Sejak terpilih menjadi kepala daerah Provinsi Riau, Syamsuar menggagas konsep yang diberi nama “Riau Hijau”. Sebuah upaya untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Riau menuju pembangunan berkelanjutan.

Untuk membedah kebijakan tersebut, The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) bersama Bentalanews.id dan Trend Asia menyelenggarakan diskusi di Pekanbaru, Riau, Selasa (10/10).

Koordinator SIEJ Simpul Riau, Ilham Yafiz berharap melalui diskusi ini 30 peserta dari kalangan mahasiswa, jurnalis, pers mahasiswa, dan organisasi non-pemerintah (NGO) dapat mengetahui sejauh mana penerapan program Riau Hijau tersebut, serta isu transisi energi.

“Diskusi kali ini membahas program Riau Hijau yang dicanangkan oleh Gubernur Syamsuar dan Wakil Gubernur Edy Natar Nasution. Apakah sudah terselesaikan dengan baik, program Riau Hijau ini?” kata Ilham memantik diskusi.

Sebelum memulai diskusi, para peserta nonton bareng (nobar) film dokumenter berjudul “Memukul Jatuh Mengadili PLTU” yang diproduksi oleh Tempo TV.

Riau Hijau memiliki tiga kebijakan penting, yakni meningkatkan upaya pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, kualitas pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) serta Bauran Energi Dari Sumber Daya Alam Terbarukan.

Dalam perubahan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Riau tahun 2019-2024, Riau Hijau menjadi payung kebijakan untuk seluruh misi kepala daerah dan dibahas secara tersendiri dalam subbab Kebijakan Khusus Daerah.

Menurut Hapriadi Malik, Perencana Ahli Madya Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian dan Pengembangan (Bappeda Litbang) Provinsi Riau, program Riau Hijau merupakan komitmen pemerintah setempat terhadap pembangunan berwawasan lingkungan dengan memperhatikan aspek lingkungan hidup menuju pembangunan berkelanjutan.

“Sebagaimana sudah menjadi komitmen global dalam SDGs [Sustainable Development Goals], Pemerintah Provinsi Riau mendukung hal-hal yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan hidup. Sebagai wujud dari komitmen tersebut, dihasilkan Peraturan Gubernur Provinsi Riau No. 9 Tahun 2021 tentang Riau Hijau,” papar Hapriadi.

Dia menambahkan, dalam konsep pembangunan ini, Pemprov Riau sudah berusaha melibatkan unsur pentahelix, di antaranya pemerintah, perguruan tinggi, swasta, organisasi masyrakat sipil (CSO), dan media.

“Dari 49 lembaga yang menyatakan berkomitmen dengan pelaksanaan Riau Hijau ini, 39 diantaranya sudah menyusun rencana aksi,” imbuhnya.

Kebijakan tersebut, menurutnya, sejalan dengan seperangkat aturan yang sudah dikeluarkan pemerintah Indonesia sebagai upaya Indonesia dalam menjalankan transisi energi bersih, seperti Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, PP Nomor 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, Perpres Nomor 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), dan Perpres Nomor 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Rangkaian peraturan tersebut kemudian diikuti dengan seperangkat peraturan teknis pada tingkat kementerian/lembaga terkait, misalnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Kebijakan Riau Hijau membuat pemprov berhasil meraih penghargaan khusus bidang Ekonomi Hijau dan Rendah Karbon. Penghargaan tersebut diberikan saat acara Musyawarah Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2024.

Transisi energi

Diskusi tersebut juga membahas isu transisi energi, yang menjadi salah satu isu prioritas pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Bali 2022 dan tertuang dalam Deklarasi Pemimpin, terutama poin ke-11 dan 12.

Dalam dua poin itu, dinyatakan pentingnya mencapai net zero emission atau nol emisi karbon pada 2060 dan mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) untuk menyediakan stabilitas, transparansi, dan keterjangkauan energi bagi seluruh masyarakat.

Walau demikian, pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakar, tetap akan berlangsung di Indonesia hingga 10 tahun mendatang. Salah satu PLTU yang tengah dalam proses pembangunan adalah PLTU Tanjung Jati A di Cirebon Jawa Barat.

Menurut Manager Media Trend Asia, Widia Primastika, keberadaan PLTU Cirebon 1 atau PLTU Tanjung Jati A yang berkapasitas 2 x 660 MW sangat merugikan masyarakat di sekitarnya. Salah satunya, keberadaan PLTU tersebut membuat nelayan perempuan tidak lagi dapat melaut karena mereka harus berlayar semakin jauh untuk bisa menangkap ikan.

“Nelayan yang tadinya suami istri melaut, gara-gara ada PLTU, istrinya tidak bisa melaut lagi. Yang tadinya penghasilan sebagai nelayan bisa menutupi kebutuhan hidup mereka, sekarang setelah adanya PLTU Cirebon 1 tidak bisa lagi,” kata Widia.

PLTU Tanjung Jati A juga diperkirakan akan menghasilkan lebih dari 18 juta ton CO2 setiap harinya.

Pada 13 Oktober 2022, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung sebenarnya telah mengabulkan tuntutan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) untuk mencabut izin lingkungan PLTU tersebut –yang diberikan pemerintah Jawa Barat pada 28 Oktober 2016– karena mencemari lingkungan dan memperburuk perubahan iklim.

Akan tetapi, menurut Widia, pencabutan izin lingkungan itu tidak pernah disampaikanoleh pihak PLTU kepada masyarakat sekitar.

“Nelayan di Cirebon yang berada di sekitar PLTU tersebut tidak mendapat informasi bahwa Izin lingkungan PLTU Cirebon sudah dicabut,” imbuhnya.

Ketika kepentingan politiknya mengarah ke ekonomi, sudah pasti lingkungan diabaikan

Masnur Putra Halilintar, dosen Fakultas Teknik Universitas Lancang Kuning

Dosen Fakultas Teknik Universitas Lancang Kuning, Ir. Masnur Putra Halilintar, M.Si, sepakat bahwa keberadaan PLTU menjadi sumber polutan bagi wilayah di sekitarnya. Mulai dari penambangan batu bara, distribusi, hingga pembakarannya menjadi tenaga listrik.

“Mulai dari batu bara, daerah isolasinya, itu jelas persoalan lingkungan. Kemudian mobilisasi bahan baku juga jelas persoalan lingkungan. Di PLTU-nya sendiri, prosesnya hingga ke pembakarannya itu semuanya persoalan lingkungan. Itu secara umum kita tahu bahwa banyak pencemaran-pencemaran,” kata Mansur.

“Dari beberapa penelitian yang kita lihat, itu pencemaran kimianya sampai 28 partikulat yang bisa menyebabkan penyakit seperti gangguan pernapasan, sampai ke yang kronis bahkan kematian akibat pencemaran PLTU.”

Masnur menambahkan, ada kepentingan energi murah dan kepentingan lingkungan kerap bertolak belakang.

“Ketika kepentingan politiknya mengarah ke ekonomi, sudah pasti lingkungan diabaikan,” tuturnya.


Baca juga:

About the writer

Sandy Pramuji

After graduating from Padjadjaran University, Sandy has been active in journalism. Starting as a repoter at The National News Agency (LKBN) Antara in 2003, he then helped developing an English language...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.