Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Tim Advokasi Hak atas Keadilan Iklim menggugat Kementerian ESDM agar mencabut proyek Pembangunan PLTU Jawa 3/Tanjung Jati A

Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Tim Advokasi Hak atas Keadilan Iklim menggugat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Tim yang terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, dan Koalisi Masyarakat Bersihkan Cirebon (Karbon) menggugat ESDM agar mencabut proyek Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 3/Tanjung Jati A dari Rencana dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.

PTUN Jakarta menggelar sidang pembacaan gugatan secara elektronik pada 31 Desember 2024 lalu. Kementerian ESDM baru memberikan jawaban atas gugatan pada sidang ke-empat pada Selasa, 21 Januari 2025.

“Hari ini sudah ada jawaban dari tergugat. Tapi belum diverifikasi sama majelisnya. Jadi kami belum menerima (berkas) jawabannya,” kata M. Rafi Saiful, salah satu kuasa hukum Tim Advokasi Hak atas Keadilan Lingkungan via pesan singkatnya, Selasa, 21 Januari 2025.

Proyek PLTU Jawa 3 yang rencananya dibangun di Desa Pengarengan, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat ini sempat oleh tim yang sama. Kala itu gugatan mempertanyakan izin lingkungan proyek tersebut.

Majelis hakim di PTUN Bandung membatalkan izin Pembangunan PLTU–dengan kapasitas 2 x 660 Megawatt–yang diterbitkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Jawa Barat seperti dalam putusan nomor 52/G/LH/2022/PTUN.Bdg yang saat ini sudah berkekuatan hukum tetap. Pemerintah Kota Cirebon juga menyegel proyek tersebut pada tahun 2017 karena belum lengkapnya perizinan.

Tim Advokasi Hak atas Keadilan Iklim menggugat izin lingkungan PLTU Jawa 3 karena pemerintah melanggar asas tanggungjawab negara dan asas kehati-hatian. Dalam gugatannya, tim mengungkapkan, PLTU tersebut berpotensi mengakibatkan kerugian negara dan menjadi aset terlantar akibat beban penyediaan energi listrik yang sudah melebihi kapasitas.

Kondisi kelistrikan di jaringan Jawa-Bali saat ini sudah melebihi pasokan yang mencapai 60 persen. Operasi PLTU Jawa 3 akan menambah kelebihan suplai listrik ke jaringan ketenagalistrikan Jawa-Bali. Ada potensi penyerapan atau pemakaian yang berdampak pada meruginya PT PLN yang terikat skema take or pay (listrik terserap oleh konsumen atau tidak, PLN wajib membeli).

Selain itu, izin lingkungan PLTU Jawa 3 yang diterbitkan (DPMPTSP) Provinsi Jawa Barat tidak memuat analisis dampak lingkungan atas paparan emisi gas rumah kaca (GRK) dan kontribusinya terhadap pemanasan global serta perubahan iklim. Pemerintah menyebut bahwa tidak ada regulasi yang mengharuskan paparan emisi karbon dan perubahan iklim dimasukan dalam analisis dampak lingkungan.

Direktur Eksekutif WALHI Daerah Jawa Barat, Wahyudin menyatakan, proyek PLTU Jawa 3 berpotensi menghasilkan ratusan ton emisi karbon selama masa operasinya. Emisi tersebut berkontribusi pada dampak buruk perubahan iklim.

Hitungan tersebut, ungkap Wahyudin, sesuai dengan kapasitas PLTU yang membutuhkan 18 ribu ton batu bara setiap harinya atau 6,5 juta ton batu bara dalam selama 365 hari atau setahun. Atau setara 16 juta metrik ton karbondioksida. Apabila beroperasi selama 30 tahun sesuai dokumen Perizinan Berusaha Penyediaan Tenaga Listrik, PLTU Jawa 3 akan membakar 197,1 juta ton batu bara setara dengan 480 juta ton karbondioksida.

“Selain itu terdapat potensi ancaman pencemaran udara, air laut, air tanah serta penurunan kualitas kesehatan masyarakat akibat pembangunan PLTU,” tegas Wahyudin.

Alasan lain yang menguatkan gugatan dari tim ke PTUN Jakarta, sambung Wahyudin, adalah kondisi pendanaan yang tidak kunjung tercapai sejak proyek ini direncanakan pada 1997. Hal itu terlihat dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik Perusahaan Listrik Negara sejak 2015 hingga saat ini.

“Pada dokumen tahun 2019 status proyek ini berubah dari proses pengadaan jadi proses pendanaan. Sampai saat ini masih belum mendapatkan pendanaan,” kata Wahyudin.

Ketiadaan pendanaan itu, sambung Wahyudin, seharusnya dapat mengakhiri perjanjian jual beli tenaga listrik. Dia mengutip Pasal 23 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik yang menjelaskan “Pengakhiran PJBL (Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik) dapat terjadi, antara lain dalam hal: Tidak tercapai pendanaan”.

Mohammad Dehya Affina dari Karbon menyatakan, rencana pemerintah merealisasikan PLTU Jawa 3 sebagai sebuah keanehan. “PLTU 1 mau pensiun dini, malah dibangun 2 sudah operasi dan ini mau dibangun 3,” ujarnya.

Dehya berharap majelis hakim di PTUN Jakarta dapat mengabulkan gugatan karena sebelum PLTU Jawa 3 beroperasi, masyarakat di Cirebon sudah terdampak sejak pembebasan lahan.

“Nelayan Cirebon sekarang tidak melaut di (sekitar) Cirebon. Banyak petani tambak banyak mengeluh, mereka sangat kesusahan dengan adanya pembukaan akses jalan menuju PLTU Tanjung Jati A. Lahannya banyak digusur, hasil tambak garam tidak sebanyak dulu,” tutur Dehya sembari berharap PLTU Jawa 3 segera bisa dikeluarkan dari (RUPTL) 2021-2030.

About the writer

Adi Marsiela

Adi has been working as a journalist since 2003. He started at Suara Pembaruan daily until it closed in 2021. He's been writing and taking photos for The Jakarta Post and several other news agencies. Currently...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.