Pada 19 Oktober 2023, Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi membuka masa pendaftaran calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Republik Indonesia. Pada momen ini, generasi muda mendesak para kandidat yang akan berkompetisi untuk menjadikan perbaikan iklim sebagai program prioritas.

Berdasarkan catatan KPU, generasi milenial dan Z adalah pemilik 55% – 60% suara dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Jumlahnya diperkirakan lebih dari 110 juta orang dari 204 juta nama yang masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Dominasi statistik itu membuat generasi muda percaya diri untuk bersuara dan mendorong kontestan pemilihan presiden (Pilpres) agar mau mengutamakan aspirasi mereka.

Dian, mahasiswi Universitas Terbuka misalnya. Baginya, para kandidat dalam pilpres 2024 harus punya visi untuk menuntaskan permasalahan iklim. Karena dia sudah gerah merasakan suhu bumi yang semakin panas, juga menghirup racun polusi udara.

“Capres dan clawapres yang akan berkompetisi diharapkan punya kompetensi untuk menangani persoalan-persoalan tersebut. Sebab, kebijakan politik dan pembangunan yang nantinya dibuat akan memengaruhi baik-buruknya kondisi Bumi di masa depan,” kata Dian.

“Generasi Z dan milenial adalah masa depan Indonesia. Kita harus mengeluarkan aspirasi agar capres dan cawapres mau memprioritaskan masalah iklim ini,” sambungnya selepas diskusi bertajuk “Power Up Indonesia: Gerakan Orang Muda Menagih Komitmen Iklim Calon Presiden” di Jakarta, Kamis (19/10/23).

Ginanjar Aryasuta, koordinator Climate Rangers Jakarta menilai, dominasi generasi muda harus diikuti kemampuan mengendalikan narasi Pemilu 2024. Karena itu, dia memutuskan ikut menginisasi gerakan bernama Power Up Indonesia, bersama 28 organisasi yang tersebar di 14 kota.

Jelang Pemilu 2024, Power Up Indonesia menuntut capres dan cawapres untuk mendeklarasikan komitmen penanganan krisis iklim dan transisi energi berkeadilan, serta menekan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celsius.

“Ini penting, karena belum ada satupun calon yang membicarakan krisis iklim dan transisi energi,” terang Ginanjar kepada Ekuatorial.

Dia juga mendesak capres dan cawapres untuk tidak memasukkan para pelaku industri batu bara, minyak bumi dan gas ke dalam tim pemenangan. Hal itu, lanjutnya, untuk menghindari politik ‘balas budi’, yang justru memperparah krisis iklim.

Pemilu ini kita harus dorong suatu narasi besar dari anak muda bahwa kita sudah muak dan bosan dengan narasi-narasi kosong

Bhima Yudhistira, Direktur Celios

Pernyataan Dian dan Ginanjar selaras dengan hasil riset Center of Economic and Law Studies (Celios). Kajian bertajuk “Menuju Transisi Energi: Pesan Rakyat untuk Presiden Masa Depan” menemukan generasi Z dan milenial paling banyak menilai bahwa krisis iklim adalah masalah yang nyata.

Riset yang dipublikasi pada September 2023 itu juga mengkategorikan generasi muda sebagai mayoritas reponden kritis, di mana 24% Gen Z dan 46% generasi milenial menyatakan pemerintah belum memiliki kebijakan yang mampu mencegah krisis iklim.

Dalam aspek transisi energi, Gen Z disebut lebih banyak mendukung percepatan penutupan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, diikuti penggunaan energi bersih di kawasan industri dan kawasan khusus wisata. Sementara, generasi milenial paling banyak memilih opsi percepatan implementasi pajak karbon.

Bhima Yudhistira, direktur Celios mengatakan, generasi muda telah memasuki momen krusial untuk memastikan diusungnya program-program penuntasan krisis iklim oleh pasangan capres dan cawapres.

Baginya, komitmen tersebut bisa dilihat dari pengarus-utamaan topik-topik transisi energi, hingga kebijakan menggeser insenif yang selama ini dinikmati industri fosil, menjadi dukungan untuk pengembangan industri bersih.

“Jadi di pemilu ini kita harus dorong suatu narasi besar dari anak muda, bahwa kita sudah muak dan bosan dengan narasi-narasi kosong,” kata Bhima.

Dia menambahkan, narasi krisis iklim juga harus didesak untuk masuk dalam visi misi dan program aksi para kandidat. Sebab, lanjutnya, tanpa itu semua, publik akan sulit menagih janji-janji pada 5 tahun mendatang. Siapapun presiden yang terpilih nantinya.

Optimalkan kekuatan generasi muda

Generasi muda disebut telah memiliki kesadaran tentang topik perubahan maupun krisis iklim. Namun, untuk mengoptimalkannya menjadi gerakan yang punya kekuatan menekan, diperlukan tindakan lebih.

Melki Sedek Huang, ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) meyakini, langakah awal yang harus dilakukan adalah membebaskan topik iklim dari diksi-diksi elitis yang sulit dimengerti.

Karena, pembahasan yang rumit, telah membuat gerakan-gerakan penyelamatan lingkungan hidup kurang mendapat perhatian generasi muda. Padahal, menurutnya, fenomena perubahan dan krisis iklim telah dirasakan begitu banyak orang.

Sehingga, Melki menekankan pentingnya memperkuat kesadaran empirik generasi muda. Sebab, pengetahuan tentang kondisi lingkungan hidup dan krisis iklim tidak hanya ditemukan dalam teks-teks ilmiah.

“Karena, yang pantas bicara iklim tidak hanya orang teredukasi saja, atau orang muda di perkotaan. Justru mereka yang jauh dari kota adalah yang paling terdampak,” terangnya.

Melki percaya, terbentuknya kesadaran generasi muda, dapat menjadi kekuatan untuk menekan para kandidat, yang pada akhirnya membuat topik krisis iklim sebagai pembahasan penting dalam Pemilu 2024.

Karena yang pantas bicara iklim tidak hanya orang teredukasi saja, atau orang muda perkotaan. Justru mereka yang jauh dari kota adalah yang paling terdampak

Melki Sedek Huang, Ketua BEM UI

Andhyta Firselly Utami, salah satu inisiator BijakMemilih menerangkan beberapa strategi untuk memperkuat kesadaran generasi muda, khususnya menyangkut politik dan kebijakan berorientasi lingkungan. Misalnya, mengaitkannya dengan kebebasan berpendapat, serta korupsi. Di samping itu, mengalihkan fokus dari individu pada sistem.

BijakMemilih adalah situs daring yang bertujuan membentuk massa kritis dan meminta politisi untuk memberikan solusi, ide dan kebijakan yang lebih baik.

“Karena individu caleg kekuatannya terbatas, ruang untuk berbeda dari partainya juga tidak besar. Pun dalam konteks capres. (Tapi) sekarang, seolah-olah yang dibahas hanya individunya,” ujar Andhyta.

Strategi lainnya adalah menyederhanakan kata kunci dalam topik-topik iklim dan transisi energi. “Saya kira, momentum polusi ini jadi baik karena kita merasakan langsung. Bandingkan dengan PLTU, kalau tidak pernah lihat bentuknya, agak sulit relate,” lanjutnya.

Andhyta berharap, melalui strategi-strategi tadi, generasi muda dapat mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan iklim berdasarkan prinsip sains, sebelum menentukan langkah politik. Bukan sebaliknya.


Baca juga:

About the writer

Themmy Doaly

Themmy Doaly has been working as Mongabay-Indonesia contributor for North Sulawesi region since 2013. While in the last nine years he has also been writing for a number of news sites in Indonesia, including...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.