Indonesia mengklaim berkomitmen melakukan transisi energi untuk menurunkan emisi. Sayang, ada aturan energi terbarukan bertolak belakang.

Indonesia mengklaim berkomitmen untuk melakukan transisi energi sebagai salah satu upaya pemerintah dalam menurunkan emisi negara dari sektor energi. Sayang, sejumlah kebijakan energi terbarukan yang dikeluarkan bertolak belakang dengan komitmen tersebut.

Salah satunya revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 26/2021 yang mengatur tentang pemasangan surya atap. Revisi tersebut mengakomodir memo internal PLN yang membatasi kapasitas pemasangan surya atap hanya 10-15% dari kapasitas terpasang.

Aturan tersebut sejatinya menghambat pengembangan energi terbarukan dalam rencana ketenagalistrikan khususnya energi surya.

“Jika pemerintah berkomitmen untuk melakukan transisi energi, seharusnya PLN menjalankan aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM. Tetapi apa yang kita lihat hari ini, PLN jadi lebih berkuasa dan tidak patuh pada kebijakan yang lebih tinggi,” ucap Hadi Priyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, dikutip dari laman Greenpeace Indonesia, Sabtu (21/10/2023).

“Transisi energi tidak akan bisa berjalan, energi surya akan tidak kompetitif harganya, jika dari tiap lembaga negara tidak memiliki kemauan yang serius untuk bertransisi melalui payung hukum yang mereka ciptakan,” terangnya.

Padahal, Indonesia sebagai negara dengan skala geografis yang cukup besar memiliki berbagai macam potensi energi terbarukan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Dengan matahari yang bersinar sepanjang tahun, Indonesia memiliki potensi 3.295 GW energi surya yang bisa mencukupi kebutuhan energi seluruh negeri.

Greenpeace Indonesia mendesak keseriusan pemerintah dalam implementasi transisi energi. Gelombang investasi yang besar juga harus dibarengi dengan payung hukum dan kemauan politik untuk melepas ketergantungan pada jebakan energi batubara.

Ketiadaan net metering

Greenpeace pernah melakukan survey pada tahun 2020 bahwa lebih dari 80% warga Jakarta ingin memasang panel energi surya di rumahnya. Dengan tingginya keinginan masyarakat yang ingin memasang panel surya, harusnya bisa menjadi landasan bagi pemerintah agar membuat payung hukum yang lebih serius untuk mendukung penerapan energi terbarukan di masyarakat.

Yohanes Sumaryo dari Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) mengatakan salah satu daya tarik dalam memasang PLTS atap adalah adanya ketentuan net metering. Namun pemerintah mewacanakan untuk menghapus ketentuan net metering ini pada revisi Permen ESDM 26/2021 tersebut. 

​​Net metering itu bentuk insentif pemerintah agar masyarakat umum tertarik memasang PLTS atap yang harganya relatif masih mahal dibanding biaya langganan listrik PLN. Dengan net metering koefisien perbandingan ekspor-impor menjadi 1:1 maka tingkat pengembalian modal atau payback period pemasangan PLTS atap bisa berkisar antara 4-5 tahun,” jelasnya.

Lebih lanjut Yohanes menjelaskan ketiadaan net metering akan menyurutkan minat calon pelanggan untuk memasang PLTS atap.

“Dengan revisi Permen ESDM No. 26/2021  di mana ekspor listrik ke grid PLN ditiadakan, maka orang yang mau memasang PLTS atap terpaksa harus membeli baterai penyimpan energi yang cukup mahal dan membuat tingkat pengembalian modal lebih lama, menjadi 9-10 tahun. Ini menyebabkan banyak orang yang mengurungkan niatnya memasang PLTS atap,” ungkapnya.


Baca juga:

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.