13 musisi Tanah Air telah merampungkan produksi album bertajuk Sonic/Panic. Album kolaborasi ini akan dirilis di Bali, dan diluncurkan serentak di seluruh platform streaming digital pada 4 November mendatang. Para musisi yang terlibat dalam pengerjaan proyek itu berharap, karya-karya mereka dapat menginspirasi pendengar dan mendorong kolaborasi lebih luas untuk perbaikan iklim.

Sonic/Panic bernaung di bawah payung Alarm Records, label rekaman berorientasi iklim pertama di Indonesia, yang juga diinisasi 13 musisi tersebut. Mereka adalah Navicula, Iga Massardi, Endah N Rhesa, Tuantigabelas, Tony Q Rastafara, Iksan Skuter, FSTVLST, Made Mawut, Nova Filastine, Guritan Kabudul, Kai Mata, Rhythm Rebels, dan Prabumi.

Sebelum melakukan pengerjaan karya, mereka mendapat pembekalan tentang kondisi iklim dalam workshop bertajuk Sound the Alarm yang digelar di Bali, Juni 2023 silam. Dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (24/10/23), para musisi tersebut mengungkapkan kesan, gagasan, dan tantangan dalam proses pembuatan karya masing-masing.

Endah Widiastuti, vokalis dan gitaris Endah N Rhesa, menceritakan guncangan emosinya ketika mendengar kajian-kajian tentang krisis iklim yang disampaikan dalam workshop tersebut. Bahkan, dia mengaku sempat menangis dan nyaris tak bisa mengikuti keseluruhan proses jumpa pers selepas kegiatan tersebut.

Endah menilai, perasaan emosional itu karena kecemasannya pada kondisi Bumi yang semakin buruk, namun di saat bersamaan belum tampak upaya perbaikan. Maka, sebagai musisi, dia ingin melibatkan diri lewat karya yang dibuatnya.

“Karena hancur sekali melihat kenyataan, bahwa isu ini (krisis iklim) bukan saja urgen tapi harus ada gerakan massif dari semua pihak untuk memperbaiki. Sebagai musisi, aku harus punya cara untuk mengekspresikan kekhawatiran dan ketakutan,” ujarnya.

Perasaan cemas itu kemudian diterjemahkan Endah N Rhesa dalam lagu Plastic Tree. Kata Endah, lagu ini mengimajinasikan kondisi Bumi yang tidak lagi memiliki pohon, burung dan makhluk hidup lainnya. Segala yang tersisa hanyalah produk-produk artifisial.

Kondisi itu, ujarnya, karena upaya-upaya mengembangkan teknologi dan peradaban memberi dampak pada keberlanjutan berbagai makhluk di Bumi. Karenanya, di akhir lagu, mereka membuat permintaan maaf atas kerusakan yang merugikan ekosistem.

“Kita juga tidak tahu hasil dari yang kita perjuangkan nantinya. Yang paling penting, kita coba minta  maaf (pada Bumi) dan berusaha melakukan yang terbaik,” ungkap Endah.

Kesan serupa juga dirasakan rapper Muhammad Syaifullah (Upi) yang lebih dikenal dengan nama Tuantigabelas. Sepanjang workshop Sound the Alarm dia mendengar banyak fakta menakutkan terkait krisis iklim.

Meski begitu, Upi tidak mau memutus pengetahuan pada dirinya sendiri. Ia ingin berkontribusi dengan cara yang bisa dilakukannya, yakni menyuarakan kegelisahan lewat musik. “Saya khawatir, putus asa, tapi harus punya harapan. Karena saya punya 3 anak. Saya tidak mau (Bumi) habis begitu saja untuk generasi berikutnya,” ujarnya.

Lewat lagu berjudul “Kenapa?”, Upi coba berkontemplasi atau yang disebutnya sebagai bercakap dengan diri sendiri di depan cermin. Sudut pandang itu dipilih karena dia mengaku lelah menyalahkan orang lain, dan merasa setiap orang adalah bagian dari masalah kerusakan Bumi hari ini.

“Di lagu ini aku benar-benar pengen ngobrol dengan orang di depan kaca, ‘kenapa sih?’ (Bumi semakin rusak),” Upi menambahkan.  “Karena aku belum punya jawabannya, aku coba kontemplasi aja.”

Workshop “Sound the Alarm” dan album Sonic/Panic adalah bagian dari gerakan Music Declare Emergency Indonesia, yang resmi diluncurkan pada 22 April 2023. Hingga artikel ini ditulis, gerakan ini telah didukung 6.935 organisasi, seniman dan individu.

Musik, data, dan relevansi

Proses pembuatan lagu bertema iklim tidak lepas dari tantangan. Para musisi harus berupaya keras menerjemahkan data-data sains menjadi cerita yang mudah dipahami, sekaligus relevan bagi pendengarnya.

Iga Massardi, vokalis dan gitaris Barasuara menceritakan tantangan membuat lagu bertema iklim atau lingkungan hidup. Dalam album Sonic/Panic dia bekerja sama dengan Badrus Zeman, musisi asal Madura.

Kata Iga, ketika menerjemahkan data-data terkait krisis iklim, dalam lagu Polo Nyaba atau Pulau Nafas, dia dan Badrus berupaya sebisa mungkin menghindari narasi yang terlampau abstrak. “Lagunya tentu jadi puitis, dan ada dramanya. Tapi ketika dijabarkan, kami berharap bisa menjelaskan secara faktual (data yang dimiliki),” kata Iga.

Saya tidak mau (Bumi) habis begitu saja untuk generasi berikutnya

TuanTigaBelas

Dia menjelaskan, Polo Nyaba adalah cerita tentang pulau terpencil yang memiliki indeks oksigen paling bagus di dunia. Namun, pulau ini harus menghadapi perang antara kebaikan dan keserakahan. Namun, hingga akhir lagu, tidak dijelaskan siapa yang jadi pemenangnya. “Karena sampai hari ini kita kan masih bertarung dengan itu,” ujarnya.

Di lagu ini, Iga dan Badrus coba bereksperimentasi dengan menulis seluruh lirik menggunakan bahasa Madura. Dia menilai, eksperimentasi itu merupakan tantangan sekaligus faktor pendorong untuk menarik perhatian pendengar.

“Kalau kami gunakan bahasa Inggris atau Indonesia, akan jadi familiar. Tapi kalau coba sesuatu yang berbeda, itu akan memantik orang untuk mencari tahu lebih jauh,” dia menambahkan.

Iga percaya, bahasa tidak seharusnya menjadi kendala komunikasi dalam karya musik, seperti halnya dominasi musik dari Amerika, Korea maupun Jepang. Bahkan, semakin orang mencari tahu, proses translasi diyakininya berpotensi menajamkan ingatan seseorang.

Optimisme dan semangat kolaborasi

Selepas workshop “Sound the Alarm”, 13 musisi yang terlibat hanya punya waktu satu bulan untuk mengerjakan karyanya. Keberhasilan merampungkan produksi album Sonic/Panic dalam waktu relatif singkat itu, kemudian melahirkan optimisme pada proyek-proyek selanjutnya.

I Gede Robi Supriyanto, vokalis dan gitaris Navicula mengaku puas dengan karya-karya yang diciptakan para musisi. Sebab, para pihak yang terlibat telah berhasil menerjemahkan data sains dalam karya seni.

“Saya selalu merinding sejak proses awal pengerjaan,” terang Robi, yang juga menjadi produser album itu. “Karya ini jadi perpaduan otak, logika, data, informasi dengan hati.”

Robi optimis karya-karya serupa dapat diproduksi musisi maupun seniman lain. Karena itu, dia menantang pelaku industri musik tanah air, untuk membuat karya yang tidak hanya berkutat pada estetika dan nilai ekonomi, tetapi juga mengusung tema-tema penyelamatan Bumi.

Karya ini jadi perpaduan otak, logika, data, informasi dengan hati

Robi Navicula

Tantangan itu yang juga diungkapkannya dalam lagu Navicula berjudul House on Fire. Kata Robi, sejak dibentuk tahun 1996, Navicula konsisten menyampaikan pesan-pesan penyelamatan lingkungan dalam tiap albumnya. Tapi perubahan yang diharapkan tidak kunjung datang.

“Jadi sebenarnya semangat di House on Fire” lebih ke kolaborasi, bahwa alangkah besarnya gaung ini apabila semua industri kreatif membicarakan isu ini (krisis iklim),” ujar Robi.

Dia menambahkan, pemilihan Sonic/Panic sebagai judul album juga menjadi cara untuk menunjukkan keterkaitan antara pelaku industri musik dengan krisis iklim. Menurut Robi, sonic berhubungan dengan audio atau suara, sementara panic erat kaitannya dengan keterdesakan pada krisis iklim.

Kehadiran album Sonic/Panic diharapkannya dapat diterima masyarakat, serta mendorong musisi dan pelaku industri untuk lebih memperhatikan topik-topik tentang iklim. Sebab, Robi percaya, tidak ada musik di planet yang mati. Sebagaimana kampanye yang diusung Music Declare Emergency:  No Music on Dead Planet!


Baca juga:

About the writer

Themmy Doaly

Themmy Doaly has been working as Mongabay-Indonesia contributor for North Sulawesi region since 2013. While in the last nine years he has also been writing for a number of news sites in Indonesia, including...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.