Relokasi (resettlement) warga yang terdampak bencana galodo (banjir lahar dingin) Gunung Marapi di Sumatera Barat pada 11 Mei 2024 mesti diperhitungkan secara cermat dan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan.

Demikian salah satu poin penting yang mengemuka dalam diskusi bertema “Konsep Resettlement Pemukiman Rawan Banjir Lahar” pada tanggal 2 Juni 2024 di Hotel Truntum, Padang, Sumatera Barat. Diskusi yang diselenggarakan oleh Patahan Sumatera Institute (PSI) itu dihadiri oleh 20 orang ahli, akademisi, praktisi, dan aktivis lingkungan.

Direktur Eksekutif PSI Ade Edwards menyatakan bahwa diskusi tersebut penting dilakukan mengingat Gunung Marapi masih berstatus Siaga (level III) dengan ancaman erupsi dan banjir lahar yang dapat kembali terulang pada 23 alur sungai yang berhulu di puncak gunung. Berdasarkan hasil pemetaan dan simulasi permodelan oleh PVMBG Badan Geologi-Kemen ESDM pada Januari 2024, masih banyak permukiman warga yang berada di dalam kawasan rawan bencana banjir lahar.

“Hal ini tentunya perlu menjadi perhatian semua pihak untuk melakukan upaya antisipasi dan mengurangi risiko bencana banjir lahar dan erupsi Gunung Marapi,” tegas Ade.

Salah satu upaya yang diusulkan Ade untuk meminimalisir timbulnya korban adalah dengan melakukan pemindahan permukiman dari daerah rawan banjir lahar ke daerah yang lebih aman. Ia mengingatkan bahwa resettlement yang dimaksud bukan berarti memindahkan warga ke lokasi yang jauh.

“Bisa saja hanya bergeser beberapa meter dari zona rawan. Upaya ini perlu dilakukan dengan segera, karena bencana bisa kapan saja terjadi,” jelasnya.

Pemerintah memang tengah menggodok rencana relokasi korban bencana, khususnya 159 kepala keluarga yang tinggal di zona merah (rawan). Saat berkunjung ke lokasi bencana di Bukik Batabuah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan lahan baru sudah disiapkan dan Kementerian PUPR akan segera melakukan pembangunan.

Jokowi juga mengatakan, bahwa dari 159 rumah warga yang rusak berat tersebut, ada sekitar 100-an yang sudah setuju untuk relokasi. Sedangkan sisanya masih dalam proses.

Guru Besar Hukum (Agraria) Universitas Andalas (UNAND) Kurnia Warman sepakat bahwa relokasi bisa menjadi langkah mitigasi yang tepat. Namun dia mengingatkan bahwa kebijakan relokasi harus beralaskan hukum yang jelas dalam konteks adat dan agraria.

Pendapat tersebut diperkuat oleh salah satu peserta, Ir Djoni, mantan Kepala Dinas Pertanian Sumbar. Dia lantas mengingatkan bahwa inventarisasi masyarakat terdampak harus segera dilakukan, juga diskusi dengan tokoh adat, kaum, dan suku sebelum relokasi ditetapkan.

“Keputusan lokasi harus didasarkan pada kesepakatan adat, kaum, dan suku,” tegas Djoni.

Relokasi solusi insidentil

Pendapat berbeda dikemukakan dosen UNAND Fadli Irsyad. Menurutnya relokasi hanyalah solusi insidentil bagi korban galodo. Hal terpenting, ujarnya, adalah fokus pada adaptasi dan mitigasi untuk menghadapi kejadian serupa di masa depan.

“Galodo bisa berulang setiap 50 atau 100 tahun dan tidak bisa diprediksi kapan akan dimulai,” kata Fadli. “Jika ada peringatan dini, minimal kita bisa mengurangi korban jiwa.”

Soal mitigasi, Guru Besar Universitas Gunadarma Isril Berd, menyoroti rencana penambahan 6 buah sabo dam di Gunung Marapi yang telah diutarakan Presiden Joko Widodo. Isril menilai pembangunan sabo dam cocok sebagai mitigasi lahar Marapi secara fisik.

“Namun, sabo dam dan infrastruktur pengendalian aliran banjir lahar (debris flow) harus terencana baik, sehingga fungsi mitigasinya bisa maksimal,” katanya.

Deklarasi Padang II

Para peserta brainstorming tersebut pada akhirnya menyepakati tiga pokok pikiran utama yang menjadi inti dari hasil diskusi yang mereka sebut sebagai Deklarasi Padang II, melanjutkan Deklarasi Padang I yang lahir dalam “International Meeting on the Sumatran Earthquake Challenge” pada Agustus 2005.

Tiga pokok pikiran Deklarasi Padang II adalah:

  1. Resettlement permukiman di Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Marapi dilakukan dengan Penataan Kawasan Nagari berbasis Mitigasi Bencana.
  2. Kawasan DAS (Daerah Aliran Sungai) dan sempadan sungai zona rawan banjir lahar dan erupsi Gunung Marapi dikonversi menjadi kawasan konservasi dan buffer zone sebagai peredam ancaman banjir lahar yang juga mempunyai nilai ekonomi tinggi (green economic).
  3. Pengurangan risiko banjir lahar Marapi (mitigasi) seperti sabo dam dan infrastruktur pengendalian aliran banjir lahar (debris flow) harus terencana baik.

“Ada sekitar 34 poin penting dari brainstorming ini. Lalu kita peras lagi, sehingga didapatkan 3 poin penting dari pokok-pokok pikiran seperti di atas,” jelas Ade.

Dia berharap upaya yang mereka lakukan dapat meminimalisir risiko bencana banjir lahar dan erupsi Gunung Marapi, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar gunung.


There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.