Banjir rob terus mengepung Semarang akibat penurunan permukaan tanah dan kenaikan permukaan laut.

Tulisan ini dibuat dengan dukungan Pullitzer Center on Crisis Reporting.

Pada suatu hari yang cerah di akhir bulan Mei 2022, banjir pasang tiba-tiba menerjang kawasan industri Lamicitra, yang merupakan bagian dari pelabuhan Tanjung Emas di Semarang, pantai utara Jawa Tengah, sekitar jam 12:30 siang. 

Para pekerja di sana sebenarnya sudah terbiasa dengan banjir pasang atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Rob”, tetapi banjir kali ini tidak seperti biasanya. Mereka panik ketika alarm berbunyi dan memaksa pabrik-pabrik di sana untuk menghentikan produksinya.

Untuk Anjani*, perempuan berumur 37 tahun yang bekerja sebagai pengawas pada bagian menjahit dari sebuah pabrik garmen di dalam zona industri itu, hari itu pertama kalinya ia mendengar bunyi alarm pabrik senyaring itu. Air dengan cepat merambah ke dalam  pabrik mencapai ketinggian lutut orang dewasa.

Atasan Anjani memerintahkan para pekerja untuk memindahkan barang-barang berharga serta bahan mentah produksi ke tempat yang lebih aman. Mesin jahit serta peralatan lainnya tergenang air.

Ia berusaha tidak panik tetapi Anjani tetap tidak dapat menyembunyikan ketakutannya ketika ribuah pekerja menyelamatkan diri. “Ini tidak seperti yang pernah saya alami,” ujar Anjani dengan menambahkan bahwa “Ini pertama kalinya banjir memasuki pabrik.”

Begitu alarm berhenti berbunyi, ribuan pekerja telah dievakuasi ke tempat yang aman. Namun Anjani dan beberapa rekan kerjanya terjebak di dalam pabrik selama dua jam karena banjir di luar sudah setinggi leher.

Laut itu seperti menelan kami semua.

Fela, buruh pabrik

Beberapa dari mereka segera mengirimkan kabar kepada keluarga mereka melalui telepon genggam untuk memberitahukan bahwa mereka baik-baik saja. 

Tetapi ketika nampaknya air tidak akan segera surut, Anjani dan rekan-rekannya kemudian memberanikan diri untuk pulang, melewati banjir yang dalam tersebut. Tempat tinggalnya berjarak hanya sekitar 10 menit dari pabrik, tetapi hari itu Anjani butuh waktu hampir satu jam untuk sampai ke rumahnya. Motornya ia tinggalkan di tempat parkir pabrik.

“Motor kami tenggelam,” ingatnya, dengan menambahkan bahwa banjir pasang selama ini hanya setinggi lutut saja. “Kami tinggalkan saja dan pulang. Kami hanya memikirkan keselamatan kami sendiri.”

Fela*, seorang pekerja lainnya, berada di antara mereka yang paling akhir meninggalkan pabrik. Ia mengatakan, kebanyakan pekerja dari pabrik-pabrik di sekitarnya sudah dievakuasi sebelum banjir pasang mencapai setinggi leher. 

Pabrik garmen di mana ia bekerja berada di daerah yang sedikit lebih tinggi dan air di sana hanya sampai setinggi lutut di dalam pabrik.

Menurutnya, para manajer utama serta pemilik pabrik merupakan yang terakhir diselamatkan oleh tim SAR, sekitar jam delapan malam. Banjir pasang hari itu menyerupai tsunami dan ia mengatakan tak berhenti berdoa demi keselamatannya.

“Laut seperti menelan kami semua,” ujarnya.

*** 

Pantai utara Pulau Jawa memang sedang mengalami penurunan permukaan tanah dengan laju yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Beberapa ilmuwan memprediksi bahwa tahun 2025 sebagian besar garis pantai Pulau Jawa akan tenggelam ditelan Laut Jawa.

Menurut data resmi pemerintah, lebih dari 8.000 hektare tanah di pantai utara sekarang sudah digenangi air dan Semarang merupakan salah satu dari daerah yang paling terdampak dengan hampir 2.000 hektare kini tergenang air.

Sebuah riset berjudul “Subsidence in Coastal Cities Throughout the World Observed by InSAR” (Penurunan Tanah di Kota-Kota Pesisir di Dunia yang Diamati inSAR) yang mengamati 99 kota pesisir dan hasilnya diterbitkan Geophysical Research Letters tahun 2022, Semarang merupakan kota dengan laju penurunan tanah tertinggi kedua setelah Tianjin di Cina, sementara Jakarta berada di tempat ketiga.

Penurunan tanah di Semarang melampaui laju peningkatan permukaan laut dengan 20-30 mm/per tahun line-of-sight (LOS), riset tersebut menemukan.

Salah satu faktor di balik penurunan tanah ini, menurut para peneliti, adalah jenis tanah di daerah ini yang terdiri dari aluvium  – tanah yang rapuh dan tak padat atau sedimentasi dari erosi yang terbentuk oleh air dan diendapkan di daerah yang tidak berair.

Yang juga berkontribusi kepada penurunan tanah adalah ekstraksi air tanah oleh industri dan rumah tangga. Karena Semarang tidak memiliki jaringan pemipaan air yang mencukupi, perusahaan pemasok air milik negara, Tirta Moedal, juga mengekstraksi air melalui puluhan sumur artesis untuk didistribusikan kepada 42.000 warga.

Heri Andreas, peneliti dari Fakultas Teknologi dan Ilmu Geologi di Institut Teknologi Bandung, mengatakan bahwa penurunan tanah dan banjir pasang bukan merupakan fenomena baru dan kemungkinan sudah terjadi sejak 100 tahun yang lalu.

“Dampak penurunan tanah di Semarang dapat dilihat dari meluasnya areal banjir, retak-retak pada bangunan dan infrastruktur, serta intrusi air laut yang semakin jauh ke dalam daratan. Ia juga membawa pengaruh buruk pada mutu dan kenyamanan lingkungan hidup dan kehidupan di daerah yang terdampak,” jelas Heri.

Semarang merupakan salah satu kota penting di Jawa, menghubungkan Ibu Kota Jakarta di sisi barat ke bagian timur Jawa. 

Tidak seperti kota-kota lainnya, Semarang memiliki topografi yang unik dengan dataran rendah yang sempit, sekitar empat sampai 11 kilometer dari pantai di bagian utara, dan daerah perbukitan dengan ketinggian sekitar 340 meter dari permukaan air laut di sebelah selatannya.

Dataran rendah ini, yang dalam bahasa jawa dikenal sebagai Semarang ngisor , yang merupakan 40 persen dari daerah keseluruhannya dan juga merupakan pusat kota dan pusat kegiatan administrasi pemerintah, serta ekonomi.

Semarang terletak di sebuah delta yang secara alami merupakan daerah banjir, dengan sembilan sungai besar mengalir melalui kota. Kegiatan manusia dan perubahan iklim telah membuat bagian utara Kota Semarang turun menjadi dua meter di bawah permukaan air laut dan in berarti Semarang merupakan salah satu kota yang mengalami penurunan tanah terburuk dalam sejarah moderen.

Banjir yang kronis juga sudah menjadi bagian dari realita kehidupan sehari-hari, terutama di musim hujan dan saat air pasang. Pada masa penjajahan, pemerintahan Belanda telah menjalankan beberapa kebijakan, termasuk membangun kanal banjir di bagian barat dan timur dengan menggunakan dua sungai pada tahun 1875, yang memakan waktu empat tahun.

Dampak penurunan tanah di Semarang dapat dilihat dari meluasnya areal banjir, retak-retak pada bangunan dan infrastruktur serta intrusi air laut yang semakin jauh ke dalam daratan. Ia juga membawa pengaruh buruk pada mutu dan kenyamanan lingkungan hidup dan kehidupan di daerah yang terdampak.

Heri Andreas, peneliti Fakultas Teknologi dan Ilmu Geologi di Institut Teknologi Bandung,

Tetapi bagi Anjani, banjir tidak saja telah menjadi realitas, tetapi juga berpengaruh buruk terhadap dirinya. Ia bosan mengalami banjir tetapi juga menyadari bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa selain bersiap untuk menghadapinya.

Terlahir dan dibesarkan di Semarang, ia sudah mengalami banjir sejak usia dini. Orang tuanya selalu meninggikan lantai rumah mereka karena permukaan tanah terus menurun. Orang tuanya sudah meninggikan lantai rumah setinggi dua meter dalam tujuh tahun terakhir karena banjir menjadi lebih sering.

Gajinya juga tak mencukupi untuk membantu meninggikan lantai ini dan karenanya ia harus mengambil pinjaman dari bank.

Anjani mengatakan, sebagian besar upahnya digunakan untuk membayar perbaikan atau membeli motor baru, karena air laut memperpendek usia mesin motornya. Ia menghabiskan sekitar Rp2.000.000 untuk memperbaiki motornya setiap mogok. Ia sudah membeli tiga motor dalam 15 tahun terakhir ini.

Suaminya bekerja sebagai nelayan tradisional yang mengarungi Laut Jawa sampai Demak atau Jepara. Tiap kali banjir bandang menerjang rumah mereka di malam hari, suaminya akan selalu tidak tidur karena menjaga agar perahunya tidak terbawa air atau terbentur dok beton.

“Jadi seolah kita harus bekerja hanya untuk bertahan dari banjir, memperbaiki rumah atau memperbaiki motor,“ ujar Anjani.

“Banjir pasang dulu hanya terjadi saat bulan purnama, tetapi sekarang hampir menjadi kejadian sehari-hari.”

*** 

Semenjak sejarah tercatat, pantai utara Jawa sudah menjadi pusat niaga dan industri yang berada pada Jalur Pantura, yang menghubungan Banten di sisi barat dengan Jawa Timur, 1.430 kilometer ke arah timur.

Semula dinamakan Jalan Pos Besar, jalur ini dibangun pada masa penjajahan Belanda ketika gubernur jendralnya, Herman Willem Dandels, dapat perintah dari Louis Napoléon Bonaparte, Kaisar Perancis yang menguasai Kerajaan Belanda pada saat itu. Jalan tersebut sebenarnya diperuntukkan keperluan militer, untuk memudahkan pergerakan tentara dan logistik sebagai bagian dari antisipasi serangan Inggris ke Jawa.

Kini Jalur Pantura merupakan urat nadi perdagangan dengan ratusan, kalau tidak ribuan, truk melintasinya untuk mengangkut  berbagai komoditas setiap jamnya. Pusat-pusat industri dan pabrik-pabrik dibangun di sepanjang jalan ini, menghasilkan mulai dari pupuk, peralatan elektronik, tekstil, makanan olahan, mebel kayu, hingga minuman berpemanis.

Namun banjir pasang yang kini terus-menerus menggenangi jalur legendaris ini telah menimbulkan kemacetan luar biasa dan menyebabkan kerugian berjuta-juta dolar bagi perekonomian. Untuk meringankan beban jalan utama yang sering macet ini, pemerintah kemudian membangun jalan tol baru di selatannya.

Namun, penggunaan jalan tol baru dari Jakarta ke Semarang memakan biaya Rp400.000 dan bila menggunakannya dari Banten sampai ke Surabaya, isi kocek akan berkurang lebih dari sejuta rupiah. Karena itu, Jalur Pantura yang tanpa biaya, tetap populer di antara pengendara dan pengemudi.

Kerugian ekonomi dari kenaikan permukaan air laut serta penurunan tanah yang luar biasa tentu sebentar lagi takkan tertahankan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksi bahwa Indonesia akan mengalami kerugian lebih dari Rp544 triliun akibat perubahan iklim antara tahun 2020 dan 2024.

Bencana di musim hujan dan banjir pasang telah menimbulkan kerugian keuangan yang tak terhitung bagi industri, ujar Karmanto, Ketua Federasi Serikat Pekerja Indonesia Perjuangan (FSPIP-Kasbi) di Semarang. Ia mengatakan bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini ribuan buruh mengundurkan diri dari pekerjaan mereka dan pindah ke tempat lain untuk menghindari banjir.

Beberapa pemilik usaha di Semarang juga memindahkan usaha mereka ke tempat-tempat yang lebih aman dan jauh dari laut, imbuhnya.

“Beberapa dari para pekerja tidak mampu lagi hidup dan bekerja di dekat laut,” ujar Karmanto.

“Jadi mereka memilih untuk mengundurkan diri dan bekerja di tempat lain.”

Karmanto telah bekerja di sebuah pabrik di kawasan Lamicitra selama lebih dari 15 tahun. Ia telah membeli empat buah motor sepanjang kariernya dan setiap motor rata-rata hanya sanggup bertahan selama 3,5 tahun, jauh di bawah puluhan tahun yang bisa dicapai motor yang dirawat dengan baik.

“Saya mengeluarkan jutaan rupiah hanya untuk bisa bertahan,” ujar Karmanto. “Motor saya sudah mengalami semuanya, dari chasis dan roda yang dimakan karat, piston yang rusak dan sebagainya, kesemuanya karena terpapar air laut secara konstan.”

Walaupun operasi bisnis biasanya dilindungi oleh asuransi, risiko terlanda banjir tiap tahunnya telah membuat perusahaan-perusahaan sulit untuk menutup kerugian mereka. Menurut Karmanto, perusahaan asuransi biasanya hanya menutup 50 persen dari keseluruhan kerugian yang diderita.

“Akan mahal untuk merelokasi operasi usaha, tetapi kita juga tidak bisa lagi terus bekerja dengan kondisi seperti ini. Jadi pemerintah seharusnya mengambil tindakan untuk melindungi industri,“ ujarnya.

Sebagai bagian dari proyek strategis nasional, dan juga usaha yang menunjukkan keputusasaan untuk menyelamatkan aset vital dan kawasan industri, pemerintah mengembangkan jalan raya pesisir yang terintegrasi dengan dinding penahan laut. Jalan itu dibangun sepanjang 27 kilometer dari bagian timur Semarang ke bagian barat Demak dan akan selesai tahun 2024 dengan biaya mencapai Rp15 triliun.

Jadi seolah kita harus bekerja hanya untuk bertahan dari banjir, memperbaiki rumah atau memperbaiki motor.

Anjani, buruh pabrik

Pemerintah Jawa Tengah juga membangun kolam retensi dan polder untuk mengendalikan aliran air dari sungai-sungai utama sebelum dibuang ke laut atau disalurkan kepada warga. Mereka juga menanam lebih dari 3,7 juta pohon bakau di sepanjang pantai utara antara tahun 2011 dan 2021.

Tetapi, membangun sistem pertahanan pesisir dan menanam pohon bakau mungkin merupakan cara yang kurang efektif bila praktik penyedotan air tanah secara masif terus berlangsung.

Bosman Batubara, kandidat doktoral di University of Amsterdam dan IHE Delft Institute for Water Education yang mempelajari banjir di beberapa kota besar, mengatakan bahwa yang terutama bertanggung jawab atas penyedotan air dari lapisan akuifer tanah adalah industri dan juga mereka yang merupakan anggota elit politik atau sosial.

Pemerintah Kota Semarang sendiri mengeluarkan peraturan yang melarang ekstraksi air tanah pada tahun 2013, terutama di “kawasan merah” di Semarang Utara. Menurut anggota Dewan Perwakilan Rakyat  Daerah, Joko Santoso, peraturan yang ada terlalu kendor sehingga sulit untuk dapat memonitor penggalian sumur-sumur dalam.

Izin ekstraksi air tanah pada saat ini dikeluarkan oleh Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA), yang merupakan bagian dari kantor energi dan sumber daya mineral provinsi, kata Santoso.

“Pemerintah kota juga harus memonitor praktik ini dan mengeluarkan penalti kepada mereka yang menyedot air tanah secara ilegal,” ujarnya. “Sekarang ini banyak industri, hotel menyedot air tanah.”

Sementara itu, Kepala Kantor Energi dan Sumber Daya Mineral Jawa Tengah Sujarwanto Dwiatmoko dikutip oleh Kompas.com mengatakan bahwa industri hanya diperbolehkan menyedot 50 meter kubik air tanah dalam satu hari.

“Kami akan mengambil tindakan tegas jika mereka melanggar peraturan,” kata Dwiatmoko.

Tidak ada data langsung mengenai jumlah sumur yang digali di Semarang, namun Badan Pusat Statistik Kota Semarang mengatakan ada 15 sumur baru pada tahun 2021. Bosman Batubara mengatakan bahwa praktik mengebor sumur yang tak menuruti aturan banyak terjadi dan sulit untuk memonitor atau mengetahui jumlahnya.

“Dengan tingginya jumlah sumur yang tak terdaftar, menjadi hampir tidak mungkin untuk mengukur secara tepat jumlah volume air yang disedot dari lapisan akuifer,” Bosman mengatakan.

Contohnya di Jakarta, hanya terdapat 42 sumur air tanah dalam di tahun 1879. Tahun 1998 jumlahnya sudah mencapai 3.626. Tetapi jumlah inipun tidak mencerminkan realitas karena banyak yang menyedot air tanah secara ilegal menurut Bosman. Dalam risetnya, ia mengatakan jumlah sumur demikian di Jakarta mungkin mencapai 15.000.

“Ketika air tanah terus menerus disedot, adalah lapisan pasir ini yang akan paling terpadatkan.” kata Bosman.

Bagi Anjani dan buruh lainnya, harapan yang tinggi mereka letakkan di pundak pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini. Anjani sendiri tidak berencana untuk pindah karena ia tidak ingin meninggalkan tempat kelahirannya.

“Saya merasa nyaman bekerja disini, karena hanya butuh sepuluh menit untuk pergi ke tempat kerja,” ujar Anjani. “Saya pikir pemerintah harus bertindak lebih untuk melindungi kami.”


*Nama telah diubah untuk melindungi identitas mereka. 

About the writer

Adi Renaldi is a Jakarta-based freelance multimedia journalist. He has contributed to the Washington Post, Rest of World, Nikkei Asia, the Jakarta Post, NPR, China Dialogue, Mongabay, Coconuts Jakarta,...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.