Ancaman kabut asap Sumatera Selatan belum sepenuhnya sirna. Sepanjang 2024, kebakaran hutan di Indonesia masih mencapai 361 ribu hektare.

Potret Desa Lebung Itam, OKI, Sumatera Selatan sebelum dan setelah asap akibat kebakaran hutan dan lahan gambut (karhutla) memerangkap desa tersebut. (Foto: Abriansyah Liberto/Greenpeace Indonesia)
Potret Desa Lebung Itam, OKI, Sumatera Selatan sebelum dan setelah asap akibat kebakaran hutan dan lahan gambut (karhutla) memerangkap desa tersebut. (Foto: Abriansyah Liberto/Greenpeace Indonesia)

Abriansyah Liberto berada di Desa Lebung Itam, OKI, Sumatera Selatan pada 28 Oktober 2023, saat kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan gambut (karhutla) memerangkap desa tersebut. Ia mengabadikan sejumlah momen dan tempat–seperti parit yang mengering hingga warga yang terpaksa beraktivitas di tengah asap.

Pada awal Juli 2024, ia kembali ke Lebung Itam, Sumatera Selatan bersama tim Greenpeace Indonesia. Abriansyah menyambangi kembali sejumlah lokasi yang ia abadikan saat kabut asap melanda. Namun kali ini, udara bersih tanpa jerebu.

Kendati begitu, ancaman kabut asap belum sepenuhnya sirna. Sepanjang 2024, tahun dengan kemarau basah yang dipengaruhi fenomena La Nina, luas kebakaran hutan dan lahan di Indonesia masih mencapai 361 ribu hektare lebih.

Sesak napas karena kabut asap di Sumatera Selatan

Pada 28 Oktober 2023 pagi, cahaya matahari tak sampai menembus kabut asap tebal yang menyelimuti Desa Lebung Itam, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) gambut di sejumlah titik perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI), yang berlokasi tak jauh dari Desa Lebung Itam, membuat jarak pandang yang terlihat hanya 5 meter. Aktivitas terganggu, berimbas pada perekonomian warga yang sebagian besar harus menyadap karet di pagi hari.

Kabut asap karhutla tersebut juga menjadi masalah serius bagi kesehatan warga. Berbagai partikel berbahaya yang terkandung di dalamnya bisa mempengaruhi sistem pernapasan, mata, dan kesehatan secara keseluruhan.

Kabut asap mengandung partikel-partikel mikroskopis yang mudah masuk ke dalam saluran pernapasan manusia. Efeknya bisa iritasi tenggorokan, hidung, dan mata. Gejala pernapasan seperti batuk, pilek, dan sesak napas juga seringkali muncul. Bahkan sekolah-sekolah di Desa Lebung Itam menganjurkan para siswa dan siswi memakai masker. Waktu masuk sekolah pun menjadi jam 9 pagi, mundur dua jam dari seharusnya.

Gambut yang kian mudah terbakar di Sumatera Selatan

Roili (64), warga Desa Lebung Itam, merasakan langsung dampak dari kabut asap. Napasnya sesak, tenggorokannya sakit, dan matanya perih sejak tempat tinggalnya diselimuti kabut asap “Kalau pagi hari jarak pandang sangat buruk, mungkin hanya sekitar 5 sampai 10 meter saja. Asap juga membuat sesak pernapasan,” ujar Roili, yang kini menjadi salah satu penggugat perkara kabut asap di Pengadilan Negeri Palembang, melawan tiga perusahaan HTI.

Roili bercerita, ia sudah mengalami kabut asap sejak 1997. Menurut dia, kabut asap itu imbas kebakaran di konsesi perusahaan perkebunan di area rawang–lahan basah (termasuk gambut) dalam bahasa lokal Sumatera Selatan.

Berselang 27 tahun, Roili merasa keadaan kian memburuk. Di masa lampau, area gambut akan mengering setelah kemarau berlangsung lima hingga enam bulan. Namun di tahun-tahun belakangan, tanah rawang itu menggersang dan terbakar saat kemarau baru dua hingga tiga bulan saja.

“Kami berharap kebakaran hutan dan lahan yang mengakibatkan kabut asap tidak terjadi lagi, karena kabut asap membuat sesak napas dan mata perih. Selain itu, juga mengganggu aktivitas warga untuk mencari nafkah,” pungkas Roili. [Cerita ditulis oleh Abriansyah Liberto. Disunting Budiarti Putri dan Haris Prabowo]

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.