aqua Keboncandi.

Pertama, sejumlah dana (dengan hitungan tertentu) dibayarkan kepada petani yang mempertahankan minimal 300 pohon, membangun 200 rorak, yaitu lubang mengikuti kontur tanah untuk menjebak dan meresapkan air, dan 20 persen tutupan lahan setiap hektarnya.

Masing-masing pohon diberi barcode agar data pohon tersebut dapat dilacak. Sedangkan rorak berukuran 50x50x40cm. Termin kedua dan ketiga dibayarkan apabila kondisi tersebut tetap dipertahankan.

Pemasangan barcode untuk pohon dalam program IJL. Sumber: Titik Kartitiani

Awalnya, petani tidak ada yang tertarik sebab dinilai merugikan. Mereka memilih menanam kentang sebagai tanaman penghasil utama di kawasan hulu dan tengah. Namun lama-lama, setelah tim Rejoso Kita aktif mengkampanyekan pentingnya merawat sumber air, jumlah petani yang ikut pun meningkat.

“Kalau kita bangun rorak, kita biarkan pohon tetap tumbuh, hasilnya pun tetap banyak,” kata Sungkono, salah satu petani yang ikut dalam program Rejoso Kita di Wonokitri. Menurutnya, tanahnya berada di lahan miring. Bila semua diolah, bukannya hasilnya tinggi tapi malah longsor dan risiko gagal panen.

Kini, petani justru banyak yang ingin mendaftar pada program ini. Sampai berita ini ditulis, IJL sudah melibatkan 174 orang petani yang tergabung dalam 12 kelompok tani di 7 desa dengan lahan seluas 106,6 Ha.

Pitono menambahkan, monitoring terus dilakukan sehingga program ini terukur. Menurut hasil monitoring, jika menanam 500 pohon maka akan meningkatkan resapan air sebanyak 0,5%-1% dan menurunkan aliran permukaan sebanyak 1,5%-2%.

Ke depannya, diperlukan konservasi yang menyeluruh. Tak hanya mempertahankan tutupan vegetasi, tapi juga mengubah sistem pertanian menjadi lebih ramah lingkungan. Kini, petani banyak menanam kentang. Hanya saja tidak menghabiskan seluruh lahannya seperti sebelumnya tapi menyisakan untuk rorak dan pohon.

Tanaman semusim ini memang mampu memberikan pendapatan yang bagus bagi petani tetapi budidayanya diketahui dapat menyebabkan longsor dan pendangkalan.

“Tanaman kopi sebetulnya lebih bisa menahan tanah. Namun alih komoditi juga harus menyiapkan pasarnya juga,” kata Pitono. Setidaknya, mempertahankan pohon dan tutupan vegetasi sudah mengurangi kerusakan yang ditimbulkan di wilayah hulu dan tengah. Sedangkan di wilayah hilir, pengelolaan air menjadi konsen utama Rejoso Kita.

Tanam padi hemat air

Muhrizin (50 tahun),sedang memantau tinggi air di sawahnya di kawasan Desa Keboncandi, Kecamatan Gondang Wetan, Kabupaten Pasuruan. Hal yang dulunya tak pernah dilakukan seumur hidupnya selama ia menjadi petani. Muhrizin dan hampir semua petani di Pasuruan menikmati kemewahan air tanah yang melimpah, keluar sendiri dari sumur-sumur artesis yang dibuat mereka.

Tak jauh dari sawahnya, air dari sumur artesis mengucur bening memenuhi saluran irigasi sepanjang hari, sepanjang tahun. “Kami sekarang mengairi sawah hanya pada saat diperlukan,” kata Muhrizin. Sawah-sawah miliknya dan beberapa petani lain, terpilih untuk ikut dalam program System of Rice Intensification atau SRI, salah satu program pengelolaan air Rejoso Kita di kawasan hilir .

Muhrizin memeriksa batas air di sawah nya yang merupakan bagian dari program SRI. Sumber: Titik Kartitiani.

Hari mengatakan bahwa perusahaannya merupakan salah satu pendukung gerakan Rejoso Kita. Perusahaan ini konsen pada konservasi air di kawasan tangkapan air yang menjadi sumber keberlangsungan bisnisnya juga. “Aqua Keboncandi melakukan berbagai macam kegiatan konservasi, bekerjsama dengan NGO dan pemerintah. Fokusnya menjaga daerah resapan dan tangkapan air,” kata Hari.

Hari mlanjukan, penggunaan dana dari Corporate Social Responsibility untuk konservasi air ini dimulai dengan survei lokasi yang efektif untuk mendasari berbagai program untuk merawat daerah tangkapan dan resapan air. Survei ini diadakan bekerjasama dengan universitas dalam negeri (ITS, UGM, Unibraw) dan luar negeri (Universite de Monpellier, Prancis) untuk menganalisa siklus hidrologi.

Setelah diketahui titik-titik dimana diperlukan tindakan, Aqua bekerjasama dengan pemerintah dan NGO dalam pelaksanaannya.

“Kami melakukan Program Hutan Asuh,” lanjut Hari. Sebuah program reboisasi yang dilakukan dengan melibatkan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) dan kelompok tani lokal. Hutan asuh merupakan program penanaman pohon yang dilakukan perusahaan dengan melibatkan masyarakat sebagai pengasuhnya (merawat dan menjaga pohon yang sudah ditanam), sehingga diharapkan masyarakat juga ikut menjaga lingkungan mereka.

Penutupan sumur artesis

“SRI itu salah satu cara untuk menghemat air,” kata Hari. Beberapa petani menerapkan sistem ini di sawahnya. Pemantauan terus dilakukan dengan harapan, jika hasilnya tetap tinggi dengan air yang lebih hemat, petani yang lain akan mengikuti.

Selain itu, dilakukan pendataan dan pemetaan sumur artesis warga. Semakin banyak sumur artesis yang memancarkan air terus menerus akan semakin menguras cadangan air tanah oleh sebab itu perlu diatur dengan undang-undang. “Kami melakukan penutupan sumur artesis, tapi membangunkan yang lebih proper,” kata Hari.

Bagi sebagian warga, sumur artesis tak semata-mata sebagai sumber air namun juga memberikan prestis bisa memiliki sumber air sendiri. Hal-hal demikian memerlukan pendekatan yang dilakukan oleh tim yang melibatkan masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat.

Bila sudah menyadari pentingnya pengaturan air, maka diadakan penutupan sumur yang tidak efisien dan dibangunkan sumur baru yang lebih bagus dalam hal pengaturan air. Hari menjelaskan, sumur-sumur ini tetap memberikan air yang dibutuhkan warga, tapi ada meteran yang memantau jumlah air yang keluar dan juga ada klep sehingga bila air tidak dibutuhkan, tidak akan terbuang.

“Di Keboncandi, kami membangun 2 sumur yang proper setelah sepakat menutup 5 titik sumur,” kata Haris. Harapannya ke depan, semakin banyak sumur yang ada klepnya sehingga masyarakat tetap bisa menggunakan air tanpa membuang air berkualitas bagus. Ekuatorial.

Titik Kartitiani is a freelance journalist based in East Java who writes about the environment, culture, design, and fashion. She became a journalist in 2003 for the flora and fauna magazine, Flona a publication...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.